SOSIALISME DAN AGAMA SEBAGAI ALAT REVOLUSI:
ANTARA YANG-LAMPAU DAN YANG-KINI
Oleh: Roland Boer
Berikut adalah alih-bahasa yang
dilakukan Hanan Radian Arasy
terhadap paper berjudul Between Old and
New: On Socialism and Revolutionary Religion karya
Roland Boer yang termahktub dalam Jurnal Internasional Studi Pemikiran Slavoj
Zizek (ISSN 1751-8229 Volume 10:2) dan dalam rencana akan dibagi menjadi tiga
bagian.
—Redaksi
Kedai Literasi @gerakanaksara
Abstrak
DALAM perdebatan Marxisme, ketegangan
tingginya berlanjut dalam perbincangan atas kondisi keberadaan ‘sosialisme modern’ dan tradisi ‘agama
sebagai alat revolusi’. (Tradisi agama yang revolusioner di sini, maksud saya
ialah sejarah panjang dari gerakan revolusi yang terinspirasi oleh ajaran agama
yang berbeda-beda) Di sini, saya mengusulkan distingsi kon(multi)teks untuk
menganalisa pertanyaan tersebut dengan memfokuskan perbandingan pada konteks
satu situasi Eropa dengan sejarah panjangnya atas “kepeloporan sosialisme” dan
konteks lainnya yakni “Revolusi China”—khususnya “Revolusi Taiping di abad ke-19”. Sementara itu, pada
dasarnya Eropa memperkenalkan
sebuah relasi antara sosialisme modern dan agama sebagai alat revolusi merupakan
term yang secara relatif telah populer sebelumnya. Namun di sisi lain, situasi
di China telah melahirkan kompleksitas hebat yang kita sebut hari ini sebagai
dialektika dari ‘yang-lampau’ dan ‘yang-kini’. Sebagai perintah untuk memaparkan
dialektika tersebut—perkenankan sebelumnya saya ingin menjelaskan ketelitian
pemetaan yang telah dilakukan oleh Mao Zedong dari “Revolusi Taiping”, yang
pada dasarnya ia telah terinspirasi oleh penafsiran ulang inovatif atas
ajaran-ajaran Kristianitas. Kemudian, pada bagian penutup dengan mengajukan
ketegangan-ketegangan tersebut; yakni, ketegangan antara tradisi revolusi
yang-lampau dan situasi revolusi akhir-akhir ini merupakan ketegangan yang
mengidentifikasikan karakter tersendiri dari tradisi-tradisi revolusioner.
[1]
REVOLUSI radikal melakukan perubahan (apa yang sebelumnya
nampak sebagai) ketidak-mungkinan dan dengan cara demikian melahirkan
pembaharuan itu sendiri (Zizek 2012 : 209). Penelusuran yang selaras dengan
kerangka berpikir Zizek mengikuti pernyataan berikut, dimana tanda “revolusi
radikal” ‘sosialisme modern’ yang (dispektrumkan oleh Marx dan Engels). Serta,
darimana datangnya bahwa “pembaharuan” itu merupakan awal revolusi yang
terinspirasi oleh tradisi keagamaan. Suatu Revolusi telah memecahkan hegemoni
untuk mengubah kondisi yang sangat harmonis dari sebuah situasi dan kondisi
dimana revolusi yang dianggap “pertama” sebetulnya sudah pernah digulirkan, dan
perubahan koordinat tersebut pada dasarnya juga menciptakan ulang apa yang
telah dilampaui sebelumnya. Dengan demikian, persepsi dari sebuah gerak
revolusi awal, khususnya dari hukum alam religius sebagai suatu tradisi-tradisi
revolusioner telah mengakibatkan
suatu pergeseran yang mendasar dari kondisi revolusi yang sekarang lazim
muncul. Tetapi di sisi lain, situasi tersebut justru melahirkan ketegangan yang
unik sebagaimana dapat dipahami sebagai ketegangan dari ‘yang-lampau’ dan dari
‘yang-kini’. Sekalipun, ‘yang-lampau’ telah berpeluang melahirkan ‘yang-kini’.
Maka, pertanyaan selanjutnya ialah sejauh
mana pembentukan ‘yang-lampau’ dan ‘yang-kini’ dapat dikonstitusikan dengan
tepat? Pada situasi Eropa, sosialisme modern tampil sebagai konteks pembangunan
yang paling mutakhir, dengan ‘agama sebagai alat Revolusi’ mereka memilliki
catatan panjang dari sejarah pra kondisi sosialis. Secara gamblang, alur
tersebut dapat digambarkan layaknya sebuah ketegangan dengan jalan yang
spesifik. Namun, apa yang membentuk agama sebagai alat revolusi secara relatif
dipandang sebagai fenomena kekinian? Bagaimana sosialisme merespon itu? Ini
adalah situasi seperti di China. Spesifiknya, yakni pada relasi antara
‘Revolusi Taiping’ dan ‘Revolusi sosialis’.
Jadi apa yang saya ikuti merupakan
perbandingan di antara kedua konteks itu, dimulai dengan konteks Eropa, yang
akan lebih familiar kepada para pembaca kebanyakan sebagai kerangka argumentasi
perdebatan didalam ‘jubah kesetaraan’ yang familiar terdengar. Namun, banyak
perhatian akan saya curahkan kepada ‘Revolusi Taiping di abad ke-19’. Tidak
hanya karena merupakan hal yang paling signifikan sebagai sejarah luas gerakan Revolusi
dunia, tetapi juga jauh melampaui percobaan ‘Revolusi Eropa di tahun 1848’,
serta sebagai momentum ketika ‘Revolusi a
la kristianitas’ mampu bergulir di China. Saya dengan tertarik mencoba
meneliti pada bagaimana komunis china itu, khususnya Mao Zedong, dalam merespon
‘Revolusi Taiping’ yang akan menutup pengujian ini. Argumen saya ditutup oleh
pertanyaan “apa yang berpeluang membentuk tradisi revolusioner?”
Eropa : Sosialisme Eropa dan Kepeloporanya
Betapapun jika upaya untuk mewujudkan
perintah komunistis pada masyarakat itu menimbulkan hal yang klenik. maka, di tangan
lain, perjuangan dengan sebuah gereja dibentuk oleh pertumbuhan ide-ide komunis.
(Kautsky 1897 : 9)
Di Eropa dan juga situasi di Rusia,
secara relatif santer terdengar problematika sebagai berikut: Jika sosialisme
adalah gerakan baru, dan jika Revolusi sosialis secara kualitatif adalah
peristiwa baru, lalu bagaimana mereka dapat mengaitkan bentuk gerakan
revolusioner khususnya perubahan di dalam agama?
Malahan, sewaktu revolusi sebagai
konsekuensi logis, justru mengantarkan ketegangan menuju level yang tidak dapat
diketahui hingga sekarang. Ada tekanan keras dan sebuah jurang yang menganga di
antara waktu revolusi-revolusi ‘yang-kini’ dengan upaya-upaya revolusi
‘yang-lampau’. Hal tersebut dapat diselesaikan jika salah satunya mampu memulai
kepeloporan revolusi yang telah dipersiapkan lapanganya, lalu resiko satu lagi
ialah kehilangan pandangan dari apa yang terbaru tentang revolusi akhir-akhir
ini.
Namun, biarkan saya memutar-balik untuk
beberapa menit dan bertanya apa yang sebetulnya benar-benar aktual didalam
proses pembentukan konstitusi tradisi revolusi-revolusi religius keagamaan—satu
yang telah Zizek temukan untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara dia sendiri
(2000,2001b,2003,2009). Bagi Zizek, bagian ini merupakan pencarian besar dari
pemecahan pendapat mengenai revolusioner itu secara orisinil, momentumnya ialah
ketika koordinasi eksistensi adalah benar-benar berubah. Hal itu bisa jadi
melintasi ‘fantasy’ atau formula feminin dari ‘sexuasi’ a la Lacan: itu bisa jadi ‘kebebasan aktual’ ketimbang ‘kebebasan
formal’ a la Lenin; itu bisa jadi
ketaatan kaum Yahudi terhadap hukum di atas kertas, sebagai poin perlawanan
terhadap segala hukum; dan itu bisa jadi juga pemujaan Kristiani dari kebenaran
yang ilusioner—dan semua itu adalah sejatinya manusia ada atau menjadi.
Sebagaimana Yesus dari Nazareth, mengungkapkan Tuhan itu impoten. Kendati pun demikian, permasalahan
mengenai inti yang mendalam dari pembentukan bibit perlawanan a la Kristianitas memiliki asal-usul
yang panjang.
Kembali pada Engels dalam upaya dia
untuk term mengenai Calvinis dan Perjanjian Lama. Sebagai ganti dari
predestinasi dengan fokusnya yang memiliki muatan moral berlebihan, Engels
merombak implikasi radikal dari perhatian para Calvinis pada ‘Yang Agung’.
Penjelasanya bahwa suatu yang-asali dari Kristianitas itu sendiri adalah
Revolusi: Ketertarikanya terhadap kelas miskin dan tertindas, petani, dan
pengangguran kaum miskin kota; hal tersebut menguntungkan banyak hal bagi
gerakan sosialis pada waktu itu (munculnya Faksionalisme, Nabi Palsu, Kesulitan
organisasi mengumpulkan dana, Idealis Utopian,dan sebagainya ) serta itu
memungkinkan “mawar merah” menjadi gerakan yang massif (Engels 1894-95b;
1894-95a).
Beberapa empat dekade belakangan, dia
menawarkan interpretasi pertama Marxist dari Revolusi Proletar, dipimpin oleh
Thomas Munzer pada waktu Reformasi pada abad ke-19 (Engels 1850b; 1850). Engels
cenderung tertarik dengan cara Munzer, untuk menjelaskan bahwa bahasa Theologis
sebagai jubah untuk pidato ‘yang-politis’ sebagai ganti dari kekecewaan ekonomi
dan aspirasi rakyat, malahan hal tersebut menyerupai bahasa yang ada hanya pada
satu kemungkinan pada suatu waktu. Tentu, hal ini mendukung argumentasi dia
bahwa ‘sosialisme modern ‘memecahkan tradisi-tradisi itu, untuk berbicara
langsung tentang problem yang nyata.
Dengan kontras, Karl Kautsky, seseorang
yang dipercaya Engels memiliki pemahaman yang baik mengenai agama yang
revolusioner, sesekali berpendapat dengan tepat bahwa alasan Theologis
banyaknya sebagai satu hal yang ekonomis telah memicu banyak gerakan. Dalam
studi panjangnya Kautsky mengidentifikasi hal berikut: Komunisme Monastik Awal,
Mistisisme, dan asketisme; Waldensian di abad ke-20 yang masih eksis hingga
sekarang di Piedmont, dimana mereka mendorong model kristiani komunisme dalam
buku Acts : The Apolistic Brethren,
yang digubah oleh Gerardo Segarelli dari Parma Italy, seseorang di tahun 1260
yang mengumumkan kembali posisinya dan mengenakan pakaian layaknya rasul,
memohon dan berdakwah serta menyatukan sebuah gerakan di sekitar dia;
suksesornya adalah The Dulcinians
dibawah Fra Dolcino dari Novara (1250-1307), seorang yang mendorong untuk
memimpin sebuah kelompok menuju benteng untuk menjalankan sebuah kapal boat
militer, hingga pada akhirnya mereka dihancurkan oleh kelompok The Beguines and Beghard, yang hidup
sederhana dalam kelompok dalam perjalanan menyeberang ke belanda di abad ke-20;
Lollards, seorang pengikut dari John Wycliffe yang dikekang oleh keyakinan
pribadinya, telah membaca tafsir alkitab suci injil sehingga banyak-sedikit
mampu memprediksi terjadinya serangkaian pemberontakan di Inggris oleh The Taboties, sebuah gerakan di abad-20 yang
mengangungkan sikap asketisme, kehidupan komunal dan kestabilan dari kerajaan
Tuhan oleh tentara-Nya. Di sisi lain, The
Bohemian Brether meyakini bahwa kerajaan Tuhan itu berada diantara
kehidupan komunal kita dan disetiap sembahyang. The Bohemian Brether adalah keompok yang memiliki pengaruh kuat
dari penafsiran dari Kitab Suci Injil lewat literature-literatur Ceko. Itu
semua merupakan daftar yang datang dari karya Kautsky yang ditinggalkanya, “Forerunners of Modern Socialism” (Kepeloporan dari Sosialisme Modern) (Kautsky 1895-97a;
1895-97b; Kautsky dan Lafargue 1922; Boer 2014c).
![]() |
ILUSTRASI: PINTEREST COM |
Mari kita mengamati lebih dekat pada
daftar yang telah dikeluarkan tersebut. Padanya, terdapat dua macam dari
bentuk-bentuk gerakan; Pertama,
Kedalaman Kritisisme untuk mengigit status
quo di segala bidang—institusi religius, formasi politis, ketidak-adilan
sosial dan kehidupan privat. Seperti kritisisme yang dilandaskan atas azas
perubahan radikal, termasuk pandangan bahwa “Tuhan yang berada atau melebur
didalam tubuh mereka sendiri” sebagai penuntun hukum dari eksistensi manusia.
Dari perspektif itu, situasi hari ini dapat ditemukan pada suatu kelemahanya.
terutama ketika pemetaanya dilakukan dengan tradisi yang berkaitan dengan skrip
kitab suci Injil bahwa kitab suci itu membicarakan keadilan dan kesetaraan
kehidupan sosial. sehingga pada gerakan yang lebih Radikal seperti kritisisme
dapat berubah menjadi tindakan Revolusioner.
Kedua, pertanda dari kehidupan komunal yang
seringkali membicarakan kepemilikan bersama dengan prinsip “untuk setiap
pendasaran kebutuhan, disesuaikan secara merata dengan kecakapan masing-masing”—di
titk itu, Ide adalah suatu orisinalitas dari sebuah sistem keyakinan, seperti
sebuah pembicaraan di dalam buku Acts 4;32-35, Meskipun hal tersebut menjadi
bahan pokok dari doktrin gerakan sosialisme (Marx 1891b: 87:1891 a:21).
Banyak gerakan-gerakan yang saya catat
akhir-akhir ini dengan variasi penyelenggaraan yang berbeda-beda dari setiap
kehidupan komunal, penyelenggaraan
yang berlanjut hari ini ialah dengan kekuatan kolektifitas agama. Kendati pun
demikian, telah banyak kecenderungan kita untuk mengelak dari tujuan
Revolusioner dan mengasumsikan bahwa hal itu merupakan contoh dari hidup yang
patut sebagai ajakan kepada orang lain dalam menggapai sebuah kebaikan, dengan
harapan perubahan besar didalam tatanan suatu masyarakat. Argumentasi itu
membuat tindakan Revolusiner cenderung lebih mendasarkan pada kehancuran
kelompok, maka lebih baik fokuskan pada kehidupan komunal. Namun, aksi itu
memuat hal yang berbahaya. Seperti, standart hidup masyarakat di dunia yang
sangat berbeda-beda dari setiap subjek dan model yang mereka dambakan, dan
memiliki konsekuensi, bahwa kompromi itu harus dibela sebagai tuntunan dari
penyeselaian semu dari setiap upaya manusia.
![]() |
Roland Boer (1961-) |
Usai, kerja-kerja Kautsky yang mendapatkan
masalah yang akut saya mengidentifikasikan cepat-cepat: apa ada tradisi panjang
Gerakan Revolusioner yang terinspirasi oleh agama? Lalu bagaimana sosialisme
modern itu memandang?
Pada sebuah tulisan terdapat topik yang
memaparkan kekecewaan dari rasa ingin tahu sebagai berikut: semakin banyak ia mempelajari
sesuatu seperti tradisi, semakin besar peluang ia jatuh pada rasa ingin
mengidentifikasi bagaimana mereka mendapatkan hasil yang sangat dangkal dari
sosialisme modern itu. Engels, mengemukkan agama revolusioner akhir-akhir ini
menggunakan bahasa kristianitas-seperti jubah-untuk membicarakan kekecewaan
ekonomi dan politis.
Pada waktu Kautsky mengambil garis itu,
ia juga membicarakan seputar tudung kegamaan,meskipun argumentasi Kautsky
bukanlah suatu hal yang patut di besar-besarkan. Daripada, pertaruhanya
terhadap suatu posisi yang luas untuk meyakinkan pemisahan diantara apa yang ia
sebut sebagai “Komunisme heterodox” dengan “sosialisme modern”. Contohnya, karakteristik
kelas daripada komunisme yang tidak dapat diartikulasikan dan belum lengkap:
itu nampak apolitis dan pasif, menunggu keajaiban intervensi Tuhan dan tentara
utusanya: pada dasarnya menurut Kautsky, hal itu merupakan akumulasi rasa benci
dari kekuatan paus, disisi lain sangat luas dan cengeng.
Tentang semua itu, tidak ada pandangan
untuk mengubah model produksi yang sangat aktual. Mereka memilliki dukungan dan
pengejawantahan dari tuntunan
Injil sebagai segala harapan umat,seperti tuntunan pembagian kekayaan mereka;
namun mereka tidak melihat untuk bagaimana merebut alat-alat produksi lewat
tindakan revolusioner. Untuk alasan ini, yakni daya tahan komunitas yang
berjangka pendek.
Sekali lagi, dihisap oleh sistem model
produksi yang berlaku. seluruh poin itu disajikan hanya untuk memilah-milah
tradisi paling tua dari agama sebagai alat revolusi pada sosialisme. Untuk
pemberontakan yang terjadi belakangan ini, dalam konteks pemisahan dan
pemilahan kelas yang jelas, secara politis itu aktif, membidik pemilik modal
dari suatu mode produksi masyarakat dan melihat untuk mengakhiri monopoli
pemilik modal didalam kekuasaan sistem ekonomi.
Dilema kautsky juga nampak pada
kerjanya yang memukau seputar Anatoly Luchanarsky, dan Bolshevik Kiri serta paska
revolusi Russia—komisariat untuk pencerahan di Rusia Baru. Dalam karya yang
belum usai, The Religion and Socialism,
Luchanarsky membicarakan mengenai jarak daripada tradisi Komunis Kristiani.
Lagi dan lagi ia memulai awal kristianitas yang mengandung persekutuan,kesetaraan
dan kejujuran. Pesan mereka adalah “Kemuliaan bagi si Miskin”, dari penindasan,
keterampilan dan kelas yang dipekerjakan dan kelompok mereka ialah tersebar
karena semangat kolektif berbagi apa yang sedikit mereka miliki (Lunacharsky
1911:11) Untuk memperkuat argumentasi, Lunaharsky mencurahkan perhatianya
kepada teks-teks injil untuk mempelajari komunisme dan menyelesaikan oposisi
dengan melakukan akuisisi terhadap konsep kepemilikan privat-tidak kurang
sebagai karakteristik “Demokratis, dan Kesetaraan Sosial”(1911:65; lihat
Lunacharsky 1985:76,84-85,92,120-21,173-76). []
—Bersambung pada Bagian II—
*Roland Boer—Professor bidang Literary Theory di University of China,
Beijing dan Peneliti pada Univesitas of Newcastle, Australia yang menekuni persingungan
antara Agama dan Marxisme.
*Hanan Radian Arasy—pelajar abadi yang gemar nyemil-nyemil lucu
apalagi minum-minum unyu di Kedai Literasi Gerakan Aksara, saat menulis senang
mendengarkan lagu Folk Jazz/Post-Rock yang didendangkan oleh band indie asal
Indonesia yaitu The Trees and The Wild. Rutinitas sehari-harinya sebagai
mahasiswa di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta dan Bergiat aktif di
Komunitas Diskusi Kamis Sore. Serta berjejaring dengan Jaringan Mahasiswa
Sosiologi Se-Jawa dan Bangkok International University of Thailand (Forum EP’s)
dengan Terdaftar ke dalam International Journal of žizekian Studies dengan notasi [HRA]. Surat Menyurat : zizekiangaze@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar