Kamis, 03 Januari 2019

Sebuah Catatan Guru Sejarah yang Malas

Sebuah Catatan Guru Sejarah yang Malas
Oleh: Luqman Abdul Hakim
  
Kompasiana.com | 2016
What experience and history teach is this—that peoples and governments never have learned anything from history. (G.W.F. Hegel)

Di Indonesia, sejarah menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di tingkat sekolah menengah. Bahkan sejak pergantian kurikulum pada tahun 2013, mata pelajaran ini didorong untuk menjadi salah satu yang penting dalam pembentukan karakter siswa. Sejarah didapuk untuk dapat menanamkan kepada siswa keteladanan dan nilai-nilai kebangsaan dari berbagai peristiwa masa lalu bangsa Indonesia. Ini tugas mulia dan amat berat dilakukan oleh guru sejarah, sebab tidak semua masa lalu dapat benar-benar memberikan nilai-nilai keteladanan dan meningkatkan jiwa kebangsaan. Peristiwa masa lalu dapat juga menunjukkan jejak hitam nan kelam yang pernah dilakukan bangsa Indonesia baik oleh seseorang maupun secara terorganisir dilakukan oleh negara. Seseorang mungkin dapat mengatakan bahwa ketika sejarah menunjukkan jejak hitam nan kelam, alasan kita mempelajarinya adalah agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Masa lalu tidak hanya melayani nilai-nilai kebangsaaan, melainkan juga mendekati nilai-nilai kebijaksanaan dan kemanusiaan.

Namun, hal semacam itu mungkin tidak jamak ditemukan dalam pembelajaran sejarah di Indonesia. Sejarah lebih menunjukkan glorifikasi dan romantisme, ditujukkan untuk menghafal tokoh ataupun tahun-tahun dalam peristiwa yang penting, serta cenderung menyimpulkan secara hitam-putih segala hal yang terjadi. Dalam evaluasi pembelajaran, sejarah tak ubahnya ilmu eksakta yang mewajibkan siswa mengetahui masa lalu dengan tepat dan akurat. Padahal dalam sejarah, ketepatan dan keakuratan sangat sulit ditentukan. Fakta sejarah selalu bersifat sementara dan amat bergantung pada penemuan mutakhir dari para sejarawan.  

Sementara pertanyaan mendasar tentang bagaimana keakuratan masa lalu dapat dicapai telah menjadi perdebatan di kalangan sejarawan sejak ratusan tahun lamanya, hal ini justru menarik jika ditanyakan kepada para guru sejarah. Apakah mereka sering mempertanyakan dan memperdebatkan keakuratan masa lalu yang mereka ajarkan di sekolah? Para akademisi di bidang sejarah mungkin belum seluruhnya sepakat dengan satu hal, tetapi masing-masing telah memegang paradigma yang mendasari kerja-kerja mereka dalam merekonstruksi masa lalu. Lalu apakah seorang guru sejarah juga dibekali paradigma untuk menjadi panduan yang mendasari mereka memandu para siswa untuk mempelajari masa lalu?

Selama ini panduan bagi pembelajaran sejarah di sekolah selalu ditentukan oleh pemerintah baik melalui berbagai pelatihan dasar maupun buku teks yang diterbitkan secara resmi. Para praktiknya, guru sering hanya terpaku pada buku teks yang dianggap telah menjadi sumber yang sesuai dengan kurikulum pembelajaran. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk terus meng-update buku teks dan kurikulum pembelajaran sejarah, apakah ini cukup untuk memandu siswa mendekati keakuratan peristiwa masa lalu yang serba nisbi? Atau pembelajaran sejarah di sekolah memang tidak ditujukkan agar siswa mampu mendapat pemahaman yang lebih dari ajaran moral dan nilai-nilai masa lalu yang dianggap pantas oleh pemerintah? Jika memang demikian, maka sejarah yang diajarkan disekolah tidak lain hanya menggambarkan bagaimana sejarah memang selalu menjadi alat yang dimiliki oleh penguasa dan perubahan fakta tentang masa lalu hanya akan ditentukan oleh pergantian kekuasaan, bukan karena penemuan bukti-bukti terbaru tentang masa lalu.

Kritisisme yang diidamkan dari seseorang yang mempelajari sejarah tidak akan lahir dari pembelajaran yang demikian. Pembelajaran sejarah yang didorong atas paradigma bahwa masa lalu harus melayani kepentingan moral umum atau kepentingan yang ada di masa sekarang hanya akan menjadi sesuatu yang kaku dan membosankan.

Namun, mendorong siswa untuk menekankan sikap kritis dalam mempelajari sejarah juga bukan hal yang mudah. Kritisisme hanya akan hadir ketika seseorang mendekati masa lalu dengan memperbandingkan berbagai sumber, cara pandang, serta wacana yang melingkupi pembahasan tentang peristiwa di masa lalu. Di tengah tingkat literasi siswa kita yang rendah, guru harus pandai memotivasi agar siswa mau meluangkan waktu untuk merujuk dan mencari informasi lebih dari yang tersedia dalam buku teks. Meskipun selama ini siswa dimungkinkan untuk mencari informasi melalui media pembelajaran selain buku teks—seperti internet, film, atau bahkan mengunjungi museum—nyatanya siswa masih belum mampu untuk mengkombinasikan berbagai media pembelajaran tersebut untuk menemukan kekayaan cara pandang dalam melihat masa lalu.

Saya pernah melihat teman saya, seorang guru sejarah sekolah menengah di Bekasi, jauh sebelum memulai pembelajaran melakukan perbandingan terhadap berbagai buku teks sejarah dari beberapa penerbit. Ini merupakan langkah awal yang baik bagi seorang guru sejarah untuk mencari berbagai informasi yang tersedia dalam buku teks ihwal sejarah yang harus ia ajarkan di depan kelas. Artinya sebelum memulai pembelajaran sejarah yang menekankan pada kekayaan cara pandang terhadap masa lalu untuk mendekati keakuratannya, seorang guru harus terlebih dahulu memiliki hal tersebut. Tugas guru sejarah selanjutnya adalah memandu dan memotivasi murid agar mereka mau mengeksplorasi sumber dan fakta-fakta sejarah yang tersedia hingga mampu menyadari berbagai cara pandang terhadap masa lalu. Hal yang diperlukan bukan mengajari siswa bagaimana memperlakukan sejarah—kadang guru memaksa siswa untuk memperlakukan sejarah sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan tak layak dipertanyakan—melainkan menuntun siswa untuk menemukan sendiri apa makna sejarah bagi kehidupan mereka.

Humas UGM | 2008
Sayangnya tugas ini rasanya terlalu berat bagi guru sejarah yang malas. Memang lebih mudah untuk hanya terpaku pada satu sumber yang tersedia dan lantas memberikan hal yang harus siswa tahu dan ingat. Atau bahkan membiarkan mereka mencari berbagai informasi secara sporadis tanpa menuntun mereka untuk memilah dan membandingkan informasi yang didapat sehingga dapat bermakna bagi kehidupan mereka. Namun, kini tugas itu semakin penting karena para siswa dihadapkan dengan surplus informasi yang mungkin akan mereka temukan. Jika tanpa dibekali kemampuan untuk memilah dan membandingkan sumber serta cara pandang terhadap sejarah, para siswa akan terjebak pada pemahaman yang serba tunggal serta terjebak pada penafsiran yang barangkali keliru tentang masa lalu.

Sudah saatnya guru sejarah mulai mempertanyakan dan memperdebatkan kembali fungsinya di depan kelas. Perubahan tentu saja tidak hanya dimulai dari perbaikan kurikulum dan sumber belajar, tetapi dari perumusan peran dan fungsi guru sejarah. Apakah peran yang diemban sekedar menjadi pelayan kepentingan moral umum yang berlaku sekarang atau sebagai pembuka cakrawala berpikir generasi-generasi baru di masa depan? Jika guru sejarah terlambat menentukan peran maka harapan bahwa sejarah dapat menjadi suatu pelajaran yang penting hanya akan menjadi harapan, dan akan mengekalkan pandangan lama bahwa; sejarah adalah pembelajaran yang membosankan, penuh hafalan, serta masa lalu yang sudah lewat dan nggak penting-penting amat.[]   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar