Sebuah Catatan Guru Sejarah yang Malas
Oleh: Luqman Abdul Hakim
![]() |
Kompasiana.com | 2016 |
What experience and history teach is this—that peoples and governments never have learned anything from history. (G.W.F. Hegel)
Di Indonesia, sejarah menjadi salah satu mata
pelajaran yang wajib diajarkan di tingkat sekolah menengah. Bahkan sejak
pergantian kurikulum pada tahun 2013, mata pelajaran ini didorong untuk menjadi
salah satu yang penting dalam pembentukan karakter siswa. Sejarah didapuk untuk
dapat menanamkan kepada siswa keteladanan dan nilai-nilai kebangsaan dari
berbagai peristiwa masa lalu bangsa Indonesia. Ini tugas mulia dan amat berat
dilakukan oleh guru sejarah, sebab tidak semua masa lalu dapat benar-benar
memberikan nilai-nilai keteladanan dan meningkatkan jiwa kebangsaan. Peristiwa
masa lalu dapat juga menunjukkan jejak hitam nan kelam yang pernah dilakukan
bangsa Indonesia baik oleh seseorang maupun secara terorganisir dilakukan oleh
negara. Seseorang mungkin dapat mengatakan bahwa ketika sejarah menunjukkan
jejak hitam nan kelam, alasan kita mempelajarinya adalah agar tidak mengulang
kesalahan yang sama. Masa lalu tidak hanya melayani nilai-nilai kebangsaaan,
melainkan juga mendekati nilai-nilai kebijaksanaan dan kemanusiaan.
Namun, hal semacam itu mungkin tidak jamak ditemukan
dalam pembelajaran sejarah di Indonesia. Sejarah lebih menunjukkan glorifikasi
dan romantisme, ditujukkan untuk menghafal tokoh ataupun tahun-tahun dalam
peristiwa yang penting, serta cenderung menyimpulkan secara hitam-putih segala
hal yang terjadi. Dalam evaluasi pembelajaran, sejarah tak ubahnya ilmu eksakta
yang mewajibkan siswa mengetahui masa lalu dengan tepat dan akurat. Padahal
dalam sejarah, ketepatan dan keakuratan sangat sulit ditentukan. Fakta sejarah
selalu bersifat sementara dan amat bergantung pada penemuan mutakhir dari para
sejarawan.
Sementara pertanyaan mendasar tentang bagaimana
keakuratan masa lalu dapat dicapai telah menjadi perdebatan di kalangan sejarawan
sejak ratusan tahun lamanya, hal ini justru menarik jika ditanyakan kepada para
guru sejarah. Apakah mereka sering mempertanyakan dan memperdebatkan keakuratan
masa lalu yang mereka ajarkan di sekolah? Para akademisi di bidang sejarah
mungkin belum seluruhnya sepakat dengan satu hal, tetapi masing-masing telah
memegang paradigma yang mendasari kerja-kerja mereka dalam merekonstruksi masa
lalu. Lalu apakah seorang guru sejarah juga dibekali paradigma untuk menjadi
panduan yang mendasari mereka memandu para siswa untuk mempelajari masa lalu?
Selama ini panduan bagi pembelajaran sejarah di
sekolah selalu ditentukan oleh pemerintah baik melalui berbagai pelatihan dasar
maupun buku teks yang diterbitkan secara resmi. Para praktiknya, guru sering
hanya terpaku pada buku teks yang dianggap telah menjadi sumber yang sesuai
dengan kurikulum pembelajaran. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk
terus meng-update buku teks dan
kurikulum pembelajaran sejarah, apakah ini cukup untuk memandu siswa mendekati
keakuratan peristiwa masa lalu yang serba nisbi? Atau pembelajaran sejarah di
sekolah memang tidak ditujukkan agar siswa mampu mendapat pemahaman yang lebih
dari ajaran moral dan nilai-nilai masa lalu yang dianggap pantas oleh
pemerintah? Jika memang demikian, maka sejarah yang diajarkan disekolah tidak
lain hanya menggambarkan bagaimana sejarah memang selalu menjadi alat yang
dimiliki oleh penguasa dan perubahan fakta tentang masa lalu hanya akan
ditentukan oleh pergantian kekuasaan, bukan karena penemuan bukti-bukti terbaru
tentang masa lalu.
Kritisisme yang diidamkan dari seseorang yang
mempelajari sejarah tidak akan lahir dari pembelajaran yang demikian.
Pembelajaran sejarah yang didorong atas paradigma bahwa masa lalu harus
melayani kepentingan moral umum atau kepentingan yang ada di masa sekarang
hanya akan menjadi sesuatu yang kaku dan membosankan.
Namun, mendorong siswa untuk menekankan sikap kritis
dalam mempelajari sejarah juga bukan hal yang mudah. Kritisisme hanya akan
hadir ketika seseorang mendekati masa lalu dengan memperbandingkan berbagai
sumber, cara pandang, serta wacana yang melingkupi pembahasan tentang peristiwa
di masa lalu. Di tengah tingkat literasi siswa kita yang rendah, guru harus
pandai memotivasi agar siswa mau meluangkan waktu untuk merujuk dan mencari
informasi lebih dari yang tersedia dalam buku teks. Meskipun selama ini siswa dimungkinkan
untuk mencari informasi melalui media pembelajaran selain buku teks—seperti
internet, film, atau bahkan mengunjungi museum—nyatanya siswa masih belum mampu
untuk mengkombinasikan berbagai media pembelajaran tersebut untuk menemukan
kekayaan cara pandang dalam melihat masa lalu.
Saya pernah melihat teman saya, seorang guru sejarah
sekolah menengah di Bekasi, jauh sebelum memulai pembelajaran melakukan
perbandingan terhadap berbagai buku teks sejarah dari beberapa penerbit. Ini
merupakan langkah awal yang baik bagi seorang guru sejarah untuk mencari
berbagai informasi yang tersedia dalam buku teks ihwal sejarah yang harus ia
ajarkan di depan kelas. Artinya sebelum memulai pembelajaran sejarah yang
menekankan pada kekayaan cara pandang terhadap masa lalu untuk mendekati
keakuratannya, seorang guru harus terlebih dahulu memiliki hal tersebut. Tugas
guru sejarah selanjutnya adalah memandu dan memotivasi murid agar mereka mau
mengeksplorasi sumber dan fakta-fakta sejarah yang tersedia hingga mampu
menyadari berbagai cara pandang terhadap masa lalu. Hal yang diperlukan bukan
mengajari siswa bagaimana memperlakukan sejarah—kadang guru memaksa siswa untuk
memperlakukan sejarah sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan tak layak
dipertanyakan—melainkan menuntun siswa untuk menemukan sendiri apa makna
sejarah bagi kehidupan mereka.
![]() |
Humas UGM | 2008 |
Sayangnya tugas ini rasanya terlalu berat bagi guru
sejarah yang malas. Memang lebih mudah untuk hanya terpaku pada satu sumber
yang tersedia dan lantas memberikan hal yang harus siswa tahu dan ingat. Atau
bahkan membiarkan mereka mencari berbagai informasi secara sporadis tanpa
menuntun mereka untuk memilah dan membandingkan informasi yang didapat sehingga
dapat bermakna bagi kehidupan mereka. Namun, kini tugas itu semakin penting
karena para siswa dihadapkan dengan surplus informasi yang mungkin akan mereka
temukan. Jika tanpa dibekali kemampuan untuk memilah dan membandingkan sumber
serta cara pandang terhadap sejarah, para siswa akan terjebak pada pemahaman
yang serba tunggal serta terjebak pada penafsiran yang barangkali keliru
tentang masa lalu.
Sudah saatnya guru sejarah mulai mempertanyakan dan
memperdebatkan kembali fungsinya di depan kelas. Perubahan tentu saja tidak
hanya dimulai dari perbaikan kurikulum dan sumber belajar, tetapi dari
perumusan peran dan fungsi guru sejarah. Apakah peran yang diemban sekedar
menjadi pelayan kepentingan moral umum yang berlaku sekarang atau sebagai
pembuka cakrawala berpikir generasi-generasi baru di masa depan? Jika guru
sejarah terlambat menentukan peran maka harapan bahwa sejarah dapat menjadi
suatu pelajaran yang penting hanya akan menjadi harapan, dan akan mengekalkan
pandangan lama bahwa; sejarah adalah pembelajaran yang membosankan, penuh
hafalan, serta masa lalu yang sudah lewat dan nggak penting-penting amat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar