Pendidikanku, Pendidikanmu, Pendidikan Kita Semua
Oleh : Wisnu Adi Wibowo
![]() |
Studentjournal.id | 2015 |
Berani
jujurkah kita? Beranikah kita membuka mata dengan segenap kejernihan
pandang bahwa dunia pendidikan formal di Indonesia saat ini telah
sengaja diarahkan oleh rezim yang bernama globalisasi. Lantas,
arahan seperti apa gerangan yang dimainkan oleh rezim itu? Betulkah
eksistensi pendidikan formal di Indonesia benar-benar sejalan dengan
logika pendidikan seperti yang di elu-elukan yakni memanusiakan
manusia? Atau jangan-jangan berbanding terbalik, bersifat sangat
destruktif, sehingga pada keberlanjutannya mengapungkan gejala-gejala
dehumanisasi akut? Selama beberapa menit ke depan penulis mengajak
pembaca sekalian untuk mencoba merefleksikan kembali kondisi ini. Namun
sebelum itu, ada baiknya bila kita kembali pada dua pertanyaan awal.
Sekiranya
pembaca bayangkan, di depan mata Anda berdiri keluarga, kawan sejawat,
guru/dosen Anda atau bahkan orang yang tidak pernah Anda kenal
sekalipun. Seketika itu juga, cobalah Anda ajukan satu pertanyaan
ringkas, “apa gunanya kita mengenyam pendidikan?” Jawaban yang akan
Anda dengar kiranya kurang lebih serupa dan terkesan logis yakni “untuk
mendapat pekerjaan yang layak”. Berangkat dari jawaban inilah niscaya
Anda akan mengetahui bagaimana rupa arahan dan belenggu dari rezim
globalisasi itu mewujud. Paradigma logika kompetitif ini memang kerap
kali terlontar sebagai sebuah ‘kewajaran alami’--sebagai sesuatu yang ada dari sononya--untuk menghadapi
tantangan pencarian kebutuhan hidup. Dalam konteks ini, pendidikan
berperan sebagai syarat mutlak yang amat penting untuk menempa kualitas
diri dalam proses perwujudan daya tukar diri di tengah kemelut
persaingan tenaga kerja.
Lalu,
apa yang salah dengan pola pikir demikian? Toh, bukankah kita juga
butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup? Pertanyaan tersebut
kiranya tak dapat kita hindarkan. Terlepas dari justifikasi ‘kekinian’
terhadap dunia pendidikan saat ini, sudah selayaknya kita mempertanyakan
makna seorang individu (subjek) di dalam logika formal pendidikan.
Peran pendidikan sebagai suatu instrumen kebudayaan manusia sudah
sewajarnya bila secara logis diharapkan untuk mencetak
seorang individu yang yang dapat memecahkan suatu permasalahan sosial disekitarnya.
Dalam hal ini, pendidikan sebagai suatu strategi budaya tertua bagi
manusia yang difungsikan untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam
paradigma logika kompetitif, peran pendidikan dijadikan sebuah bantalan
untuk menjamin sistem developmentalisme dan menjadi bagian dari
globalisasi ekonomi “liberal” kapitalisme. Hal inilah yang kedepannya
menjadikan seorang individu sebagai objek (tenaga kerja) dan mengarahkan
pandangannya untuk sekadar menyibukkan diri dalam usaha-usaha
pembangunan.
Proses “pembunuhan subjek” menjadi sebuah frame tradisi
liberal telah mendominasi konsep pendidikan saat ini. Definisi
pendidikan sebagai suatu strategi kebudayaan untuk menghasilkan manusia
yang berbudaya kiranya tidak tergambar jelas disini. Pasalnya, proses
“pembunuhan subjek” hanya akan memiliki konsekuensi untuk menghasilkan
tenaga kerja upahan yang “siap kerja” dan cenderung menyesuaikan dirinya
ke dalam sistem dan struktur sosial yang sudah mapan. Hal ini
disebabkan karena paradigma pendidikan formal hari ini terkonstruk
berdasarkan penyesuaiannya terhadap tradisi liberal dan mengubah
penampilan kosmetiknya menjadi lembaga ritel yang menjanjikan
akreditasi, pilihan program studi yang banyak diminati lapangan kerja,
dsb. Pola-pola komersialisasi pendidikan, mekanisasi dan komodifikasi
individu ini sangat berkaitan erat dengan agenda liberal. Seiring dengan
berkembangnya pasar modal dunia, maka tak lekang membuat kebutuhan akan
tenaga kerja meningkat drastis. Tak heran bagi kita bahwa kenyataan
hari ini untuk mendapatkan kualitas diri dan memiliki daya tukar lebih
dihadapan pasar tenaga kerja haruslah diiringi dengan “merogoh kantong
sedalam-dalamnya” sebagai syarat yang wajib dibayar.
Lembaga
formal pendidikan hari ini, seakan telah kehilangan maknanya sebagai
siasat kebudayaan untuk mempertahankan eksistensi manusia dengan corak
budaya intelektualitasnya. Relasi pengetahuan yang dijadikan unsur
terpenting di dalam logika berpendidikan kian bergerser kearah dominasi
kekuasaan modal sebagai sarana reproduksi sosial. Pendidikan yang sudah
sewajarnya menjadi fondasi utama kebudayaan kian hari semakin
teralienasi dari esensi utamanya. Ditengah tradisi liberal, pendidikan
laksana batu pualam yang hanyut ditelan gemuruh zaman yang tak tentu
arah. Untuk melindungi keabsahan struktur sosial kapitalistik, lembaga
pendidikan menjadi faktor penting dengan fungsinya sebagai ruang
ideologisasi untuk mengupayakan seorang individu dalam penyesuaiannya
terhadap struktur sosialnya. Menurut penulis, pendidikan formal hari ini
telah dijadikan sarana untuk dapat memenuhi kebutuhan “banyak mulut
yang harus diberi makan”. Kian memperihatinkan memang, jika kita
menyaksikan keluarga, kerabat-kerabat terdekat kita, atau bahkan kita
sendiri “masih diselubungi” oleh pola-pola hegemoni yang memaksa kita
terseret ke dalam jurang keterasingan diri sendiri.
Akhir
kata, masih berani jujurkah kita? Bernikah kita membuka alam kesadaran
untuk kembali merefleksikan kondisi pendidikan kita hari ini?.
*Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNJ 2015, kader Solidaritas Pemoeda Rawamangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar