Rabu, 04 April 2018

Pendidikanku, Pendidikanmu, Pendidikan Kita Semua

Pendidikanku, Pendidikanmu, Pendidikan Kita Semua
Oleh : Wisnu Adi Wibowo
 
Studentjournal.id | 2015
Berani jujurkah kita? Beranikah kita membuka mata dengan segenap kejernihan pandang bahwa dunia pendidikan formal di Indonesia saat ini telah sengaja diarahkan oleh rezim yang bernama globalisasi. Lantas, arahan seperti apa gerangan yang dimainkan oleh rezim itu? Betulkah eksistensi pendidikan formal di Indonesia benar-benar sejalan dengan logika pendidikan seperti yang di elu-elukan yakni memanusiakan manusia? Atau jangan-jangan berbanding terbalik, bersifat sangat destruktif, sehingga pada keberlanjutannya mengapungkan gejala-gejala dehumanisasi akut? Selama beberapa menit ke depan penulis mengajak pembaca sekalian untuk mencoba merefleksikan kembali kondisi ini. Namun sebelum itu, ada baiknya bila kita kembali pada dua pertanyaan awal.

Sekiranya pembaca bayangkan, di depan mata Anda berdiri keluarga, kawan sejawat, guru/dosen Anda atau bahkan orang yang tidak pernah Anda kenal sekalipun. Seketika itu juga, cobalah Anda ajukan satu pertanyaan ringkas, “apa gunanya kita mengenyam pendidikan?” Jawaban yang akan Anda dengar kiranya kurang lebih serupa dan terkesan logis yakni “untuk mendapat pekerjaan yang layak”. Berangkat dari jawaban inilah niscaya Anda akan mengetahui bagaimana rupa arahan dan belenggu dari rezim globalisasi itu mewujud. Paradigma logika kompetitif ini memang kerap kali terlontar sebagai sebuah ‘kewajaran alami’--sebagai sesuatu yang ada dari sononya--untuk menghadapi tantangan pencarian kebutuhan hidup. Dalam konteks ini, pendidikan berperan sebagai syarat mutlak yang amat penting untuk menempa kualitas diri dalam proses perwujudan daya tukar diri di tengah kemelut persaingan tenaga kerja.

Lalu, apa yang salah dengan pola pikir demikian? Toh, bukankah kita juga butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup? Pertanyaan tersebut kiranya tak dapat kita hindarkan. Terlepas dari justifikasi ‘kekinian’ terhadap dunia pendidikan saat ini, sudah selayaknya kita mempertanyakan makna seorang individu (subjek) di dalam logika formal pendidikan. Peran pendidikan sebagai suatu instrumen kebudayaan manusia sudah sewajarnya bila secara logis diharapkan untuk mencetak seorang individu yang yang dapat memecahkan suatu permasalahan sosial disekitarnya. Dalam hal ini, pendidikan sebagai suatu strategi budaya tertua bagi manusia yang difungsikan untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam paradigma logika kompetitif, peran pendidikan dijadikan sebuah bantalan untuk menjamin sistem developmentalisme dan menjadi bagian dari globalisasi ekonomi “liberal” kapitalisme. Hal inilah yang kedepannya menjadikan seorang individu sebagai objek (tenaga kerja) dan mengarahkan pandangannya untuk sekadar menyibukkan diri dalam usaha-usaha pembangunan.
 
Proses “pembunuhan subjek” menjadi sebuah frame tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan saat ini. Definisi pendidikan sebagai suatu strategi kebudayaan untuk menghasilkan manusia yang berbudaya kiranya tidak tergambar jelas disini. Pasalnya, proses “pembunuhan subjek” hanya akan memiliki konsekuensi untuk menghasilkan tenaga kerja upahan yang “siap kerja” dan cenderung menyesuaikan dirinya ke dalam sistem dan struktur sosial yang sudah mapan. Hal ini disebabkan karena paradigma pendidikan formal hari ini terkonstruk berdasarkan penyesuaiannya terhadap tradisi liberal dan mengubah penampilan kosmetiknya menjadi lembaga ritel yang menjanjikan akreditasi, pilihan program studi yang banyak diminati lapangan kerja, dsb. Pola-pola komersialisasi pendidikan, mekanisasi dan komodifikasi individu ini sangat berkaitan erat dengan agenda liberal. Seiring dengan berkembangnya pasar modal dunia, maka tak lekang membuat kebutuhan akan tenaga kerja meningkat drastis. Tak heran bagi kita bahwa kenyataan hari ini untuk mendapatkan kualitas diri dan memiliki daya tukar lebih dihadapan pasar tenaga kerja haruslah diiringi dengan “merogoh kantong sedalam-dalamnya” sebagai syarat yang wajib dibayar.

Lembaga formal pendidikan hari ini, seakan telah kehilangan maknanya sebagai siasat kebudayaan untuk mempertahankan eksistensi manusia dengan corak budaya intelektualitasnya. Relasi pengetahuan yang dijadikan unsur terpenting di dalam logika berpendidikan kian bergerser kearah dominasi kekuasaan modal sebagai sarana reproduksi sosial. Pendidikan yang sudah sewajarnya menjadi fondasi utama kebudayaan kian hari semakin teralienasi dari esensi utamanya. Ditengah tradisi liberal, pendidikan laksana batu pualam yang hanyut ditelan gemuruh zaman yang tak tentu arah.  Untuk melindungi keabsahan struktur sosial kapitalistik, lembaga pendidikan menjadi faktor penting dengan fungsinya sebagai ruang ideologisasi untuk mengupayakan seorang individu dalam penyesuaiannya terhadap struktur sosialnya. Menurut penulis, pendidikan formal hari ini telah dijadikan sarana untuk dapat memenuhi kebutuhan “banyak mulut yang harus diberi makan”. Kian memperihatinkan memang, jika kita menyaksikan keluarga, kerabat-kerabat terdekat kita, atau bahkan kita sendiri  “masih diselubungi” oleh pola-pola hegemoni yang memaksa kita terseret ke dalam jurang keterasingan diri sendiri.

Akhir kata, masih berani jujurkah kita? Bernikah kita membuka alam kesadaran untuk kembali merefleksikan kondisi pendidikan kita hari ini?. 

*Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNJ 2015, kader Solidaritas Pemoeda Rawamangun
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar