Sebuah Catatan Guru Sejarah yang Malas (2)

Sebuah Catatan Guru Sejarah yang Malas (2)

Oleh: Luqman Abdul Hakim

Gambar: Freedom Writers | 2007 

Dalam beberapa minggu terakhir ini, saya cukup merasa bergairah menjalani profesi sehari-hari saya sebagai guru. Maklum saja, banyak hal mengejutkan yang saya temukan berawal dari eksperimen saya untuk memberi tugas menulis bagi siswa-siswi saya. Inspirasi tugas tersebut muncul sejak lama setelah saya menonton film Freedom Writer. Sebuah film yang bercerita tentang seorang guru di sekolah menengah di Amerika yang harus berhadapan dengan siswa-siswi dengan latar belakang yang cukup berbeda dan bermasalah. Singkat cerita guru dalam film tersebut berhasil untuk memotivasi siswa-siswinya untuk keluar dari permasalahan dan menuliskan pengalaman dan pandangan mereka dalam sebuah buku diary dengan judul yang sama dengan film tersebut.

Awalnya saya agak skeptis dengan murid-murid saya. Saya terlanjur menanamkan pikiran negatif bahwa siswa-siswi saya hanya akan menganggap tugas ini sebagai kewajiban dan beban—ini terlihat pada saat saya mengumumkan tugas, mereka mulai mengeluh atau menggerutu. Dan awalnya, saya berpikir saya salah. Dua tulisan awal yang saya baca cukup memuaskan. Meskipun akhirnya, pikiran negatif saya terbukti. Beberapa siswa terciduk menjiplak sebagian atau seluruh tulisan yang didapatkan di internet.

Namun, setelah seluruhnya mengumpulkan tidak sedikit dari mereka yang ternyata menunjukkan hasil yang di luar dugaan. Tentu saja saya memuji mereka dan mengapresiasinya dengan mengunggahnya di laman blog saya. Walaupun sebenarnya blog ini paling banter dibaca ratusan orang, tapi mereka sepertinya sangat bangga tulisannya saya unggah.

Saya masih percaya, membaca tulisan seseorang dapat membuat saya mengerti apa yang ada dalam benak dan pikiran orang. Itu alasan saya menekankan kejujuran pada mereka dalam mengerjakan tulisan. Lewat tulisan ini saya ingin ulas beberapa hal yang ada dalam benak siswa-siswi SMA, terutama mengenai pemuda dan kemerdekaan.

Ternyata dalam benak mereka, makna tentang pemuda dan kemerdekaan tentu saja cukup sederhana. Mereka percaya bahwa pemuda memiliki peran yang begitu besar dalam kemerdekaan, khususnya ketika mereka mencari tahu tentang peristiwa rengasdengklok. Tentu saja, pandangan mereka tentang peran penting pemuda belum sampai seluas pandangan Ben Anderson yang tidak hanya fokus pada satu peristiwa untuk menunjukkan peran penting pemuda dalam bukunya yang terkenal “Revolusi Pemoeda”. Ben justru melihat peran pemuda dalam rentang waktu yang cukup panjang yaitu sejak zaman penjajahan Jepang hingga tahun-tahun awal kemerdekaan (1944-1946).

Gambar: Marjin Kiri | 2017

Barangkali mereka juga belum pernah mengetahui buku ini dan merupakan kesalahan saya sebab tidak mengenalkan mereka terlebih dahulu tentang karya dari seorang peneliti asal Amerika yang besar dan dihormati karena karya-karyanya terkait sejarah Indonesia. Saya berharap setelah mereka membaca tulisan ini mereka akan mulai penasaran dan mencari buku tersebut serta membacanya.

Lalu apa pandangan mereka terkait kemerdekaan? Tentu juga masih sederhana. Saya tidak menyalahkan mereka karena kesederhaan tersebut, hanya sekali lagi lewat tulisan ini ingin saya mengulas dan menanggapi pandangan mereka.

Hampir semua memandang bahwa kemerdekaan adalah sebuah gerbang kebebasan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Meski beberapa ada yang telah mengutip kata-kata Bung Karno terkait kemerdekaan, barangkali mereka belum sepenuhnya mengerti apa maksud dari kemerdekaan sebagai jembatan emas yang diujungnya akan menemukan tantangan baru melawan bangsanya sendiri. Mereka juga menghubungkan dengan peran pemuda yang menurut mereka harusnya memanfaatkan kemerdekaan dan kebebasan yang dulu telah diperjuangkan. 

Nyatanya, banyak pemuda yang mungkin belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan, bukan karena mereka tidak ingin, melainkan tidak bisa atau tidak merasa bisa. Saya banyak menemukan pemuda yang berpandangan pesimis yang melihat latar belakang mereka dari kelompok yang kurang beruntung. Nyatanya kata-kata tak semudah itu terwujudkan.

Banyak pemuda yang kurang beruntung mendapat motivasi untuk bisa berjuang mewujudkan cita-cita karena terlanjur mengamini segala label yang dilekatkan pada mereka yang miskin, bodoh, nakal dan lain-lain. Ada juga yang secara tidak beruntung tidak dapat mengenyam pengetahuan dan berada dalam kehidupan berat tanpa dukungan dari keluarga yang stabil secara psikologis maupun ekonomi, pendidikan yang memanusiakan, atau fasilitas lain yang menunjang minat bakat mereka. Nyatanya masih banyak dari mereka yang tidak merdeka dan terjebak dalam belenggu pembodohan dan pemiskinan. Terkotakkan dalam diskriminasi sosial, budaya, ataupun ekonomi mungkin membuat pemuda jarang memiliki kepekaan terhadap sesama yang berada diluar lingkarannya.

Pemuda jadi pragmatis, mengejar kesuksesan masing-masing. Mereka hidup dalam semangat kompetisi. Terbiasa melihat yang gagal sebagai orang-orang yang menjijikkan. “Lihat mereka, jika kalian malas, bodoh, dan tidak ikut aturan, kalian akan seperti mereka—para pecundang yang gagal”, barangkali begitu kata-kata yang biasa diajarkan kepada mereka.

Lalu apakah mereka memang ingin gagal? Apakah memang sudah garis takdir menempatkan mereka sebagai pecundang? Apakah Tuhan memberi mereka kehidupan hanya untuk merasakan neraka di dunia? Saya tidak percaya demikian. Saya percaya mereka hanya tidak seberuntung kita memiliki pilihan-pilihan selain menjadi pecundang. Saya percaya bahwa mereka yang masih ada pemuda di luar sana yang belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan. Lihat anak jalanan. Lihat anak-anak yang keluarganya berantakan. Lihat yang hidup di daerah terpencil, terluar, dan jauh dari riuh pekik kota Jakarta. Jika kemerdekaan hanya persoalan kebebasan individu yang harus kita manfaatkan untuk meraih kesuksesan sendiri dan meninggalkan orang-orang yang seberuntung kita, maka apa arti kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia?

Saya sungguh berharap siswa-siswi saya mau untuk membuka mata dan melihat lebih luas lagi tentang kenyataan yang mungkin hidup jauh dari lingkungan mereka. Bukan saja melihat kehidupan pemuda seusianya, tetapi juga kehidupan masyarakat lainnya yang belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan. Tentu saja, belajar adalah kewajiban. Tetapi, belajar bukan sekedar meraih nilai skor tinggi di rapor ataupun ulangan. Belajar juga tentang melihat kehidupan ini dari berbagai pandangan dan latar belakang. Jika sudah ini yang kalian sadari sebagai belajar, saya yakin kata-kata manis dalam setiap kesimpulan tulisan bukan hanya kata-kata tapi di masa depan akan benar-benar menjadi kenyataan.[]