HEBOH NEPOTISME DI UNJ
![]() |
Gurita UNJ | ILUSTRASI: FMI UNJ |
PADA 1 Juni lalu bangsa Indonesia riuh memperingati hari kelahiran
Pancasila, tak terkecuali civitas akademika Universitas Negeri Jakarta. Ada
upacara, ada spanduk cukup besar dipasang di gedung perpustakaan yang
bertuliskan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.
Konteks pemaknaan 1 Juni untuk UNJ jika diurai
narasinya terlalu panjang. Satu saja coba diurai pada tulisan ini. Pancasila
itu hadir sebagai konsensus nasional agar hidup sosial kita tertib. Hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita tertib. Salah satu ciri hidup
tertib itu mentaati hukum yang berlaku. Menolak praktek nepotisme dalam
pengelolaan kampus adalah ciri ketaatan pada hukum, dan itu salah satu ciri “Saya
Indonesia, Saya Pancasila”. Bagaimana dengan kampus ini?
Coba diurai dulu terminologinya. Secara
etimologis nepotisme berasal dari kata latin nepos yang mempunyai arti ‘keponakan’ atau ‘cucu’. Secara
linguistik dimaknai sebagai perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang
berlebihan kepada kerabat dekat atau kecenderungan untuk mengutamakan
(menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, atau tindakan
memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang jabatan tertentu
dalam lembaga atau pemerintahan.
Menurut Business
Dictionary (diakses 29 Mei 2017), nepotisme dinarasikan sebagai: Practice of appointing relatives and
friends in one's organization to positions for which outsiders might
be better qualified. Despite its negative connotations, nepotism (if
applied sensibly) is an important and positive practice in the startup and
formative years of a firm where complete trustand willingness to work hard
(for little or no immediate reward) are critical for its survival”.
Mari dicermati kampus ini, apa benar ada
nepotisme?. NJH, anak penguasa kampus (DJA), pada 20 Oktober 2016 diangkat
menjadi Koordinator Pusat (Koorpus) Studi Kajian Wanita & Perlindungan Anak
di LPPM UNJ. Saat diangkat NJH masih berpangkat penata muda Tk.1 Golongan
III/B, padahal banyak dosen lain yang layak dan kompeten memimpin sebuah
Koordinator Pusat (Koorpus). Dari tiga belas (13) Koordinator Pusat (Koorpus),
NJH adalah satu-satunya yang berpangkat Penata Muda Tk.1 Golongan III/B dengan
Jabatan Fungsional ASISTEN AHLI, sementara yang lain adalah Lektor dan Lektor
Kepala dengan golongan III D dan golongan IV. Hal ini bisa dilihat dalam lampiran
SK Nomor: 1197/SP/2016. Juga tentang yang bersangkutan bisa dilihat pada Surat
Pernyataan Menduduki Jabatan Nomor: 4389/UNJ39.2/KP/2016.
Berikutnya, BM, anak penguasa kampus (DJA)
diangkat menjadi Sekretaris penguasa kampus sejak DJA berkuasa, berperan
sebagai verifikator akhir anggaran di kampus ini yang wewenangnya bisa melebihi
Wakil Rektor dan Bendahara Kampus. BM adalah dosen Teknik Elektro FT UNJ yang
tidak memiliki pengalaman organisasi atau pengalaman sebagai pimpinan di
tingkat program studi sekalipun. BM mendapat fasilitas kendaraan roda empat
tersendiri padahal jabatan sekretaris Rektor tidak ada dalam SOTK kampus,
fasilitas kendaraan BM sering digunakan istrinya bernama RM, sementara BM
sering menggunakan kendaraan jabatan DJA.
![]() |
Konsolidasi Akbar dan Mimbar Bebas yang diinisiasikan oleh FMI pada Mei 2017 |
Istri BM namanya RM, menantu DJA, saat ini
menjadi Dosen DPK (Dosen dengan Perjanjian Kerja). Istilah DPK di
Kemenristekdikti biasanya digunakan untuk dosen PNS yang diperbantukan mengajar
di universitas swasta). Berbeda makna antara DPK versi kampus ini dengan DPK versi
Kemenristekdikti. RM diangkat menjadi dosen oleh DJA di Fakultas Ekonomi yang
digaji kampus ini sebagai Badan Layanan Umum (BLU).
WYN, anak DJA juga, dosen Universitas
Palangkaraya, berijazah S1 kedokteran, saat ini statusnya pindah menjadi dosen
Fakultas Ilmu Olahraga (FIO) padahal tidak ada formasi penerimaan dosen di FIO
dan melanggar syarat minimal dosen yang seharusnya berpendidikan S2. WYN mutasi
ke kampus ini dengan memo DJA kampus ini yang juga Ayah kandungnya sendiri pada
tanggal 12 Februari 2016.
Suami WYN, namanya BAM, menjadi dosen di FIO,
diangkat jadi CPNS 31Maret 2015, mendapat izin belajar pada 1 Desember 2016
saat masih CPNS, padahal sesuai aturan dosen lain tidak diperbolehkan karena
masih CPNS. Tanggal 19 Desember 2016 menjadi dosen PNS di FIO. Hal tersebut
dapat dicermati pada SK nomor: 22398/A4/KP/2015 dan Nomor: 100258/A2.1/KP/2015.
NS, istri DJA, saat ujian Doktor diuji oleh
suaminya sendiri yang seorang Rektor sebagai Ketua penguji. Bagaimana
bisa menjamin tidak ada conflict of interest Suami menguji sidang doktoral
istrinya. Ternyata dulu waktu NJH ujian doktor juga yang nguji DJA yang waktu
itu menjabat Direktur Pascasarjana. Ini juga soal etika dan kepatutan akademik
yang diabaikan. NS juga mendapat fasilitas kendaraan roda empat. Saat ini
menjadi Dosen DPK di sebuah Sekolah Tinggi Swasta namun sering ke kampus
ini
Ternyata tidak hanya anak-anak dan istrinya yang
berbau nepotisme di kampus ini, tetapi juga kerabat istri DJA, misalnya seperti
TA, menjadi dosen Tata Niaga FE yang saat tes menurut Prodi Tata Niaga FE tidak
lulus karena nilainya rendah tetapi diluluskan DJA. Apakah fakta tersebut tidak
termasuk katagori nepotisme di kampus ini?
Mari kita tengok undang-undang yang memuat pasal
nepotisme. Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme menyebutkan
bahwa setiap perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya diatas kepentingan masyarakat,
negara dan bangsa adalah nepotisme. Sanksi nepotisme dalam pasal 5
Undang-undang tersebut adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.000.000.000,00(dua miliar
rupiah).
Jika merujuk Business
Dictonary dan Undang-Undang nomor 28 tahun 1999, maka apa yang tetjadi di
kampus ini sulit menolak disebut nepotisme. Jadi rumor kritik melalui skema
nepotisme yang beredar di grup - grup WA dosen pada akhir 2016 yang berujung
pemolisian belasan dosen pada Januari sampai maret 2017 itu jika diteliti
ternyata ada benarnya juga ya!
Praktik nepotisme jika dicermati tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang 28 tahun 1999, tetapi juga dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Saya Indonesia, Saya Pancasila, Saya Nepotisme,
....”. Kalimat itu jika dipasang di gedung perpustakaan UNJ menggantikan
tema upacara 1 Juni hari Kamis lalu, dipastikan semua yang hadir marah. Karena
nalar dan nurani ke-Indonesiaan kita berbicara jujur menolak nepotisme, tetapi
ketika kita tidak marah dan tidak protes terhadap praktik nepotisme di kampus
ini maka dimana nalar dan nurani keIndonesiaan kita ditempatkan?
Rawamangun, Akhir Mei
2017
*Forum Militan dan Independen (FMI) UNJ. Nama penulis semoga
dalam lindungan Allah SWT dan kita semua melindunginya demi keamananya untuk
perubahan dan kemajuan UNJ.
©Forum Militan Independen UNJ
**Redaksi
dengan sadar dan tidak dalam kondisi tertekan menayangkan tulisan di atas, juga bagian dari perjuangan politik.
Sebab kebenaran tidak akan kalah.
—Redaksi
@gerakanaksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar