KITA ADALAH ISIS
Oleh: Dr. Elham Manea
—Kita
adalah ISIS…
SEBUAH pernyataan mengejutkan bukan?
Namun itu adalah judul sebuah artikel yang ditulis oleh mantan Menteri bidang
Informasi Negara Kuwait, Saad bin Tefla al Ajami. Diterbitkan pada 7 Agustus
2014 oleh surat kabar Qatar al Sharq.
Dia tidak mendukung/merayakan (keberadaan) negara Islam Irak dan Levant (ISIS),
maupun kekejamannya yang dilakukan terhadap warga sipil dan kelompok minoritas
di Irak dan Suriah.
Dia
mengingatkan kita bahwa ISIS, sementara dikutuk oleh mayoritas umat Islam,
adalah produk dari wacana agama Islam yang mendominasi ruang publik kita dalam
dekade terakhir—sebuah wacana utama!
ISIS,
“tidak datang dari planet lain,” katanya.
“(ISIS)
bukan produk dari kafir Barat atau para orientalis dahulu,” tegasnya.
Tidak, “kebenaran
bahwa kita tidak dapat menyangkal adalah: ISIS belajar dari sekolah kita,
berdoa di masjid kita, mendengarkan media kita ... dan platform agama kita,
membaca dari buku-buku dan referensi kita, dan mengikuti fatwa (fatwa agama)
yang kita produksi.”
Dia
benar.
Tentu
akan mudah untuk bersikeras bahwa ISIS tidak mewakili ajaran Islam yang benar.
Akan sangat mudah untuk melakukan itu. Dan ya, saya percaya bahwa Islam adalah
apa yang kita, manusia, membuatnya seperti itu. Agama bisa menjadi pesan cinta
atau pedang untuk kebencian oleh orang-orang percaya di dalamnya.
Tapi
kenyataannya tetap bahwa tindakan ISIS telah secara ideologis diarus-utamakan
sejak lama: di masjid-masjid yang penuh kutukan ‘Tentara Salib Kristen’,
‘Yahudi’, dan ‘kafir’ dalam setiap khotbah Jumat. Oleh tokoh-tokoh agama, yang
menyambut kita setiap hari melalui program TV (Uztad TV), memberitakan pesan
kebencian dan intoleransi terhadap ‘lainnya’, terlepas dari siapakah yang
disebut ‘lainnya’ .
ISIS ada
di sekolah yang mengajarkan kita bahwa hukuman untuk keluar dari Islam adalah
kematian; bahwa orang Kristen dan Yahudi ‘orang yang dilindungi’, pihak-pihak
yang harus membayar takdirnya sendiri atau mereka harus diperangi. Nasib
anggota ‘agama lain’ yang tersisa tak terhitung, tapi kita bisa membacanya di
antara baris. Dalam kelas kita tidak pernah diajarkan bahwa warga negara
memiliki hak untuk memilih agamanya, atau bahwa warga negara adalah sama di
depan hukum tanpa pertimbangan agama atau keyakinan.
ISIS
adalah produk dari wacana agama kita—wacana utama.
ISIS adalah
produk dari proses politik. Hal ini dimulai dengan munculnya ideologi politik
Islam, disebarkan sejak tahun 1973 dengan uang minyak Monarki Teluk
(Negara-negara Arab kaya) dan revolusi Iran tahun 1979.
Ini
adalah produk dari strategi politik. Pemimpin negara mengambil keuntungan dari
fenomena Islam politik, mendukung kelompok-kelompok Islam tertentu daripada
yang lain, dan membentuk aliansi politik dengan mereka.
Tujuan
mereka adalah politik: untuk melegitimasi kekuasaan mereka dalam arti agama
atau dan mendelegitimasi (membatalkan keabsahan) saingan mereka.
Aliansi
Machiavellian datang dengan label harga. Dalam pertukaran untuk dukungan
mereka. Kelompok-kelompok Islam diperbolehkan untuk mendominasi wacana agama
dengan ideologi kebencian, pengucilan, dan intoleransi—masjid, media dan
sekolah menjadi lapangan untuk menyebarkan ideologi mereka.
![]() |
Dr. Elham Manea (1966-) |
Ini
adalah produk dari kegagalan politik. Negara gagal memenuhi bagian mereka dari
kontrak sosial, dari tidak dapatnya negara menutupi biaya kesehatan, pendidikan
yang penting bagi warga negara mereka dan kebutuhan sosial lainnya.
Kelompok-kelompok
Islam, membanjirinya dengan uang, mengisi kesenjangan—dengan layanan yang
dikemas dalam pandangan dunia ideologis mereka.
Tentu
akan mudah untuk bersikeras bahwa ISIS adalah produk dari konspirasi asing.
Tetapi
bahkan, sepertinya kita mengubur kepala kita di pasir (menutup mata), tidak ada
yang dapat bersembunyi dari kenyataan bahwa ISIS memang produk kita.
Kita yang
membuatnya sebagai arus utama.
Tapi kita
terkejut bahwa (ISIS) memakai kata-kata dari wacana keagamaan kita secara
harfiah.
Serius? tiba-tiba kita terkejut…
Tanpa
mengakui tanggung jawab, kita masih berbisnis seperti biasa. Masjid akan terus
mengutuk orang-orang Yahudi, Kristen dan kafir setiap hari Jumat. Pengkhotbah
akan terus memukau kita dengan pesan intoleransi mereka. Dan, sekolah akan
terus mengajarkan kita bahwa agama adalah penanda utama dari identitas dan
kewarganegaraan.
Hanya
berhenti sejenak dan berpikir, tanyakan pada diri sendiri: Berapa banyak wanita
telah ditekan dalam nama agama kita akhir-akhir ini? Berapa banyak orang
Kristen atau Ahmadis Pakistan telah ditargetkan akhir-akhir ini? Berapa banyak
Gereja telah diserang di Indonesia dan Nigeria? Berapa banyak Koptik Mesir
telah diusir dari desa mereka? Berapa rumah dan toko mereka dibakar?
Berapa banyak Sunni membunuh Syiah? Berapa banyak Syiah membunuh Sunni? Berapa
banyak Baha'i telah ditekan secara brutal di Iran? Dan
berapa banyak warga Inggris telah bergabung ISIS?
Akan
lebih mudah untuk melihat ke arah lain. Akan lebih mudah. Tetapi jika kita
terus menyalahkan orang lain, bersikeras tidak bertindak dan keheningan kita,
itu adalah kita, kita, bukan orang lain, yang membiarkan agama kita dibajak
oleh penafsiran fundamentalis Islam ini (ISIS).
ISIS ada
di dalam kita. Ini adalah waktu untuk menghadapi ISIS dalam diri kita.
*Dr. Elham Manea—Pengajar di American
University, Washington DC. Menekuni kajian Timur-Tengah.
**Tulisan
di atas pertama kali diterbitkan DI SINI. Lalu
diterbitkan ulang di Huffingtonpost. Diterjemahkan oleh Iman
Zanatul Haeri—sekarang bekerja di Litbang LBH Rakyat
Banten, masih aktif sebagai Pustakawan di Komunitas Perpustakaan Kandangbuku di
Rawamangun Jakarta Timur. Aktif sebagai pelaku seni Mural dan berdomisili di
kota Pandeglang dengan alasan sederhana: orang tua tidak mengijinkan. Pernah
menjadi speaker di symposium LIPI ICSSH 2016, pernah 3 kali menulis dan dimuat
di mojok.co, pernah menulis di Islami.co. beberapa bulan
belakangan sedang menelaah literatur kelas menengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar