Selasa, 06 Juni 2017

Sosialisme dan Agama Sebagai Alat Revolusi: Antara Yang-Lampau dan Yang-Kini

SOSIALISME DAN AGAMA SEBAGAI ALAT REVOLUSI:
ANTARA YANG-LAMPAU DAN YANG-KINI
Oleh: Roland Boer 
Marxism Wil Give Health to the Sick by Frida Kahlo (1954)
| ILUSTRASI: PINTEREST COM 

Berikut adalah alih-bahasa yang dilakukan Hanan Radian Arasy terhadap paper berjudul Between Old and New: On Socialism and Revolutionary Religion karya Roland Boer yang termahktub dalam Jurnal Internasional Studi Pemikiran Slavoj Zizek (ISSN 1751-8229 Volume 10:2) dan dalam rencana akan dibagi menjadi tiga bagian.
—Redaksi Kedai Literasi @gerakanaksara

Abstrak
DALAM perdebatan Marxisme, ketegangan tingginya berlanjut dalam perbincangan atas kondisi keberadaan  ‘sosialisme modern’ dan tradisi ‘agama sebagai alat revolusi’. (Tradisi agama yang revolusioner di sini, maksud saya ialah sejarah panjang dari gerakan revolusi yang terinspirasi oleh ajaran agama yang berbeda-beda) Di sini, saya mengusulkan distingsi kon(multi)teks untuk menganalisa pertanyaan tersebut dengan memfokuskan perbandingan pada konteks satu situasi Eropa dengan sejarah panjangnya atas “kepeloporan sosialisme” dan konteks lainnya yakni “Revolusi China”—khususnya “Revolusi Taiping di  abad ke-19”. Sementara itu, pada dasarnya  Eropa memperkenalkan sebuah relasi antara sosialisme modern dan agama sebagai alat revolusi merupakan term yang secara relatif telah populer sebelumnya. Namun di sisi lain, situasi di China telah melahirkan kompleksitas hebat yang kita sebut hari ini sebagai dialektika dari ‘yang-lampau’ dan ‘yang-kini’. Sebagai perintah untuk memaparkan dialektika tersebut—perkenankan sebelumnya saya ingin menjelaskan ketelitian pemetaan yang telah dilakukan oleh Mao Zedong dari “Revolusi Taiping”, yang pada dasarnya ia telah terinspirasi oleh penafsiran ulang inovatif atas ajaran-ajaran Kristianitas. Kemudian, pada bagian penutup dengan mengajukan ketegangan-ketegangan tersebut; yakni, ketegangan antara tradisi revolusi yang-lampau dan situasi revolusi akhir-akhir ini merupakan ketegangan yang mengidentifikasikan karakter tersendiri dari tradisi-tradisi revolusioner.

[1]
REVOLUSI radikal melakukan perubahan (apa yang sebelumnya nampak sebagai) ketidak-mungkinan dan dengan cara demikian melahirkan pembaharuan itu sendiri (Zizek 2012 : 209). Penelusuran yang selaras dengan kerangka berpikir Zizek mengikuti pernyataan berikut, dimana tanda “revolusi radikal” ‘sosialisme modern’ yang (dispektrumkan oleh Marx dan Engels). Serta, darimana datangnya bahwa “pembaharuan” itu merupakan awal revolusi yang terinspirasi oleh tradisi keagamaan. Suatu Revolusi telah memecahkan hegemoni untuk mengubah kondisi yang sangat harmonis dari sebuah situasi dan kondisi dimana revolusi yang dianggap “pertama” sebetulnya sudah pernah digulirkan, dan perubahan koordinat tersebut pada dasarnya juga menciptakan ulang apa yang telah dilampaui sebelumnya. Dengan demikian, persepsi dari sebuah gerak revolusi awal, khususnya dari hukum alam religius sebagai suatu tradisi-tradisi revolusioner  telah mengakibatkan suatu pergeseran yang mendasar dari kondisi revolusi yang sekarang lazim muncul. Tetapi di sisi lain, situasi tersebut justru melahirkan ketegangan yang unik sebagaimana dapat dipahami sebagai ketegangan dari ‘yang-lampau’ dan dari ‘yang-kini’. Sekalipun, ‘yang-lampau’ telah berpeluang melahirkan ‘yang-kini’.
Maka, pertanyaan selanjutnya ialah sejauh mana pembentukan ‘yang-lampau’ dan ‘yang-kini’ dapat dikonstitusikan dengan tepat? Pada situasi Eropa, sosialisme modern tampil sebagai konteks pembangunan yang paling mutakhir, dengan ‘agama sebagai alat Revolusi’ mereka memilliki catatan panjang dari sejarah pra kondisi sosialis. Secara gamblang, alur tersebut dapat digambarkan layaknya sebuah ketegangan dengan jalan yang spesifik. Namun, apa yang membentuk agama sebagai alat revolusi secara relatif dipandang sebagai fenomena kekinian? Bagaimana sosialisme merespon itu? Ini adalah situasi seperti di China. Spesifiknya, yakni pada relasi antara ‘Revolusi Taiping’ dan ‘Revolusi sosialis’.
Jadi apa yang saya ikuti merupakan perbandingan di antara kedua konteks itu, dimulai dengan konteks Eropa, yang akan lebih familiar kepada para pembaca kebanyakan sebagai kerangka argumentasi perdebatan didalam ‘jubah kesetaraan’ yang familiar terdengar. Namun, banyak perhatian akan saya curahkan kepada ‘Revolusi Taiping di abad ke-19’. Tidak hanya karena merupakan hal yang paling signifikan sebagai sejarah luas gerakan Revolusi dunia, tetapi juga jauh melampaui percobaan ‘Revolusi Eropa di tahun 1848’, serta sebagai momentum ketika ‘Revolusi a la kristianitas’ mampu bergulir di China. Saya dengan tertarik mencoba meneliti pada bagaimana komunis china itu, khususnya Mao Zedong, dalam merespon ‘Revolusi Taiping’ yang akan menutup pengujian ini. Argumen saya ditutup oleh pertanyaan “apa yang berpeluang membentuk tradisi revolusioner?”


Eropa : Sosialisme Eropa dan Kepeloporanya
Betapapun jika upaya untuk mewujudkan perintah komunistis pada masyarakat itu menimbulkan hal yang klenik. maka, di tangan lain, perjuangan dengan sebuah gereja dibentuk oleh pertumbuhan ide-ide komunis.  (Kautsky 1897 : 9)
Di Eropa dan juga situasi di Rusia, secara relatif santer terdengar problematika sebagai berikut: Jika sosialisme adalah gerakan baru, dan jika Revolusi sosialis secara kualitatif adalah peristiwa baru, lalu bagaimana mereka dapat mengaitkan bentuk gerakan revolusioner khususnya perubahan di dalam agama?
Malahan, sewaktu revolusi sebagai konsekuensi logis, justru mengantarkan ketegangan menuju level yang tidak dapat diketahui hingga sekarang. Ada tekanan keras dan sebuah jurang yang menganga di antara waktu revolusi-revolusi ‘yang-kini’ dengan upaya-upaya revolusi ‘yang-lampau’. Hal tersebut dapat diselesaikan jika salah satunya mampu memulai kepeloporan revolusi yang telah dipersiapkan lapanganya, lalu resiko satu lagi ialah kehilangan pandangan dari apa yang terbaru tentang revolusi akhir-akhir ini.
Namun, biarkan saya memutar-balik untuk beberapa menit dan bertanya apa yang sebetulnya benar-benar aktual didalam proses pembentukan konstitusi tradisi revolusi-revolusi religius keagamaan—satu yang telah Zizek temukan untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara dia sendiri (2000,2001b,2003,2009). Bagi Zizek, bagian ini merupakan pencarian besar dari pemecahan pendapat mengenai revolusioner itu secara orisinil, momentumnya ialah ketika koordinasi eksistensi adalah benar-benar berubah. Hal itu bisa jadi melintasi ‘fantasy’ atau formula feminin dari ‘sexuasi’ a la Lacan: itu bisa jadi ‘kebebasan aktual’ ketimbang ‘kebebasan formal’ a la Lenin; itu bisa jadi ketaatan kaum Yahudi terhadap hukum di atas kertas, sebagai poin perlawanan terhadap segala hukum; dan itu bisa jadi juga pemujaan Kristiani dari kebenaran yang ilusioner—dan semua itu adalah sejatinya manusia ada atau menjadi. Sebagaimana Yesus dari Nazareth, mengungkapkan Tuhan itu impoten.  Kendati pun demikian, permasalahan mengenai inti yang mendalam dari pembentukan bibit perlawanan a la Kristianitas memiliki asal-usul yang panjang.
Kembali pada Engels dalam upaya dia untuk term mengenai Calvinis dan Perjanjian Lama. Sebagai ganti dari predestinasi dengan fokusnya yang memiliki muatan moral berlebihan, Engels merombak implikasi radikal dari perhatian para Calvinis pada ‘Yang Agung’. Penjelasanya bahwa suatu yang-asali dari Kristianitas itu sendiri adalah Revolusi: Ketertarikanya terhadap kelas miskin dan tertindas, petani, dan pengangguran kaum miskin kota; hal tersebut menguntungkan banyak hal bagi gerakan sosialis pada waktu itu (munculnya Faksionalisme, Nabi Palsu, Kesulitan organisasi mengumpulkan dana, Idealis Utopian,dan sebagainya ) serta itu memungkinkan “mawar merah” menjadi gerakan yang massif (Engels 1894-95b; 1894-95a).
Beberapa empat dekade belakangan, dia menawarkan interpretasi pertama Marxist dari Revolusi Proletar, dipimpin oleh Thomas Munzer pada waktu Reformasi pada abad ke-19 (Engels 1850b; 1850). Engels cenderung tertarik dengan cara Munzer, untuk menjelaskan bahwa bahasa Theologis sebagai jubah untuk pidato ‘yang-politis’ sebagai ganti dari kekecewaan ekonomi dan aspirasi rakyat, malahan hal tersebut menyerupai bahasa yang ada hanya pada satu kemungkinan pada suatu waktu. Tentu, hal ini mendukung argumentasi dia bahwa ‘sosialisme modern ‘memecahkan tradisi-tradisi itu, untuk berbicara langsung tentang problem yang nyata.
Dengan kontras, Karl Kautsky, seseorang yang dipercaya Engels memiliki pemahaman yang baik mengenai agama yang revolusioner, sesekali berpendapat dengan tepat bahwa alasan Theologis banyaknya sebagai satu hal yang ekonomis telah memicu banyak gerakan. Dalam studi panjangnya Kautsky mengidentifikasi hal berikut: Komunisme Monastik Awal, Mistisisme, dan asketisme; Waldensian di abad ke-20 yang masih eksis hingga sekarang di Piedmont, dimana mereka mendorong model kristiani komunisme dalam buku Acts : The Apolistic Brethren, yang digubah oleh Gerardo Segarelli dari Parma Italy, seseorang di tahun 1260 yang mengumumkan kembali posisinya dan mengenakan pakaian layaknya rasul, memohon dan berdakwah serta menyatukan sebuah gerakan di sekitar dia; suksesornya adalah The Dulcinians dibawah Fra Dolcino dari Novara (1250-1307), seorang yang mendorong untuk memimpin sebuah kelompok menuju benteng untuk menjalankan sebuah kapal boat militer, hingga pada akhirnya mereka dihancurkan oleh kelompok The Beguines and Beghard, yang hidup sederhana dalam kelompok dalam perjalanan menyeberang ke belanda di abad ke-20; Lollards, seorang pengikut dari John Wycliffe yang dikekang oleh keyakinan pribadinya, telah membaca tafsir alkitab suci injil sehingga banyak-sedikit mampu memprediksi terjadinya serangkaian pemberontakan di Inggris oleh The Taboties, sebuah gerakan di abad-20 yang mengangungkan sikap asketisme, kehidupan komunal dan kestabilan dari kerajaan Tuhan oleh tentara-Nya. Di sisi lain, The Bohemian Brether meyakini bahwa kerajaan Tuhan itu berada diantara kehidupan komunal kita dan disetiap sembahyang. The Bohemian Brether adalah keompok yang memiliki pengaruh kuat dari penafsiran dari Kitab Suci Injil lewat literature-literatur Ceko. Itu semua merupakan daftar yang datang dari karya Kautsky yang  ditinggalkanya, “Forerunners of Modern Socialism”  (Kepeloporan dari Sosialisme Modern) (Kautsky 1895-97a; 1895-97b; Kautsky dan Lafargue 1922; Boer 2014c). 
ILUSTRASI: PINTEREST COM
Mari kita mengamati lebih dekat pada daftar yang telah dikeluarkan tersebut. Padanya, terdapat dua macam dari bentuk-bentuk gerakan; Pertama, Kedalaman Kritisisme untuk mengigit status quo di segala bidang—institusi religius, formasi politis, ketidak-adilan sosial dan kehidupan privat. Seperti kritisisme yang dilandaskan atas azas perubahan radikal, termasuk pandangan bahwa “Tuhan yang berada atau melebur didalam tubuh mereka sendiri” sebagai penuntun hukum dari eksistensi manusia. Dari perspektif itu, situasi hari ini dapat ditemukan pada suatu kelemahanya. terutama ketika pemetaanya dilakukan dengan tradisi yang berkaitan dengan skrip kitab suci Injil bahwa kitab suci itu membicarakan keadilan dan kesetaraan kehidupan sosial. sehingga pada gerakan yang lebih Radikal seperti kritisisme dapat berubah menjadi tindakan Revolusioner.
Kedua, pertanda dari kehidupan komunal yang seringkali membicarakan kepemilikan bersama dengan prinsip “untuk setiap pendasaran kebutuhan, disesuaikan secara merata dengan kecakapan masing-masing”—di titk itu, Ide adalah suatu orisinalitas dari sebuah sistem keyakinan, seperti sebuah pembicaraan di dalam buku Acts 4;32-35, Meskipun hal tersebut menjadi bahan pokok dari doktrin gerakan sosialisme (Marx 1891b: 87:1891 a:21).
Banyak gerakan-gerakan yang saya catat akhir-akhir ini dengan variasi penyelenggaraan yang berbeda-beda dari setiap kehidupan komunal,  penyelenggaraan yang berlanjut hari ini ialah dengan kekuatan kolektifitas agama. Kendati pun demikian, telah banyak kecenderungan kita untuk mengelak dari tujuan Revolusioner dan mengasumsikan bahwa hal itu merupakan contoh dari hidup yang patut sebagai ajakan kepada orang lain dalam menggapai sebuah kebaikan, dengan harapan perubahan besar didalam tatanan suatu masyarakat. Argumentasi itu membuat tindakan Revolusiner cenderung lebih mendasarkan pada kehancuran kelompok, maka lebih baik fokuskan pada kehidupan komunal. Namun, aksi itu memuat hal yang berbahaya. Seperti, standart hidup masyarakat di dunia yang sangat berbeda-beda dari setiap subjek dan model yang mereka dambakan, dan memiliki konsekuensi, bahwa kompromi itu harus dibela sebagai tuntunan dari penyeselaian semu dari setiap upaya manusia.
Roland Boer (1961-)
Usai, kerja-kerja Kautsky yang mendapatkan masalah yang akut saya mengidentifikasikan cepat-cepat: apa ada tradisi panjang Gerakan Revolusioner yang terinspirasi oleh agama? Lalu bagaimana sosialisme modern itu memandang?
Pada sebuah tulisan terdapat topik yang memaparkan kekecewaan dari rasa ingin tahu sebagai berikut: semakin banyak ia mempelajari sesuatu seperti tradisi, semakin besar peluang ia jatuh pada rasa ingin mengidentifikasi bagaimana mereka mendapatkan hasil yang sangat dangkal dari sosialisme modern itu. Engels, mengemukkan agama revolusioner akhir-akhir ini menggunakan bahasa kristianitas-seperti jubah-untuk membicarakan kekecewaan ekonomi dan politis.
Pada waktu Kautsky mengambil garis itu, ia juga membicarakan seputar tudung kegamaan,meskipun argumentasi Kautsky bukanlah suatu hal yang patut di besar-besarkan. Daripada, pertaruhanya terhadap suatu posisi yang luas untuk meyakinkan pemisahan diantara apa yang ia sebut sebagai “Komunisme heterodox” dengan “sosialisme modern”. Contohnya, karakteristik kelas daripada komunisme yang tidak dapat diartikulasikan dan belum lengkap: itu nampak apolitis dan pasif, menunggu keajaiban intervensi Tuhan dan tentara utusanya: pada dasarnya menurut Kautsky, hal itu merupakan akumulasi rasa benci dari kekuatan paus, disisi lain sangat luas dan cengeng.
Tentang semua itu, tidak ada pandangan untuk mengubah model produksi yang sangat aktual. Mereka memilliki dukungan dan pengejawantahan dari  tuntunan Injil sebagai segala harapan umat,seperti tuntunan pembagian kekayaan mereka; namun mereka tidak melihat untuk bagaimana merebut alat-alat produksi lewat tindakan revolusioner. Untuk alasan ini, yakni daya tahan komunitas yang berjangka pendek.
Sekali lagi, dihisap oleh sistem model produksi yang berlaku. seluruh poin itu disajikan hanya untuk memilah-milah tradisi paling tua dari agama sebagai alat revolusi pada sosialisme. Untuk pemberontakan yang terjadi belakangan ini, dalam konteks pemisahan dan pemilahan kelas yang jelas, secara politis itu aktif, membidik pemilik modal dari suatu mode produksi masyarakat dan melihat untuk mengakhiri monopoli pemilik modal didalam kekuasaan sistem ekonomi.
Dilema kautsky juga nampak pada kerjanya yang memukau seputar Anatoly Luchanarsky, dan Bolshevik Kiri serta paska revolusi Russia—komisariat untuk pencerahan di Rusia Baru. Dalam karya yang belum usai, The Religion and Socialism, Luchanarsky membicarakan mengenai jarak daripada tradisi Komunis Kristiani. Lagi dan lagi ia memulai awal kristianitas yang mengandung persekutuan,kesetaraan dan kejujuran. Pesan mereka adalah “Kemuliaan bagi si Miskin”, dari penindasan, keterampilan dan kelas yang dipekerjakan dan kelompok mereka ialah tersebar karena semangat kolektif berbagi apa yang sedikit mereka miliki (Lunacharsky 1911:11) Untuk memperkuat argumentasi, Lunaharsky mencurahkan perhatianya kepada teks-teks injil untuk mempelajari komunisme dan menyelesaikan oposisi dengan melakukan akuisisi terhadap konsep kepemilikan privat-tidak kurang sebagai karakteristik “Demokratis, dan Kesetaraan Sosial”(1911:65; lihat Lunacharsky 1985:76,84-85,92,120-21,173-76). []
—Bersambung pada Bagian II—

*Roland Boer—Professor bidang Literary Theory di University of China, Beijing dan Peneliti pada Univesitas of Newcastle, Australia yang menekuni persingungan antara Agama dan Marxisme. 

*Hanan Radian Arasy—pelajar abadi yang gemar nyemil-nyemil lucu apalagi minum-minum unyu di Kedai Literasi Gerakan Aksara, saat menulis senang mendengarkan lagu Folk Jazz/Post-Rock yang didendangkan oleh band indie asal Indonesia yaitu The Trees and The Wild. Rutinitas sehari-harinya sebagai mahasiswa di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta dan Bergiat aktif di Komunitas Diskusi Kamis Sore. Serta berjejaring dengan Jaringan Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa dan Bangkok International University of Thailand (Forum EP’s) dengan Terdaftar ke dalam International Journal of žizekian Studies dengan notasi [HRA].  Surat Menyurat : zizekiangaze@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar