Sabtu, 13 Mei 2017

Untuk Sebuah Nama yang Tak Sempat Kuucapkan Maaf

UNTUK SEBUAH NAMA YANG TAK SEMPAT KUUCAPKAN MAAF
Oleh: Eros Gusti
Ilustrasi: TUMBLR COM
RUANGAN di kamar itu terasa sesak, tidak seperti biasanya. Secangkir kopi di meja tak terjamah, mendingin dengan sendirinya. Pemuda itu hanya bisa berbaring menatap langit-langit kamar, memperhatikan lampu dan garis-garis yang terbentuk dari susunan triplek. Ia terus memperhatikan garis-garis itu sampai gelombang rasa sesak menyambar saat terlintas satu kata di benaknya: penyesalan.
Saat pemuda itu masih memperhatikan langit kamar, terbesit sebuah kenangan yang sangat melekat, bahkan sudah menjadi bagian dari dirinya yang selalu menghantui di saat kesendirian datang.
*

Malam itu berjalan seperti biasa, secangkir teh manis hangat ditemani tempe goreng menghiasi meja makan. Satu-dua tempe itu aku lahap habis tanpa sisa. Lalu kuseruput teh hangat yang menyegarkan mulutku dari sisa-sisa rasa tempe. Kemudian aku duduk di ruang tamu untuk memulai mengerjakan tugas rumah matematika yang bakal dikumpulkan esok hari. Berharap tempe goreng dan secangkir teh hangat menambah pengetahuanku tentang rumus matematika.
Setengah perjalanan dari tugas rumah matematika itu, Ayah yang baru saja pulang dari kantor—tidak seperti biasa dia pulang dari kantor selarut ini, biasanya sore hari sudah pulang dengan wajah murung karena lapar atau sisa beban pekerjaan di kantor—mengagetkanku dari balik pintu. Menghilangkan rumus-rumus matematika di kepalaku dengan sekejap.
“Apaan sih Yah, merusak konsentrasi saja!” teriakku sepontan.
Ia hanya tersenyum, seperti tidak memikirkan bahwa anaknya sedang pusing digerogoti rumus-rumus matematika yang esok hari harus dikumpulkan di meja guru.
Sekilas tentang Ayahku; ia paling suka membuat lelucon untuk dirinya sendiri. Ia yang memulai lelucon, ia sendiri yang tertawa bahkan terbahak-bahak. Orang di sekitarnya hanya senyum-senyum sedikit menghargai hasil leluconnya yang payah. Bahkan seekor lalat jika diberikan mulut untuk berbicara, ia akan meneriaki Ayahku “Enggak lucu!” sambil melempar tomat. Dan itu yang diberikan kepadaku hampir setiap ia pulang kerja. Hampir tiap hari! Dan malam itu ia melontarkan lelucon yang kemarin sore sudah diberikan kepadaku. Sebelum lelucon itu menuju akhir, aku berteriak memotong,
“Berisik Yah! Enggak tahu apa lagi pusing ngerjain tugas!”
Ilustrasi: ELITREADERS COM | 
Ia kembali tersenyum, senyum yang membuatku semakin jengkel. Lalu aku pindah ke kamar untuk menuntaskan tugas rumahku.
Jam dinding menunjukkan pukul 22.30, tugas rumahku masih tergeletak di meja belajar dan masih belum selesai juga. Cacing-cacing di perut sudah menggema, tanda harus diberi makanan. Tidak mungkin cacing-cacing ini akan bahagia jika diberi makan rumus-rumus logaritma. Maka, nasi goreng lah yang terlintas di pikiranku.
Setelah memesan nasi goreng di ujung gang, Ayahku menegorku di ruang tamu. Katanya Perutnya sakit dan menyuruhku untuk membelikan obat.
“Nanti ya, sehabis makan nasi goreng dulu," sahutku sambil menepak-nepak perut. Lalu ia mengangguk dan berjalan keluar sambil membakar rokoknya.
“Sudah tahu sakit, masih saja merokok,” ucapku di dalam hati.
Beberapa menit kemudian, tukang nasi goreng membawa pesananku. Asap masih mengepul di sekeliling nasi goreng, membuat cacing-cacing di perut kembali menggema, tak sabar untuk segera diberi makan. Baru satu sendok nasi goreng itu ku lahap, Ayahku masuk ke ruang tamu. Dengan muka yang pucat, ia tergeletak di sofa sambil berteriak “Aduh..” dan memegangi perutnya. Berulang-ulang kali ia berteriak seperti itu, membuat seisi rumah berhamburan menuju ruang tamu. Begitu pun diriku yang kaget melihat pemandangan seperti itu. Aku memegangi tangan Ayahku, begitu dingin dan berkeringat. Ia masih berteriak. Ibuku memberikan air hangat. Namun, ia masih berteriak. Dengan bodohnya aku bertanya,
 “Kenapa Yah?” yang tentu saja tidak dijawab. Tidak lama setelah itu, taksi yang sudah dipesan oleh abangku (Kakak-ed) datang untuk membawa Ayahku ke rumah sakit.
Di rumah sakit, ia masih berteriak-teriak. Ia dibawa ke ruang IGD ditemani oleh Ibu dan abangku. Aku melihat matanya sebelum ia masuk melewati pintu. Mata yang pernah menatapku saat ia membantuku berdiri karena terjatuh dari sepeda motor. Mata yang pernah menatapku saat ia meminta diajari cara menggunakan handphone. Mata yang pernah menatapku saat aku dirawat di rumah sakit karena terkena tipes. Lalu pintu itu tertutup, seakan menelan Ayahku. Dan aku hanya bisa mendengar suara Ayahku yang masih berteriak di balik pintu itu. Suara teriakan itu semakin lama semakin memudar.
Tubuhku menggigil, bukan karena AC di ruangan itu begitu dingin, namun karena teriakan Ayahku. Entah seperti apa rasa sakit yang ia rasakan. Teriakan itu membuat siapa saja yang mendengarnya seperti merasakan sakit juga. Sungguh memilukan. Dan teriakan itu masih terngiang di pikiranku, meskipun teriakan Ayahku sudah tidak terdengar lagi.
Jam di lobby rumah sakit itu menunjukkan pukul 01.00, aku masih duduk di sudut lobby. Hanya ada sedikit orang saja yang duduk di deretan kursi itu. Ada orang tua yang sedang melamun, ada sepasang suami istri yang sedang duduk sambil tidur berduaan, dan ada petugas keamanan yang sedang ngopi di samping meja resepsionis. Aku duduk di samping abangku yang sedang menelpon entah sesiapa, sesekali aku mendengar ucapannya,
“Ayah sakit, luka di lambungnya semakin parah,” Aku kembali menggigil.
Pukul 01.15, waktu terasa sangat lama. Aku kembali menatap lantai yang putih bersih. Seperti warna baju suster yang sedang mondar-mandir membawa peralatan kedokteran. Seperti warna kesukaan ibuku. Seperti warna kain kafan, kain kafan untuk membungkus Ayah-jika Ayah sudah… tidak! Ayah pasti sembuh, pikirku.
Sesekali mataku terpejam, mengingatkan kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang tahu kapan manusia menemui ajalnya. Manusia hanya bisa menebak-nebak, dan sering kali takut jika kematian berada di depan mata. Mungkin Ayah sedang berada di posisi itu, dan suatu saat, aku pun akan berada di posisi tersebut, entah seperti apa cara ajal menyapa. Apakah Ayah bisa melewati itu?
Ilustrasi: ELITREADERS | 
Aku percaya bahwa Ayah bisa melewatinya. Ayah masih bisa melihatku lulus SMA dan melanjutkan belajar di perguruan tinggi. Masih bisa mendengarkan lagu Koes Ploes—grup band kesayangannya—bersama sebelum tidur dan pergi ke pasar ikan bersama menemui teman-teman kantormu yang selalu mengajak dangdutan. Aku hanya bisa percaya, namun yang menentukan kesehatan Ayahku bukanlah diriku.
Keheningan berubah menjadi suara-suara samar yang membangunkanku dari tidur. Saat aku membuka mata, aku masih di sudut lobbi rumah sakit. Jam dinding menunjukkan pukul 03.03. Suara-suara samar itu berasal dari dalam ruang IGD. Suara-suara itu seperti suara orang menangis. Aku tak tahu pasti. Abangku juga sudah tidak ada di sampingku. Lalu aku menghampiri suara-suara itu. Semakin dekat, semakin terdengar suara-suara itu adalah suara orang sedang menangis. Jantungku berdebar dan aku berlari ke ruangan itu.
Adzan subuh berkumandang di masjid dekat rumahku, disusul oleh suara adzan dari masjid-masjid lain. Ayam jago berkokok tak kalah nyaring. Langit subuh itu terlihat biru, membuat pemandangan sekitar juga biru, termasuk untuk orang-orang yang sedang merasa kehilangan. Mobil ambulance terparkir di ujung gang, bersama sang supir yang sedang merokok. Wajahnya datar seperti robot, tanpa ekspresi. Mungkin sudah bosan berkelana membawa mayat dan wajahnya pun sudah hampir menyerupai mayat.
Para tetangga bangun lebih awal, tidak seperti pagi kemarin. Rumahku seperti medan magnet manusia, didatangi oleh para tetangga yang masih terlihat ngantuk. Dan beberapa yang datang sudah membanjiri pipinya dengan air mata.  Mungkin pagi itu terlalu biru untuk menceritakan apa yang sedang terjadi, dan ayam masih berkokok diantara manusia-manusia yang cengeng ini.
Pagi itu aku tidak banyak bicara. Aku berharap hari ini cepat berlalu, sehingga keramaian ini bisa menjadi ketenangan untuk diriku, dan juga untuk Ayah. Doa-doa terus dipanjatkan, diselingi oleh isak tangis beberapa saudara. Ibuku terus berada di samping Ayah, memanjatkan doa dari semalam sambil mengelus kepala Ayah yang sudah terlihat pucat. Aku masih terdiam melihat pemandangan itu. Sesekali bertanya kepada diriku sendiri, apakah ini sungguh terjadi? 
Sempat terpikir olehku seandainya malam itu aku tidak menunda untuk membelikan obat untuknya, mungkin ia masih memberikan lelucon payah itu kepadaku. Ini salahku, akulah yang membuat Ayah seperti ini. Dan itu membuat air mataku meleleh, dada terasa sesak menahan rasa bersalah. Dan diriku larut bersama doa-doa yang terus dilantunkan.
Awan kelabu menutupi langit siang itu, membuat suasana pemakaman terasa lebih sejuk. Deretan batu nisan terpampang rapih, beberapa ada yang tertutupi ilalang. Di sudut deretan batu nisan itu, terdapat lubang tanah yang sudah digali, dan itu adalah tempat peristirahatan terakhir Ayahku. Air mata ini kembali meleleh saat melihat kain kafan yang berisi tubuh Ayahku dimasukan ke dalam lubang persegi itu. Begitu rapuh tubuh ini jika tanpa nyawa, kaku seperti benda mati. Lalu si penggali kubur mulai menyerok tanah ke liang lahat, perlahan tubuh Ayahku tertimbun tanah. Isak tangis kembali muncul, beberapa kebersamaan yang dilewati bersama Ayah muncul di pikiran, dan itu membuat dadaku semakin sesak.
Batu nisan itu tertera nama Ayahku, satu per satu keluarga mulai menaburkan bunga, dan giliran aku yang menaburkan bunga. Pandanganku masih berlinang, melihat Ayahku sudah pulang ke rumah-Nya. Hujan perlahan turun, membasahi setiap raga yang sudah terkubur di pemakaman itu. Dan jiwa-jiwa yang masih hidup kembali pulang menjalani kehidupan seperti sediakala.
*

Lamunan pemuda itu terhenti, seakan jiwanya telah kembali dari cerita di masa lalu. Dan  sekarang jiwanya kembali ke kamarnya. Tubuhnya masih terlentang, pandangannya menghadap ke atas dengan kedua telapak tangan menjadi alas kepalanya. Air mukanya menggambarkan kesedihan, dan juga kerinduan.
Garis-garis di langit kamar mulai terlihat samar, terhalang butiran air yang berlinang di mata pemuda itu. Segeralah dihapus air itu, dan ia beranjak dari tempat tidur. Kopi di meja masih tak tersentuh. Jam di kamarnya menunjukkan pukul 21.00, dan lapar membabi buta. Saat ia ingin memesan nasi goreng di depan gang, Ibu pemuda itu keluar dari kamar, “Nak, kaki Ibu sakit, tebusin obat gih,” Pemuda itu menerima uang yang diberikan Ibunya dan langsung pergi ke apotik. Ia seperti tak ingin menyesal untuk kedua kalinya.
Hanya seekor keledai pincang yang terbenam di dua lubang yang sama, pikirnya ketika melangkahkan kaki segera melakukan apa yang diminta ibunya . []

2017


*Eros Gusti—Penikmat film, cerpen, dan sajian kudapan di kedai @gerakanaksara, juga seorang mahasiswa semester akhir yang semoga bukan terakhir-akhir amat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar