Jumat, 12 Mei 2017

Menonton (Film) Kartini, Mengingat (Senyum) Soekarno

MENONTON (FILM) KARTINI, MENGINGAT (SENYUM) SOEKARNO
Oleh: Tyo Prakoso
Dian Sastro, Adinia Wirasti, Acha Septriasa, dan Ayushita dalam salah adegan film Kartini | Koleksi foto: brillio.net
“APAKAH engkau siap menjadi Raden Ayu?” Itu pertanyaan RM Adipati Ario Sosroningrat kepada puterinya, Kartini, di bagian pembuka film Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Pertanyaan itulah yang menjadi katalisator cerita dalam film tersebut.
Dalam catatan sejarah, menjadi Raden Ayu bagi kalangan bangsawan Jawa di abad 19 berarti siap dikawinkan dengan anggota keluarga bangsawan lain (entah Wedana, Bupati, atau Wakil Bupati) yang sering kali sudah beristeri satu, dua atau tiga. Karena menikah dengan sesama bangsawan penting untuk meneruskan darah biru dan mempertahankan status quo sebagai kelas bangsawan Jawa. Jadi persoalan perasaan perempuanapalagi pendidikan, intelektualitas dan kebebasanperihal yang sama sekali tak bisa dan tak boleh terlintas pada  pikiran generasi ibunda Kartini, Ngasirah dan juga R.A Moeryam, ibu tiri Kartini. Sebab, dalam lokus feodalisme Jawa, perempuan tak lebih dari penghias laki-laki dalam kegiatan kebangsawanannya. Bahkan tidak lebih penting ketimbang burung atau keris.
Kartini (Dian Sastrowardoyo) tak lekas menjawab pertanyaan ayahandanya. Hanung menjadikan adegan awal itu sebagai kiat untuk membuka gulungan kisah masa lalu. Seperti kebiasaan Hanung pada dua film biopik sebelumnya (Sang Pencerah dan Soekarno) yang sering menjadikan masa kanak-kanak sang tokoh sebagai dasar dari tingkah laku dan cara berpikir di masa dewasa kelak, Trinil, Si Kartini kecil, protes dengan berbagai aturan keningratan yang merenggutnya: dia tak boleh tidur dengan ibunya sendiri, karena derajat Ngasirah (non darah biru) berada di bawah derajat sang anak. 
Kemudian kita menyaksikan si bandel Kartini (Dian Sastrowardoyo) dan kedua adiknya Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Rukmini (Acha Septriasa), kedua adiknya yang ketularan  sang kakak dari mulai menjahili orang hingga berjuang untuk mendapatkan pendidikan bagi perempuan yang menjadi persoalan utama dalam lingkup feodalisme. Dan itu yang dipilih Hanung sebagai gulungan kisah filmnya.
“Di sini kita bebas, misalnya jika mau tertawa kita bisa…” Kartini ngakak sepuasnya ketika tiga bersaudara itu sedang nangkring di tembok pingitan. Hemat saya adegan itu merupakan interpretasi Hanung sebagai sutradara (hal ini perlu dicatat) terhadap surat Kartini yang mengeluhkan betapa dia pernah dicela hanya karena dia menunjukkan gigi ketika tertawa dan karena dia berani menatap mata lawan bicaranya--sementara gadis Jawa umumnya diharapkan menunduk.
“Orang di sini ingin agar saya menundukkan mata dan berpura-pura. Saya tidak mau. Saya ingin melihat mata orang yang berbicara dengan saya. Saya tidak ingin menunduk,” demikian surat Kartini pada 12 Oktober 1902 kepada Nyonya R.M. Abendanon.
Dalam film Kartini, Hanung menggunakan pingitan yang sebetulnya penjara bagi ketiga gadis itu dimanfaatkan untuk ‘menyeberang ke dunia luar’ melalui buku-buku milik kakak tercinta mereka, si jenius Sosrokartono (Reza Rahadian). Di sinilah sebuah adegan tak terduga terjadi. Ketika Kartini membaca sebuah novel  berjudul Hilda Von Suylenberg karya Cecile de Jong tentang seorang pengacara perempuan yang sudah berumah tangga. Kartini digambarkan seolah menyaksikan adegan sebuah pengadilan di Belanda. Begitu saja penulisnya berdiri di samping Kartini yang takjub menyaksikan bagaimana sang pengacara bersilat lidah soal hukum.
Sebagai sineas, Hanung memilih untuk memvisualisasikan buku-buku yang dibaca Kartini, surat menyurat antara Stella dan korespondensi dengan kakanda Kartono. Semua adegan itu tampil seolah Kartini tengah berada bersama lawan bicaranya; di Belanda, di depan kincir angin, di tengah hutan. “Bawalah aku ke negaramu,” keluh Kartini dengan air mata yang merembes ketika Stella berdiri di sisinga di hadapan kincir angin itu.
Bagi saya adegan-adegan visualisasi ini menjadi sebuah interpretasi yang unik dibanding dengan adegan voice-over dan adegan Kartini menulis seperti yang biasa tampil dalam drama-drama televisi Kartini. Hal tersebut menunjukkan sebagai sineas Hanung paham bermain dengan mediumnya; sinema dan sejarah hanya objek dari karyanya. Oleh sebab itu, kita perlu memposisikan subjektivitas Hanung sebagai sineas, di mana ruang interpretasi menjadi mungkin terhadap teks sejarah.
Bagi saya, Hanung berhasil menampilkan Kartini yang tidak hanya ‘memperjuangkan kaumnya (perempuan)’ melainkan perempuan yang tengah berjuang melawan belenggu feodalisme. Artinya, titik tekannya bukan pada ‘emansipasi perempuan’ melainkan pada feodalisme itu sendiri. Karena, hemat saya, belenggu Kartini (dus perempuan Indonesia) sebermula pada jerat feodalisme. Hanung berhasil memposisikan hal tersebut.
Berbeda dengan film Kartini karya Sjuman Djaya (1983) yang menampilkan Jenny Rachman sebagai Kartini yang lebih pendiam dan prototipe perempuan Jawa, dan menyampaikan pandangannya dengan lebih hati-hati, maka Kartini dalam terkaan Hanung tampil sebagai perempuan yang cergas, lincah, dan bergelora dalam tulisan-tulisannya menentang feodalisme.
Dalam cara pandang demikianlah, saya menikmati adegan-adegan dalam film tersebut, terutama ketika Trio Daun Semanggi berlari menyambut gelombang samudera dengan wajah yang tak gentar juga adegan memanjat tembok dan duduk di atasnya sembari berseloroh “aku tidak sudi menikah”, setelah melihat kakak tiri mereka Soelastri dipaksa kawin. Ini titik pijak yang baik untuk memahami perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang memiliki pangkal yang berbeda dengan gerakan feminisme di Eropa yang beberapa tahun terakhir membuncah di Indonesia. Di titik itulah saya ingat Soekarno ketika ia membicarakan perempuan dalam buku Sarinah, dan keyakinannya kemanunggalan antara perempuan dan lelaki dalam revolusi Indonesia—metafor yang digunakan Soekarno ialah kepak sayap burung Garuda. Dan film sangat penting dalam upaya tersebut.
Soekarno ketika berpidato dalam Festival Film Asia-Afrika di Bandung pada 19 April 1964 | Koleksi foto: WIKIPEDIA | COM
“Sejarah film Indonesia adalah pergumulan tentang identitas kebangsaan,” begitu Adrian Jonatan Pasaribu, pegiat literasi dan pengarsipan film dan juga mengelola laman cinemapoetica.com membuka tulisannya. Tulisan Adrian bisa dibaca di buku terlampir yang saya dapat dari acara diskusi film kemarin yang bertajuk, “FILARTC 2017” di Studio Perum Produksi Film Negara (PFN), Jakarta.
Saya suka sampul depan buku itu—yang juga dijadikan tema utama diskusi dan pameran tersebut. Soekarno sedang berdiri di podium saat acara Festival Film Asia-Afrika III di Markas Besar GANEFO, Bandung pada 19 April 1964. Ia tersenyum ke arah juru potret.
Saya membayangkan di saat orasinya Soekarno menekankan bahwa “Film harus turut serta dalam Revolusi Indonesia yang belum selesai!” lalu ia tersenyum dan pikirannya terbang ke 70 tahun ke depan, di masa di mana kita hidup sekarang. Soekarno membayangkan film apa saja yang tayang di bioskop, juga film Kartini karya Hanungdan kita mengetahui film apa saja yang ditayangkan itu. Saya membayangkan Soekarno melanjutkan orasinya dan semakin menggebu-gebu untuk menciptakan tatanan dunia baru yang ia sebut sebagai gelombang New Emerging Forces (NEFO) yang menggilas Old Established Forces (OLDEFO).
“Film Inggris kita linggis! Amerika kita setrika! Jayalah dunia baru tanpa neokolim! Jayalah film Asia-Afrika!” saya membayangkan itu ujung orasi Soekarno dengan tangan mengacung dan mata mendelik.
Saya tersadar dari lamunan bahwa saya berada di sekitar generasi milenialdimana film adalah hiburan, dan sukar untuk lebih. Saya juga tidak tahu mengapa saya membayangkan senyum dan orasi Soekarno itu ketika membaca buku terlampir dan rampung menonton film Kartini. Yang saya baru tahu melalui obrolan film kemarin bersama bung Eros dan acara diskusi itu membuat saya mahfum: bahwa tidak mudah bikin film, tentu saja, dan juga gak gampang bikin film yang ‘ideologis’, dan terlebih ngobrolin ‘ideologis’ film dengan orang film. Meskipun saya tahu, Kartini dalam film Kartini itu, “dan biarpun saya beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputera merdeka dan berdiri sendiri.” Di titik itu saya ingin mencium peci dan curhat ke Soekarno.
Adakah yang ingin gabung curhat dengan Soekarno?
“Bung Karno, curhat dooongg…” []

Keterangan Film:
Judul Film : Kartini
Sutrada : Hanung Bramantyo
Penulis Naskah: Bagus Dramanti, Hanung Bramantyo
Produksi :  Legacy Pictures, Screenplay Films
Pemain : Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, Deddy Sutomo, Christine Hakim, Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Djenar Maesa Ayu


Jatikramat, April 2017


*Tyo Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di kuartal ketiga tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar