Selasa, 06 Juni 2017

Kita adalah ISIS

KITA ADALAH ISIS
Oleh: Dr. Elham Manea
ILUSTRASI: ICSVE | 2016
—Kita adalah ISIS…
SEBUAH pernyataan mengejutkan bukan? Namun itu adalah judul sebuah artikel yang ditulis oleh mantan Menteri bidang Informasi Negara Kuwait, Saad bin Tefla al Ajami. Diterbitkan pada 7 Agustus 2014 oleh surat kabar Qatar al Sharq. Dia tidak mendukung/merayakan (keberadaan) negara Islam Irak dan Levant (ISIS), maupun kekejamannya yang dilakukan terhadap warga sipil dan kelompok minoritas di Irak dan Suriah.
Dia mengingatkan kita bahwa ISIS, sementara dikutuk oleh mayoritas umat Islam, adalah produk dari wacana agama Islam yang mendominasi ruang publik kita dalam dekade terakhir—sebuah wacana utama!
ISIS, “tidak datang dari planet lain,” katanya.
“(ISIS) bukan produk dari kafir Barat atau para orientalis dahulu,” tegasnya.
Tidak, “kebenaran bahwa kita tidak dapat menyangkal adalah: ISIS belajar dari sekolah kita, berdoa di masjid kita, mendengarkan media kita ... dan platform agama kita, membaca dari buku-buku dan referensi kita, dan mengikuti fatwa (fatwa agama) yang kita produksi.”
Dia benar.
Tentu akan mudah untuk bersikeras bahwa ISIS tidak mewakili ajaran Islam yang benar. Akan sangat mudah untuk melakukan itu. Dan ya, saya percaya bahwa Islam adalah apa yang kita, manusia, membuatnya seperti itu. Agama bisa menjadi pesan cinta atau pedang untuk kebencian oleh orang-orang percaya di dalamnya.
Tapi kenyataannya tetap bahwa tindakan ISIS telah secara ideologis diarus-utamakan sejak lama: di masjid-masjid yang penuh kutukan ‘Tentara Salib Kristen’, ‘Yahudi’, dan ‘kafir’ dalam setiap khotbah Jumat. Oleh tokoh-tokoh agama, yang menyambut kita setiap hari melalui program TV (Uztad TV), memberitakan pesan kebencian dan intoleransi terhadap ‘lainnya’, terlepas dari siapakah yang disebut ‘lainnya’ .
ISIS ada di sekolah yang mengajarkan kita bahwa hukuman untuk keluar dari Islam adalah kematian; bahwa orang Kristen dan Yahudi ‘orang yang dilindungi’, pihak-pihak yang harus membayar takdirnya sendiri atau mereka harus diperangi. Nasib anggota ‘agama lain’ yang tersisa tak terhitung, tapi kita bisa membacanya di antara baris. Dalam kelas kita tidak pernah diajarkan bahwa warga negara memiliki hak untuk memilih agamanya, atau bahwa warga negara adalah sama di depan hukum tanpa pertimbangan agama atau keyakinan.
ISIS adalah produk dari wacana agama kita—wacana utama.
ISIS adalah produk dari proses politik. Hal ini dimulai dengan munculnya ideologi politik Islam, disebarkan sejak tahun 1973 dengan uang minyak Monarki Teluk (Negara-negara Arab kaya) dan revolusi Iran tahun 1979.
Ini adalah produk dari strategi politik. Pemimpin negara mengambil keuntungan dari fenomena Islam politik, mendukung kelompok-kelompok Islam tertentu daripada yang lain, dan membentuk aliansi politik dengan mereka.
Tujuan mereka adalah politik: untuk melegitimasi kekuasaan mereka dalam arti agama atau dan mendelegitimasi (membatalkan keabsahan) saingan mereka.
Aliansi Machiavellian datang dengan label harga. Dalam pertukaran untuk dukungan mereka. Kelompok-kelompok Islam diperbolehkan untuk mendominasi wacana agama dengan ideologi kebencian, pengucilan, dan intoleransi—masjid, media dan sekolah menjadi lapangan untuk menyebarkan ideologi mereka.
Dr. Elham Manea (1966-)
Ini adalah produk dari kegagalan politik. Negara gagal memenuhi bagian mereka dari kontrak sosial, dari tidak dapatnya negara menutupi biaya kesehatan, pendidikan yang penting bagi warga negara mereka dan kebutuhan sosial lainnya.
Kelompok-kelompok Islam, membanjirinya dengan uang, mengisi kesenjangan—dengan layanan yang dikemas dalam pandangan dunia ideologis mereka.
Tentu akan mudah untuk bersikeras bahwa ISIS adalah produk dari konspirasi asing.
Tetapi bahkan, sepertinya kita mengubur kepala kita di pasir (menutup mata), tidak ada yang dapat bersembunyi dari kenyataan bahwa ISIS memang produk kita.
Kita yang membuatnya sebagai arus utama.
Tapi kita terkejut bahwa (ISIS) memakai kata-kata dari wacana keagamaan kita secara harfiah.
Serius? tiba-tiba kita terkejut
Tanpa mengakui tanggung jawab, kita masih berbisnis seperti biasa. Masjid akan terus mengutuk orang-orang Yahudi, Kristen dan kafir setiap hari Jumat. Pengkhotbah akan terus memukau kita dengan pesan intoleransi mereka. Dan, sekolah akan terus mengajarkan kita bahwa agama adalah penanda utama dari identitas dan kewarganegaraan.
Hanya berhenti sejenak dan berpikir, tanyakan pada diri sendiri: Berapa banyak wanita telah ditekan dalam nama agama kita akhir-akhir ini? Berapa banyak orang Kristen atau Ahmadis Pakistan telah ditargetkan akhir-akhir ini? Berapa banyak Gereja telah diserang di Indonesia dan Nigeria? Berapa banyak Koptik Mesir telah diusir dari desa mereka? Berapa rumah dan toko mereka dibakar? Berapa banyak Sunni membunuh Syiah? Berapa banyak Syiah membunuh Sunni? Berapa banyak Baha'i telah ditekan secara brutal di Iran?  Dan berapa banyak warga Inggris telah bergabung ISIS?
Akan lebih mudah untuk melihat ke arah lain. Akan lebih mudah. Tetapi jika kita terus menyalahkan orang lain, bersikeras tidak bertindak dan keheningan kita, itu adalah kita, kita, bukan orang lain, yang membiarkan agama kita dibajak oleh penafsiran fundamentalis Islam ini (ISIS).
ISIS ada di dalam kita. Ini adalah waktu untuk menghadapi ISIS dalam diri kita.

*Dr. Elham Manea—Pengajar di American University, Washington DC. Menekuni kajian Timur-Tengah.

**Tulisan di atas pertama kali diterbitkan DI SINI. Lalu diterbitkan ulang di Huffingtonpost. Diterjemahkan oleh Iman Zanatul Haerisekarang bekerja di Litbang LBH Rakyat Banten, masih aktif sebagai Pustakawan di Komunitas Perpustakaan Kandangbuku di Rawamangun Jakarta Timur. Aktif sebagai pelaku seni Mural dan berdomisili di kota Pandeglang dengan alasan sederhana: orang tua tidak mengijinkan. Pernah menjadi speaker di symposium LIPI ICSSH 2016, pernah 3 kali menulis dan dimuat di mojok.co, pernah menulis di Islami.co. beberapa bulan belakangan sedang menelaah literatur kelas menengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar