Plagiarisme sebagai Masalah Sistem
Pendidikan Nasional
Oleh:
Luqman Abdul Hakim
![]() |
Foto: UNJKita.com | 2017 |
Kasus
plagiarisme yang terjadi beberapa tahun terakhir di lingkungan universitas
telah mencoreng nilai-nilai perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang
memproduksi pengetahuan serta menjunjung kebenaran. Plagiarisme adalah sebuah
bentuk pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan, yang sejak zaman modern
berlangsung, dipercaya sebagai cara manusia rasional mendekati dan memperoleh
kebenaran. Namun, permasalahan yang belakangan diangkat oleh media lebih
condong memandang bahwa pangkal permasalahan tersebut hanya sebatas moral atau etika
yang rendah dari beberapa oknum civitas akademika di Universitas.
Seperti
keterangan yang diungkapkan oleh Ketua Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta
(IKA UNJ) saat gaduh isu plagiarisme di UNJ medio 2017 silam. Beliau
mengatakan, bahwa kasus plagiarisme merupakan tindakan personal dan kasuistik
dan bukan bagian dari cermin budaya akademis UNJ.[1] Bagian lain yang diekspose
terkait kasus tersebut adalah sosok Rektor UNJ, Djaali, sebagai orang yang
bertanggung jawab atas praktik-praktik plagiarisme. Hal ini muncul karena
rektor yang sejatinya bertanggung jawab atas bidang akademik, melakukan
pembiaran—bahkan sampai titik tertentu melegalkan—praktik memalukan tersebut.[2]
Pernyataan-pernyataan
ini tentu tidak memadai jika melihat kenyataan bahwa praktik plagiarisme bukan
hanya perkara yang parsial, berpangkal pada bobroknya etika personal maupun sekedar
problem teknis dari salah satu unit Perguruan Tinggi. Seperti yang diakui oleh
Ali Ghufron, Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, bahwa setiap tahun “selalu ada plagiarism”.[3] Atau silahkan buka laman supriadirustad.blog.dinus.ac.id
yang telah menceritakan berbagai pengalaman dan temuannya tentang praktik-praktik
plagiarisme di lembaga perguruan tinggi di Indonesia.[4] Landasan ini kiranya cukup bagi
kita untuk tidak memandang praktik plagiarisme sebagai suatu hal yang personal
dan kasuistik, melainkan merupakan problem sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Untuk
itu penjelasan tentang kenapa praktik plagiarisme bisa terjadi harus dijelaskan
agar alasan melawan praktik tersebut dapat ditemukan dalam konteks yang tentu
saja relevan dengan kondisi yang riil dialami oleh civitas akademik. Sebab
alasan menolak plagiarisme tidak cukup dilandasi oleh argumen menjaga keluhuran
ilmu pengetahuan maupun dalil-dalil universal tentang kebenaran serta argumen
moralis tentang kejujuran. Aksi menolak yang muncul dari landasan itu tidak
akan menyentuh problem yang riil dari praktik pendidikan.
Jika
kita runut dari definisi plagiarisme adalah perbuatan secara sengaja atau tidak
sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu
karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya orang lain dan diakui
menjadi karyanya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai (PERMENDIKNAS
No. 17 Th. 2010). Definisi ini mungkin amatlah longgar untuk menjerat siapa
saja atau karya ilmiah manapun untuk disebut sebagai plagiat. Tetapi kalimat
terakhir tentang mengutip sumber yang tepat dan memadai menunjukkan bahwa
munculnya plagiarisme disebabkan oleh gagalnya proses pendidikan itu sendiri.
Mengutip
sumber adalah pengetahuan dasar soal notasi ilmiah. Problem diatas termasuk
pada kurangnya pengetahuan tentang kapan dan bagaimana mencantumkan sumber atau
referensi, satu dari 4 hal yang oleh Purwani Istiana (2016) dalam buku
"Panduan Anti-Plagiarisme". Ia menyebutkan hal tersebut sebagai salah
satu latar belakang munculnya plagiarisme selain terbatasnya waktu untuk
menyelesaikan sebuah karya, rendahnya minat baca, dan kurangnya perhatian dari
kampus untuk menuntaskan persoalan plagiarisme. (Purwani, 2016). Namun, faktor
tersebut pada dasarnya hanya dianggap sebagai kendala teknis, terkait praktik
dilapangan yang tidak ideal. Masalahnya adalah bahwa hal tersebut nyatanya
bukan sekedar kendala teknis belaka. Contohnya bisa kita pertanyakan mengapa
peneliti atau mahasiswa merasa memiliki keterbatasan waktu untuk menyelesaikan
karya ilmiahnya atau memiliki minat baca yang rendah sehingga akhirnya
melakukan tindakan plagiat?
Munculnya
praktik plagiarisme yang disebabkan oleh keinginan untuk cepat menyelesaikan
karya dalam waktu yang singkat atau menyelesaikan dengan waktu yang terbatas
bukan sekedar bisa dijawab dengan kemalasan peneliti atau ketidakmampuan mereka
merencanakan penelitian—sebab kita harus tahu ada beberapa penelitian yang
memakan waktu bertahun-tahun untuk selesai. Hal ini juga berkaitan dengan
sistem pendidikan tinggi kita yang menciptakan batas jangka waktu pendidikan
tanpa memperhitungkan beban-beban akademik yang memberatkan (misal; S1 dengan
batas 7 tahun dan beban 144 sks). Mahasiswa S1 biasanya baru bisa menyelesaikan
beban akademiknya di semester ke 6 atau 7, lalu baru bisa mengambil penelitian.
Belum lagi anggapan yang muncul kalau jenjang S1 harus dan bisa diselesaikan 4
tahun yang semakin mendorong mahasiswa untuk cepat-cepat menyelesaikan karya
ilmiah terakhirnya. Kenapa hasil akhir penelitian dibatasi oleh kuantitas waktu
bukan oleh kualifikasi bahwa karya tersebut telah mampu menjawab rumusan
masalah penelitian?
Batas
ini sendiri muncul karena kebutuhan kampus untuk meneruskan proses penerimaan
mahasiswa baru. Mahasiswa baru adalah daging segar yang sedap diolah, sedangkan
mahasiswa tingkat akhir adalah daging busuk yang akan menyebarkan bau tak sedap
bagi kampus. Penerimaan mahasiswa baru yang jumlahnya besar adalah bukti bahwa
suatu Perguruan Tinggi dipandang baik, tetapi jumlah lulusan yang sedikit
adalah aib. Semua dihitung dari segi kuantitas, dan ini bahkan dilegalkan oleh
negara dalam mekanisme yang disebut dengan "Akreditasi".
Lagipula
dalam kondisi pendidikan yang telah masuk ke dalam jebakan liberalisasi dan
telah ter-komersialisasi, lembaga
pendidikan berubah menjadi pabrik penghasil tenaga kerja terdidik. Tengok saja pernyataan
pemerintah bahwa dunia pendidikan harus bersinergi dengan kebutuhan pasar atau
mari mengkaji UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan UU Perguruan Tinggi No.
12/2012. Beberapa pasal secara tersirat mengindikasikan bahwa tujuan pendidikan
Indonesia memang berorientasi pada pasar. Liberalisasi pendidikan telah membuat
lembaga pendidikan menjadi sebuah pasar yang sekaligus menciptakan tenaga kerja
untuk kebutuhan pasar.
Proses
Liberalisasi Pendidikan ini telah dimulai sejak ditandatanganinya General Agreement on Trade in Services (GATS)
oleh negara anggota WTO pada tahun 2005 yang mengatur liberalisasi perdagangan
di sektor jasa, salah satunya pendidikan.[5] GATS pada saat itu diterjemahkan
oleh pemerintah melalui Perpres No. 77/2007, yang menetapkan pendidikan sebagai
bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing.[6] Meskipun dalam beberapa pasal di
UU Pendidikan mensyaratkan prinsip ‘nirlaba’ dalam penyelenggaraan pendidikan,
dimana ada logika usaha yang tidak mencari laba?
Liberalisasi
pendidikan juga telah mengendurkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan dengan mengeluarkan kebijakan otonomi perguruan tinggi. Otonomi ini
memberikan kewenangan bagi Perguruan Tinggi untuk mengelola dan mengembangkan
diri secara mandiri, terutama bidang akademik dan pendanaan.[7] Untuk dapat mandiri secara pendanaan,
pemerintah mengeluarkan regulasi PTN-BH dan BLU agar perguruan tinggi memiliki
lahan-lahan ekonomi untuk menunjang kehidupan kampusnya. Namun, kebijakan ini
lebih condong ke arah komersialisasi ketimbang memunculkan kemandirian dalam
bidang pengelolaan dan pendanaan. Perguruan Tinggi hari ini berlomba-lomba
membuka lebar berbagai program pendidikan dan kuota masuk perguruan tinggi agar
semakin banyak dana-dana yang dapat digali dari masyarakat. Fenomena ini juga
semakin parah karena diiringi dengan makin tingginya biaya pendidikan yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.[8]
Jadi
tidak heran, proses penerimaan dibuka lebar dan mekanisme kelulusan dipercepat
agar makin banyak calon-calon tenaga kerja terdidik baru yang siap didistribusikan
oleh lembaga pendidikan. Pendidikan dalam dunia komersil hanya menekankan pada
aspek kuantitas penerimaan dan kelulusan, lantas abai terhadap
kualitas-kualitas serta proses pendidikan yang ideal. Tak heran muncul
permasalahan yang dalam praktiknya melatarbelakangi munculnya plagiarisme
seperti yang telah dikemukakan.
Jelaslah
bahwa problem plagiarisme di beberapa kampus yang menyeruak hanyalah sebuah
studi kasus yang mewakili permasalahan pendidikan yang berakar dari masalah
sistem pendidikan nasional. Solusi dari hal ini tidak cukup sekedar sanksi
administratif, tetapi butuh perubahan dalam sistem pendidikan tinggi secara
nasional. Pendidikan yang berorientasi pasar adalah habitat yang ideal bagi
plagiarisme. Sebab proses pendidikan tidak lagi menekankan pada proses
memanusiakan manusia, tetapi sebatas lembaga penghasil buruh terdidik. Maka tak
lagi ada jalan lain selain REVOLUSI PENDIDIKAN.[]
*tulisan
ini sebelumnya pernah diunggah dilaman https://didaktikaunj.com/2017/09/22/plagiarisme-sebagai-masalah-sistem-pendidikan-tinggi-nasiona/
**disunting
dan diunggah ulang demi kepentingan pendidikan
[1]
Tribunnews.com/nasional/2017/09/04/pernyataan-ikatan-alumni-universitas-negeri-jakarta-terkait-isu-plagiarisme/ diakses pada 16 September 2017
[2]
Tirto.id/temuan-plagiat-disertasi-di-universitas-negeri-jakarta-cvrZ
[3]
Bbc.com/Indonesia/Indonesia-41161834
[4]
Didaktikaunj.com/2017/08/masalah-serius-plagiarisme-dari-kampus-ke-kampus/
[5]
Sofian Effendi, “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional, “Pendidikan
Tinggi di era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang, dan Harapan”,
diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Atmajaya, Jakarta,
2 Mei 2005
[6]
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/kliping/Liberalisasi%20Pendidikan.pdf
[7]
M. Imam Zamroni, “Industrialisasi Pendidikan Tinggi”, diunduh dari laman http://journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/download/171/162
[8]
Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar