MENONTON
(FILM) KARTINI, MENGINGAT (SENYUM) SOEKARNO
Oleh: Tyo Prakoso
![]() |
Dian Sastro, Adinia Wirasti, Acha Septriasa, dan Ayushita dalam salah adegan film Kartini | Koleksi foto: brillio.net |
“APAKAH
engkau siap menjadi Raden Ayu?” Itu pertanyaan RM Adipati Ario Sosroningrat
kepada puterinya, Kartini, di bagian pembuka film Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Pertanyaan itulah
yang menjadi katalisator cerita dalam film tersebut.
Dalam
catatan sejarah, menjadi Raden Ayu bagi kalangan bangsawan Jawa di abad 19
berarti siap dikawinkan dengan anggota keluarga bangsawan lain (entah Wedana,
Bupati, atau Wakil Bupati) yang sering kali sudah beristeri satu, dua atau
tiga. Karena menikah dengan sesama bangsawan penting untuk meneruskan darah
biru dan mempertahankan status quo sebagai kelas bangsawan Jawa. Jadi persoalan
perasaan perempuan—apalagi pendidikan, intelektualitas dan kebebasan—perihal
yang sama sekali tak bisa dan tak boleh terlintas pada pikiran generasi ibunda Kartini,
Ngasirah dan juga R.A Moeryam, ibu tiri Kartini. Sebab, dalam lokus feodalisme
Jawa, perempuan tak lebih dari penghias laki-laki dalam kegiatan
kebangsawanannya. Bahkan tidak lebih penting ketimbang burung atau keris.
Kartini (Dian Sastrowardoyo) tak lekas menjawab pertanyaan
ayahandanya. Hanung menjadikan adegan awal itu sebagai kiat untuk membuka
gulungan kisah masa lalu. Seperti kebiasaan Hanung pada dua film biopik
sebelumnya (Sang Pencerah dan Soekarno) yang sering menjadikan masa
kanak-kanak sang tokoh sebagai dasar dari tingkah laku dan cara berpikir di
masa dewasa kelak, Trinil, Si Kartini kecil, protes dengan berbagai aturan
keningratan yang merenggutnya: dia tak boleh tidur dengan ibunya sendiri,
karena derajat Ngasirah (non darah biru) berada di bawah derajat sang
anak.
Kemudian kita menyaksikan si bandel Kartini (Dian
Sastrowardoyo) dan kedua adiknya Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Rukmini (Acha
Septriasa), kedua adiknya yang ketularan
sang kakak dari mulai menjahili orang hingga berjuang untuk mendapatkan
pendidikan bagi perempuan yang menjadi persoalan utama dalam lingkup
feodalisme. Dan itu yang dipilih Hanung sebagai gulungan kisah filmnya.
“Di sini kita bebas, misalnya jika mau tertawa kita bisa…”
Kartini ngakak sepuasnya ketika tiga
bersaudara itu sedang nangkring di tembok pingitan. Hemat saya adegan itu
merupakan interpretasi Hanung sebagai sutradara (hal ini perlu dicatat)
terhadap surat Kartini yang mengeluhkan betapa dia pernah dicela hanya karena
dia menunjukkan gigi ketika tertawa dan karena dia berani menatap mata lawan
bicaranya--sementara gadis Jawa umumnya diharapkan menunduk.
“Orang di sini ingin agar saya menundukkan mata dan
berpura-pura. Saya tidak mau. Saya ingin melihat mata orang yang berbicara
dengan saya. Saya tidak ingin menunduk,” demikian surat Kartini pada 12 Oktober
1902 kepada Nyonya R.M. Abendanon.
Dalam film Kartini,
Hanung menggunakan pingitan yang sebetulnya penjara bagi ketiga gadis itu
dimanfaatkan untuk ‘menyeberang ke dunia luar’ melalui buku-buku milik kakak
tercinta mereka, si jenius Sosrokartono (Reza Rahadian). Di sinilah sebuah
adegan tak terduga terjadi. Ketika Kartini membaca sebuah novel berjudul Hilda Von Suylenberg karya Cecile de Jong tentang seorang pengacara
perempuan yang sudah berumah tangga. Kartini digambarkan seolah menyaksikan
adegan sebuah pengadilan di Belanda. Begitu saja penulisnya berdiri di samping
Kartini yang takjub menyaksikan bagaimana sang pengacara bersilat lidah soal
hukum.
Sebagai sineas, Hanung memilih untuk memvisualisasikan
buku-buku yang dibaca Kartini, surat menyurat antara Stella dan korespondensi
dengan kakanda Kartono. Semua adegan itu tampil seolah Kartini tengah berada
bersama lawan bicaranya; di Belanda, di depan kincir angin, di tengah hutan. “Bawalah
aku ke negaramu,” keluh Kartini dengan air mata yang merembes ketika Stella
berdiri di sisinga di hadapan kincir angin itu.
Bagi saya adegan-adegan visualisasi ini menjadi sebuah
interpretasi yang unik dibanding dengan adegan voice-over dan adegan Kartini menulis seperti yang biasa tampil
dalam drama-drama televisi Kartini. Hal tersebut menunjukkan sebagai sineas
Hanung paham bermain dengan mediumnya; sinema dan sejarah hanya objek dari
karyanya. Oleh sebab itu, kita perlu memposisikan subjektivitas Hanung sebagai
sineas, di mana ruang interpretasi menjadi mungkin terhadap teks sejarah.
Bagi saya, Hanung berhasil menampilkan Kartini yang tidak
hanya ‘memperjuangkan kaumnya (perempuan)’ melainkan perempuan yang tengah
berjuang melawan belenggu feodalisme. Artinya, titik tekannya bukan pada
‘emansipasi perempuan’ melainkan pada feodalisme itu sendiri. Karena, hemat
saya, belenggu Kartini (dus perempuan Indonesia) sebermula pada jerat
feodalisme. Hanung berhasil memposisikan hal tersebut.
Berbeda dengan film Kartini
karya Sjuman Djaya (1983) yang menampilkan Jenny Rachman sebagai Kartini yang
lebih pendiam dan prototipe perempuan Jawa, dan menyampaikan pandangannya dengan
lebih hati-hati, maka Kartini dalam terkaan Hanung tampil sebagai perempuan
yang cergas, lincah, dan bergelora dalam tulisan-tulisannya menentang
feodalisme.
Dalam
cara pandang demikianlah, saya menikmati adegan-adegan dalam film tersebut,
terutama ketika Trio Daun Semanggi berlari menyambut gelombang samudera dengan
wajah yang tak gentar juga adegan memanjat tembok dan duduk di atasnya sembari
berseloroh “aku tidak sudi menikah”, setelah melihat kakak tiri mereka Soelastri
dipaksa kawin. Ini titik pijak yang baik untuk memahami perjuangan emansipasi
perempuan Indonesia yang memiliki pangkal yang berbeda dengan gerakan feminisme
di Eropa yang beberapa tahun terakhir membuncah di Indonesia. Di titik itulah
saya ingat Soekarno ketika ia membicarakan perempuan dalam buku Sarinah, dan
keyakinannya kemanunggalan antara perempuan dan lelaki dalam revolusi
Indonesia—metafor yang digunakan Soekarno ialah kepak sayap burung Garuda. Dan
film sangat penting dalam upaya tersebut.
![]() |
Soekarno ketika berpidato dalam Festival Film Asia-Afrika di Bandung pada 19 April 1964 | Koleksi foto: WIKIPEDIA | COM |
“Sejarah film Indonesia adalah pergumulan tentang identitas
kebangsaan,” begitu Adrian Jonatan Pasaribu, pegiat literasi dan pengarsipan
film dan juga mengelola laman cinemapoetica.com membuka tulisannya. Tulisan
Adrian bisa dibaca di buku terlampir yang saya dapat dari acara diskusi film
kemarin yang bertajuk, “FILARTC 2017” di Studio Perum Produksi Film Negara
(PFN), Jakarta.
Saya suka sampul depan buku itu—yang juga dijadikan tema
utama diskusi dan pameran tersebut. Soekarno sedang berdiri di podium saat
acara Festival Film Asia-Afrika III di Markas Besar GANEFO, Bandung pada 19
April 1964. Ia tersenyum ke arah juru potret.
Saya
membayangkan di saat orasinya Soekarno menekankan bahwa “Film harus turut serta
dalam Revolusi Indonesia yang belum selesai!” lalu ia tersenyum dan pikirannya
terbang ke 70 tahun ke depan, di masa di mana kita hidup sekarang. Soekarno
membayangkan film apa saja yang tayang di bioskop, juga film Kartini karya
Hanung—dan
kita mengetahui film apa saja yang ditayangkan itu. Saya membayangkan Soekarno
melanjutkan orasinya dan semakin menggebu-gebu untuk menciptakan tatanan dunia
baru yang ia sebut sebagai gelombang New
Emerging Forces (NEFO) yang menggilas Old Established Forces (OLDEFO).
“Film Inggris kita linggis! Amerika kita setrika! Jayalah
dunia baru tanpa neokolim! Jayalah film Asia-Afrika!” saya membayangkan itu
ujung orasi Soekarno dengan tangan mengacung dan mata mendelik.
Saya
tersadar dari lamunan bahwa saya berada di sekitar generasi milenial—dimana
film adalah hiburan, dan sukar untuk lebih. Saya juga tidak tahu mengapa saya
membayangkan senyum dan orasi Soekarno itu ketika membaca buku terlampir dan
rampung menonton film Kartini. Yang saya baru tahu melalui obrolan film kemarin
bersama bung Eros dan acara diskusi itu membuat saya mahfum: bahwa tidak mudah
bikin film, tentu saja, dan juga gak gampang bikin film yang ‘ideologis’, dan
terlebih ngobrolin ‘ideologis’ film dengan orang film. Meskipun saya tahu,
Kartini dalam film Kartini itu, “dan biarpun saya beruntung sampai ke ujung
jalan itu, meskipun patah di tengah jalan saya akan mati dengan merasa
berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu
mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputera merdeka dan berdiri
sendiri.” Di titik itu saya ingin mencium peci dan curhat ke Soekarno.
Adakah yang ingin gabung curhat dengan Soekarno?
“Bung Karno, curhat dooongg…” []
Keterangan
Film:
Judul
Film : Kartini
Sutrada : Hanung Bramantyo
Penulis
Naskah: Bagus Dramanti, Hanung Bramantyo
Produksi : Legacy
Pictures, Screenplay Films
Pemain : Dian
Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, Deddy Sutomo, Christine Hakim, Reza
Rahadian, Adinia Wirasti, Djenar Maesa Ayu
Jatikramat, April 2017
*Tyo
Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan
Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di kuartal
ketiga tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar