Oleh: Eros Gusti
RUANGAN di kamar itu terasa sesak, tidak seperti
biasanya. Secangkir kopi di meja tak terjamah, mendingin dengan sendirinya.
Pemuda itu hanya bisa berbaring menatap langit-langit kamar, memperhatikan
lampu dan garis-garis yang terbentuk dari susunan triplek. Ia terus
memperhatikan garis-garis itu sampai gelombang rasa sesak menyambar saat
terlintas satu kata di benaknya: penyesalan.
Saat pemuda itu masih
memperhatikan langit kamar, terbesit sebuah kenangan yang sangat melekat,
bahkan sudah menjadi bagian dari dirinya yang selalu menghantui di saat
kesendirian datang.
*
Malam itu berjalan seperti biasa, secangkir teh
manis hangat ditemani tempe goreng menghiasi meja makan. Satu-dua tempe itu aku
lahap habis tanpa sisa. Lalu kuseruput teh hangat yang menyegarkan mulutku dari
sisa-sisa rasa tempe. Kemudian aku duduk di ruang tamu untuk memulai
mengerjakan tugas rumah matematika yang bakal dikumpulkan esok hari. Berharap
tempe goreng dan secangkir teh hangat menambah pengetahuanku tentang rumus
matematika.
Setengah perjalanan dari tugas
rumah matematika itu, Ayah yang baru saja pulang dari kantor—tidak seperti
biasa dia pulang dari kantor selarut ini, biasanya sore hari sudah pulang
dengan wajah murung karena lapar atau sisa beban pekerjaan di kantor—mengagetkanku
dari balik pintu. Menghilangkan rumus-rumus matematika di kepalaku dengan
sekejap.
“Apaan sih Yah, merusak
konsentrasi saja!” teriakku sepontan.
Ia hanya tersenyum, seperti
tidak memikirkan bahwa anaknya sedang pusing digerogoti rumus-rumus matematika
yang esok hari harus dikumpulkan di meja guru.
Sekilas tentang Ayahku; ia
paling suka membuat lelucon untuk dirinya sendiri. Ia yang memulai lelucon, ia
sendiri yang tertawa bahkan terbahak-bahak. Orang di sekitarnya hanya
senyum-senyum sedikit menghargai hasil leluconnya yang payah. Bahkan seekor
lalat jika diberikan mulut untuk berbicara, ia akan meneriaki Ayahku “Enggak
lucu!” sambil melempar tomat. Dan itu yang diberikan kepadaku hampir setiap ia
pulang kerja. Hampir tiap hari! Dan malam itu ia melontarkan lelucon yang
kemarin sore sudah diberikan kepadaku. Sebelum lelucon itu menuju akhir, aku
berteriak memotong,
Ia kembali tersenyum, senyum
yang membuatku semakin jengkel. Lalu aku pindah ke kamar untuk menuntaskan
tugas rumahku.
Jam dinding menunjukkan pukul
22.30, tugas rumahku masih tergeletak di meja belajar dan masih belum selesai
juga. Cacing-cacing di perut sudah menggema, tanda harus diberi makanan. Tidak
mungkin cacing-cacing ini akan bahagia jika diberi makan rumus-rumus logaritma.
Maka, nasi goreng lah yang terlintas di pikiranku.
Setelah memesan nasi goreng di
ujung gang, Ayahku menegorku di ruang tamu. Katanya Perutnya sakit dan
menyuruhku untuk membelikan obat.
“Nanti ya, sehabis makan nasi
goreng dulu," sahutku sambil menepak-nepak perut. Lalu ia mengangguk dan
berjalan keluar sambil membakar rokoknya.
“Sudah tahu sakit, masih saja
merokok,” ucapku di dalam hati.
Beberapa menit kemudian, tukang
nasi goreng membawa pesananku. Asap masih mengepul di sekeliling nasi goreng,
membuat cacing-cacing di perut kembali menggema, tak sabar untuk segera diberi
makan. Baru satu sendok nasi goreng itu ku lahap, Ayahku masuk ke ruang tamu.
Dengan muka yang pucat, ia tergeletak di sofa sambil berteriak “Aduh..” dan
memegangi perutnya. Berulang-ulang kali ia berteriak seperti itu, membuat seisi
rumah berhamburan menuju ruang tamu. Begitu pun diriku yang kaget melihat
pemandangan seperti itu. Aku memegangi tangan Ayahku, begitu dingin dan
berkeringat. Ia masih berteriak. Ibuku memberikan air hangat. Namun, ia masih
berteriak. Dengan bodohnya aku bertanya,
“Kenapa Yah?” yang tentu saja tidak dijawab. Tidak lama
setelah itu, taksi yang sudah dipesan oleh abangku
(Kakak-ed) datang untuk membawa Ayahku ke rumah sakit.
Di rumah sakit, ia masih
berteriak-teriak. Ia dibawa ke ruang IGD ditemani oleh Ibu dan abangku. Aku
melihat matanya sebelum ia masuk melewati pintu. Mata yang pernah menatapku
saat ia membantuku berdiri karena terjatuh dari sepeda motor. Mata yang pernah
menatapku saat ia meminta diajari cara menggunakan handphone. Mata yang
pernah menatapku saat aku dirawat di rumah sakit karena terkena tipes. Lalu
pintu itu tertutup, seakan menelan Ayahku. Dan aku hanya bisa mendengar suara
Ayahku yang masih berteriak di balik pintu itu. Suara teriakan itu semakin lama
semakin memudar.
Tubuhku menggigil, bukan karena
AC di ruangan itu begitu dingin, namun karena teriakan Ayahku. Entah seperti
apa rasa sakit yang ia rasakan. Teriakan itu membuat siapa saja yang
mendengarnya seperti merasakan sakit juga. Sungguh memilukan. Dan teriakan itu
masih terngiang di pikiranku, meskipun teriakan Ayahku sudah tidak terdengar
lagi.
Jam di lobby rumah sakit itu
menunjukkan pukul 01.00, aku masih duduk di sudut lobby. Hanya ada sedikit
orang saja yang duduk di deretan kursi itu. Ada orang tua yang sedang melamun,
ada sepasang suami istri yang sedang duduk sambil tidur berduaan, dan ada
petugas keamanan yang sedang ngopi di samping meja resepsionis. Aku duduk di
samping abangku yang sedang menelpon entah sesiapa, sesekali aku mendengar
ucapannya,
“Ayah sakit, luka di lambungnya
semakin parah,” Aku kembali menggigil.
Pukul 01.15, waktu terasa
sangat lama. Aku kembali menatap lantai yang putih bersih. Seperti warna baju
suster yang sedang mondar-mandir membawa peralatan kedokteran. Seperti warna
kesukaan ibuku. Seperti warna kain kafan, kain kafan untuk membungkus Ayah-jika
Ayah sudah… tidak! Ayah pasti sembuh, pikirku.
Sesekali mataku terpejam,
mengingatkan kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang tahu kapan manusia
menemui ajalnya. Manusia hanya bisa menebak-nebak, dan sering kali takut jika
kematian berada di depan mata. Mungkin Ayah sedang berada di posisi itu, dan
suatu saat, aku pun akan berada di posisi tersebut, entah seperti apa cara ajal
menyapa. Apakah Ayah bisa melewati itu?
Ilustrasi: ELITREADERS | |
Aku percaya bahwa Ayah bisa
melewatinya. Ayah masih bisa melihatku lulus SMA dan melanjutkan belajar di
perguruan tinggi. Masih bisa mendengarkan lagu Koes Ploes—grup band
kesayangannya—bersama sebelum tidur dan pergi ke pasar ikan bersama menemui
teman-teman kantormu yang selalu mengajak dangdutan. Aku hanya bisa percaya,
namun yang menentukan kesehatan Ayahku bukanlah diriku.
Keheningan berubah menjadi
suara-suara samar yang membangunkanku dari tidur. Saat aku membuka mata, aku
masih di sudut lobbi rumah sakit. Jam dinding menunjukkan pukul 03.03.
Suara-suara samar itu berasal dari dalam ruang IGD. Suara-suara itu seperti
suara orang menangis. Aku tak tahu pasti. Abangku juga sudah tidak ada di
sampingku. Lalu aku menghampiri suara-suara itu. Semakin dekat, semakin
terdengar suara-suara itu adalah suara orang sedang menangis. Jantungku berdebar
dan aku berlari ke ruangan itu.
Adzan subuh berkumandang di
masjid dekat rumahku, disusul oleh suara adzan dari masjid-masjid lain. Ayam
jago berkokok tak kalah nyaring. Langit subuh itu terlihat biru, membuat
pemandangan sekitar juga biru, termasuk untuk orang-orang yang sedang merasa
kehilangan. Mobil ambulance terparkir di ujung gang, bersama sang supir yang
sedang merokok. Wajahnya datar seperti robot, tanpa ekspresi. Mungkin sudah
bosan berkelana membawa mayat dan wajahnya pun sudah hampir menyerupai mayat.
Para tetangga bangun lebih
awal, tidak seperti pagi kemarin. Rumahku seperti medan magnet manusia,
didatangi oleh para tetangga yang masih terlihat ngantuk. Dan beberapa yang
datang sudah membanjiri pipinya dengan air mata. Mungkin pagi itu terlalu biru untuk menceritakan apa yang
sedang terjadi, dan ayam masih berkokok diantara manusia-manusia yang cengeng
ini.
Pagi itu aku tidak banyak
bicara. Aku berharap hari ini cepat berlalu, sehingga keramaian ini bisa
menjadi ketenangan untuk diriku, dan juga untuk Ayah. Doa-doa terus
dipanjatkan, diselingi oleh isak tangis beberapa saudara. Ibuku terus berada di
samping Ayah, memanjatkan doa dari semalam sambil mengelus kepala Ayah yang
sudah terlihat pucat. Aku masih terdiam melihat pemandangan itu. Sesekali
bertanya kepada diriku sendiri, apakah ini sungguh terjadi?
Sempat terpikir olehku
seandainya malam itu aku tidak menunda untuk membelikan obat untuknya, mungkin
ia masih memberikan lelucon payah itu kepadaku. Ini salahku, akulah yang
membuat Ayah seperti ini. Dan itu membuat air mataku meleleh, dada terasa sesak
menahan rasa bersalah. Dan diriku larut bersama doa-doa yang terus dilantunkan.
Awan kelabu menutupi langit
siang itu, membuat suasana pemakaman terasa lebih sejuk. Deretan batu nisan
terpampang rapih, beberapa ada yang tertutupi ilalang. Di sudut deretan batu
nisan itu, terdapat lubang tanah yang sudah digali, dan itu adalah tempat
peristirahatan terakhir Ayahku. Air mata ini kembali meleleh saat melihat kain
kafan yang berisi tubuh Ayahku dimasukan ke dalam lubang persegi itu. Begitu
rapuh tubuh ini jika tanpa nyawa, kaku seperti benda mati. Lalu si penggali
kubur mulai menyerok tanah ke liang lahat, perlahan tubuh Ayahku tertimbun
tanah. Isak tangis kembali muncul, beberapa kebersamaan yang dilewati bersama Ayah
muncul di pikiran, dan itu membuat dadaku semakin sesak.
Batu nisan itu tertera nama
Ayahku, satu per satu keluarga mulai menaburkan bunga, dan giliran aku yang
menaburkan bunga. Pandanganku masih berlinang, melihat Ayahku sudah pulang ke
rumah-Nya. Hujan perlahan turun, membasahi setiap raga yang sudah terkubur di
pemakaman itu. Dan jiwa-jiwa yang masih hidup kembali pulang menjalani
kehidupan seperti sediakala.
*
Lamunan pemuda itu terhenti, seakan jiwanya
telah kembali dari cerita di masa lalu. Dan sekarang jiwanya kembali ke kamarnya. Tubuhnya masih
terlentang, pandangannya menghadap ke atas dengan kedua telapak tangan menjadi
alas kepalanya. Air mukanya menggambarkan kesedihan, dan juga kerinduan.
Garis-garis di langit kamar
mulai terlihat samar, terhalang butiran air yang berlinang di mata pemuda itu.
Segeralah dihapus air itu, dan ia beranjak dari tempat tidur. Kopi di meja
masih tak tersentuh. Jam di kamarnya menunjukkan pukul 21.00, dan lapar membabi
buta. Saat ia ingin memesan nasi goreng di depan gang, Ibu pemuda itu keluar
dari kamar, “Nak, kaki Ibu sakit, tebusin obat gih,” Pemuda itu menerima
uang yang diberikan Ibunya dan langsung pergi ke apotik. Ia seperti tak ingin
menyesal untuk kedua kalinya.
Hanya seekor keledai pincang
yang terbenam di dua lubang yang sama, pikirnya ketika melangkahkan kaki segera
melakukan apa yang diminta ibunya . []
2017
*Eros Gusti—Penikmat film, cerpen, dan sajian
kudapan di kedai @gerakanaksara, juga seorang mahasiswa semester akhir yang
semoga bukan terakhir-akhir amat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar