Jumat, 12 Mei 2017

Aksi Politik Kelas Menengah: Catatan Dinamika Politik Kelas Menengah DKI Jakarta menuju Pilkada selama Bulan Desember 2016 hingga Maret 2017

AKSI POLITIK KELAS MENENGAH:
Catatan Dinamika Politik Kelas Menengah DKI Jakarta menuju Pilkada selama Bulan Desember 2016 hingga Maret 2017
Oleh: Iman Zanatul Haeri
Selamat Pagi | Koleksi Foto: Yoga Liberiawan | 2016-2017 | @gerakanaksara
"Sejarah telah memberi kita berbagai contoh bahwa negara yang menikmati rahmat dari agama (ed) menunjukan adanya usaha penyembunyian hal-hal yg bersifat keduniawian dan oposisi yang berbahaya dalam sebuah kekudusan atau kesucian. Dan hal ini tampak tidak lebih menarik dalam perjuangan melawan kelaliman rohani.
—Karl Marx, “Revolusi-Revolusi di Eropa”, hlm. 34—

I
PENANGKAPAN BEBERAPA aktor politik dengan tuduhan makar, mengesankan bahwa pemerintah memiliki ketakutan yang terbuka bahwa eskalasi “aksi bela Islam” 411 dan 212 membuka perdebatan lama mengenai politik Islam di Nusantara. Melalui media sosial setiap individu merasa harus berbicara tentang isu tersebut, sehingga kemudian analisa politik berbasis identitas menjadi sangat gemuk dan mubazir. Di sisi lain, para pengamat yang hendak melakukan kajian politik kelas atas peristiwa tersebut di lingkari oleh kepercayaan diri yang rendah untuk membedahnya, sebab begitu kurang terperincinya beberapa mekanisme teori analisa politik kelas memetakan aktor-aktor politik dalam peristiwa tersebut. 
Pertama-tama bahwa peserta aksi diikuti oleh berbagai lintas kelas sosial dilingkupi tebalnya kabut visual tentang “penanda” bahwa mereka adalah suatu unity dari politik identitas Islam. Kedua, bahwa perangkat ekspresi politik seperti gadget dimiliki oleh semua kelas sosial sehingga kemudian kita menemukan banyak kelas bawah yang berwatak kelas menengah, misal ‘gaji UMR tapi gaya hidup ala selebgram’.
Kecenderungan ini membuat kita melupakan bahwa kisruh politik di DKI dimulai oleh konflik laten lembaga eksekutif dan legislatif yang telah berlangsung cukup lama, sehingga muncul ‘korban’ yang diantaranya merupakan massa berbasis kekecewaan atas pergantian rezim kapital antara borjuasi lokal DKI dengan kapital global. Seandainya analisa politik kelas ini diterapkan, kita akan mampu melihat bahwa aktor-aktor politik dalam kekisruhan yang menyeret agama ke dalam ring tinju tanpa pengaman apapun, membuat ‘Islam’ babak-belur secara diskursif, bahkan oleh pendukungnya sendiri. Sementara itu kompetisi tersebut hanya menyediakan pemenang tunggal; kapital dan kapital.
Politik kelas tetap akan menyatakan jurang yang menganga di antara drama politik alam bawah sadar ini: bahwa ketika kapital global dan borjuasi nasional serta kelas menengah lokal berseteru sekencang-kencangnya, tetap saja bahwa kelas bawah/proletar/kaum miskin kota/angkatan kerja berpendidikan rendah, berada pada posisi yang sama—bahwa mereka tetaplah alas kaki atas perseteruan itu; diinjak, digusur, ditangkap atau ditundukan oleh perseteruan antar kapital tersebut di atas.

Mari kita mengambil tiga sample; Habib Rizieq, Ahmad Dhani, dan Rachmawati Soekarno Putri. Dapatkah analisa politik kelas menempatkan aktor-aktor populer dalam kisruh politik tersebut kedalam koridor politik kelas?
Lalu, tanpa harus berdebat tentang jumlah peserta aksi tersebut; dapatkah kita mengetahui mengapa aksi tersebut sangat bergantung pada peserta impor dari wilayah kota-kota menengah seperti Bekasi, Cilegon atau Kupang? Apakah relasi antara kota besar dan kota menengah? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dapat mengungkap bagaimana perubahan-perubahan politik dilakukan oleh agen-agen kelas menengah di kota-kota menengah yang berbeda dengan kelas menengah Ibukota. Sedikitnya, terjawab dengan hasil poling yang selalu menempatkan Ahok sebagai calon terkuat (di DKI) sebelum kekisruhan tersebut muncul. 
Hipotesa pertama, bahwa kepemimpinan Ahok adalah angin segar bagi kapitalisme Global, dengan dukungan kelas menengah Ibukota yang berkesadaran global (transparansi, efesiensi, go green, anti-kumuh,  hingga tata kota futuristik). Hipotesa kedua, relasi antara kelas menengah kota menengah dengan borjuasi lokal yang tersinggir (contoh: Haji Lulung), serta elit masa kelas menengah relijius (misal: Habib Rizieq) semakin terkonsolidasi akibat menyebarnya atmosfer “rasa tersingkir”, yang dalam kajian Klinken dan Berenshot (2016), mereka, menyimpan sisi konservatif agama (Islam) dalam sanubarinya.[1]
Poster Habib Rizieq di sebuah perkampungan Jakarta saat hari pencoblosan | Koleksi foto: Ed Wray/Getty Images | 2017
II
PEMANDANGAN mengejutkan dari terminal-terminal, stasiun-stasiun kota Serang, Cilegon, Bekasi, Ciamis, Kupang, Jambi, Padang, Banjarmasin, Palu dan kota-kota lainnya yang disesaki oleh massa berbaju putih menuju Jakarta merupakan gambaran tentang kuatnya konsolidasi umat muslim terhadap wacana-wacana yang dianggap menodai agama mereka.  Lebih dari sejuta orang dari berbagai kota di Indonesia tersebut datang untuk mengikuti aksi yang dinamai “Aksi Bela Islam”, yang berjilid-jilid itu.  Solidaritas ini disambut oleh keharuan dan militansi yang dikobarkan oleh agen-agen hegemonik agama melalui media dan para pengkhotbahnya.  Perhatikanlah senyum Aa Gym ketika jadwal dakwahnya makin padat. Ahok menyelamatkannya dari masa-masa suram berdakwah tanpa pamrih meski Aa Gym tak ada niat untuk berterima kasih.
Betul kata Ali Syariati, Marxisme tidak akan mampu memahami mengapa sejengkal tanah di sekitar Ka’bah lebih berharga daripada sejengkal tanah di manapun. Materialisme Marx, kata Syariati, tidak akan mampu membuat gerakan-gerakan politik berlandaskan ketakwaan dan ketaatan umat selama melihat dunia rasional yang didalamnya angka-angka statistik.  Namun juga, disitulah letak persoalannya. Indonesia merupakan kuburan bagi manifesto-manifesto politik tentang kekecewaan yang bergentayangan. Fakta sejarah sosial di Indonesia selalu menunjukan bantahan-bantahan terhadap proyeksi politik yang pernah singgah dibumi pertiwi.
Pertama-tama marilah kita sambut kegagalan spectacle yang dilakukan oleh Comte dalam studi Sejarah Perkembangan Manusia, bahwa di akhir sejarah perkembangan masyarakat akan mengalami dunia positif, yang diisi oleh perangkat teknologi disegala aspek dan fakta ilmiah adalah Tuhan yang terakhir, yang pantas disembah.  Namun sampai abad XXI, ketika teknologi hampir mengisi seluruh ruang hidup masyarakat Indonesia, agama tetap menjadi anomali irasional yang terus menari-nari di atas regulasi teknologi rasionalitas. Sebutlah studi belakangan yang dilakukan oleh Cliford Geertz pada tahun 1950-an terhadap masyarakat Pulau Jawa, bahwa mereka terbagi dalam Tripologi; Santri, Abangan dan Priyayi. Tripologi ini malah menambah persoalan; bagaimana Clifford Geertz memandang Soekarno? Yang memiliki ketiga karakter Religion of Java sekaligus. Meski Indonesia bukan hanya Pulau Jawa, namun sangat mungkin menganggap bahwa Jawa adalah miniatur Indonesia yang dipadatkan. Cara yang memaksa ini mirip rencana Pembuatan TMII, yang mengkerdilkan Indonesia menjadi sekedar selera Seni Nyonya Besar Orde Baru yang diselimuti wewangian Jawasentris. 
Jones Lang Lasalle Report 2015
Di pulau ini seluruh kepentingan wilayah lain yang terbentang dari ujung Sumatera, Samarinda, Ujung Pandang, Maluku hingga Papua bertarung dalam regulasi ekonomi, birokratik, jaringan-jaringan lama dan baru yang silih berganti. Lebih padat lagi, bahwa pertarungan antara ideologi negara, kepentingan kelas sosial, dan pertarungan lainnya terjadi dan terus menjadi sorotan adalah posisi strategis ibukota Jakarta. Peristiwa ekonomi politik di Jakarta lebih menjanjikan bagi pemirsa diwilayah ‘daerah’. Kematian tokoh sinetron Si Boy Anak Jalanan contohnya; adalah bukti hegemoni budaya industri televisi di Jakarta yang mampu membuat beberapa Ibu-ibu di daerah (Sumatra, kalimantan, Sulawesi dll) meraung-raung menangisi tokoh sinetron tak mendidik itu. Jakarta adalah scope kecil, yang pertarungan kelas sosialnya dimainkan oleh para pendekar daerah, yang mencoba peruntungan ditanah rantau yang kejam itu. Sedikitnya mampu bertahan, kebanyakan kandas karena watak konsumtif kelas menengah daerah tak akan mampu membayar banyak penjual hasrat di Jakarta, yang hampir membuat segalanya menjadi mungkin dibeli dan menjadi sangat tidak dicapai daya beli”.
Sebelum tahun 2012, tidak ada konsultan politik manapun yang percaya diri untuk menawarkan draf harapan pada calon Gubernur Jakarta, bahwa dengan menjadi Gubernur, prospek politik menuju kursi tertinggi di hamparan Nusantara akan semakin terbuka.  Namun begitulah, mirip dengan ibu-ibu kelas menengah yang mengejar diskon di beberapa mal Jakarta, para politikus kesiangan berbondong-bondong mencoba berkontestasi untuk menjadi DKI 1. Kesalahannya hanya satu, namun sulit disembuhkan; mereka memakai cara-cara lama. 
Mereka lahir dan disusui oleh Orde Baru beserta watak-wataknya yang puluhan tahun membuat para pemain kapitalisme global mengerutkan dahi. Kekecewaan kelas sosial ini bertemu panggilan-panggilan pengkhotbah yang menyediakan jawaban melalui ayat-ayat suci dan memberi tempat terbaik; untuk marah se-marah marahnya pada keadaan, ketika cara-cara lama terbukti tidak berhasil; ketika itulah, ketika kelas menengah merapatkan diri dalam lautan massa yang siap untuk marah. Lalu para calo fundamentalisme agama palsu ini mengambil alih estafet kekuasaan. Ketika pikiran kritis kelas menengah atas perasaan tertipu itu muncul, para fundamentalis palsu itu mengakhiri langkah terakhirnya dengan menjejali mereka dengan ayat-ayat suci kembali. 
Dengan begitu, satu-satunya yang tersisa adalah kekecewaan inheren, maka hidung mereka sudah dicongcong dengan sempurna.  Mungkin saja, tahun-tahun kedepan Pemerintahan Jokowi akan dilingkupi kekecewaan kelas menengah yang tidak memahami lagi kebutuhan kelas sosial mereka, sebab saluran kritisnya tengah ditumpulkan oleh seruan para penyebut nama Tuhan di jalanan; meskipun mereka menyesal, tak ada jalan kembali, sebab mereka kini adalah martir yang dalam satu tombol akan bergerak untuk perintah yang tak bisa dilawan lagi; khawatir-membenci-lalu marah.  Begitulah cara terbaik membuat kelas sosial ini menjadi mayat hidup di antara beton-beton sosial.[2]
Selamat Pagi | Koleksi Foto: Yoga Liberiawan | 2016-2017 | @gerakanaksara
III
PENDUKUNG militan Ahok merupakan tanda tumbuhnya kelas menengah berkesadaran global. Mereka adalah penduduk berideologi poros tengah yang merasa kompetisi ekonomi-politik selalu dimonopoli oleh elit tradisional warisan Orde Baru. Mereka hadir untuk mendukung reformasi birokratik, mendukung keindahan individualistik dan sepakat; orang miskin mengganggu pemandangan saja. Sehingga cukup mungkin mereka kehilangan rasa iba dalam setiap penggusuran.  Karena dangkalnya cita-cita hidup kelas menengah ini, maka mudah bagi mereka untuk berpelukan dengan monster dimasa lalu bernama Orba, sebab konsekwensi hasrat liberal yang tak matang itu. 
Di sisi seberang kekuatan elit tradisional yang terdiri dari kelas Menengah berkesadaran lokal, mulai terhimpit oleh terbukanya akses informasi diera digital sehingga klik jaringan lama mulai usang dan ditinggalkan. Contoh sederhananya adalah nasib Haji Lulung yang mulai kehilangan akses monopoli terhadap beberapa pusat ekonomi di Jakarta. Kenyataan menakutkan itu mulai menemukan sang malaikat baru tatkala Anies Baswedan bersafari politik menjanjikan kemegahan masa lalu, yakni kenangan indah kala mereka berbisnis dengan jutaan kemudahan-kemudahan ekslusif dan terbatas pada mereka-mereka saja. Hal ini ditandai dengan foto berpelukan di haul sang diktaktor Jendral Soeharto beberapa waktu lalu. 
Sehingga satu kali Tommy Soeharto memajang wajahnya di media, mereka akan meraung menangis terharu oleh karena kerinduan yang konyol. Pada Tahun-tahun berikutnya mereka telah dan akan terus bekerja membuat kisruh politik menjadi agenda harian, sebab, dari suramnya persaingan dengan pencari kerja multi-talent futuristik; hanya upah dari kisruh politik yang pembayarannya begitu sederhana dan mudah mereka fahami. 
Kelas menengah tradisional ini terhitung dengan jari kepemilikan tanah mereka di wilayah Administrasi DKI Jakarta. Mereka yang sedikit ini harus merangkai solidaritas dari pinggiran Ibukota untuk memungut sisa-sisa korban dari efesiensi yang keras dari Jakarta yang semakin tekno-sentris. Basis mereka tersebar dikota Satelit seperti Depok, Bekasi dan Bogor. Mereka akan berkumpul ditempat-tempat orang-orang keras kepala menemukan Tuhan mereka yang Pemarah. Barisan mereka akan semakin rapat, terutama konsekwensi dari penolakan atas kemajuan zaman. Sangat mudah menduga mengapa peristiwa berdarah akan mengintai simbol-simbol perubahan seperti Ojek online. 
Menang atau kalah, reformasi birokratik Ahok sudah menjadi wacana harian warga Jakarta lintas kelas sosial. Meski Anies Menang, kelas menengah berkesadaran global tetap di atas angin karena sudah menyatu dengan lapangan tekno-sosial di Jakarta. Kecuali bila kelas menengah tradisional mendapat panggung dalam suatu peristiwa sejarah (lagi) dan memutar balik roda sejarah penuh darah—seperti tragedi 1965. Namun, ambisi Anies untuk sampai R1 akan membuatnya berupaya menyenangkan semua orang; sehingga partisipasi politik mereka akan cenderung melalui jalur demokratis. 
Pilkada DKI sudah beralih fungsi. Dan terkadang disinformasi. Bagi kaum miskin kota dan Kelas menengah dalam ketegangan—kelas menengah bergaya hidup tinggi tapi kreditan, yang dalam sekali peristiwa saja bisa turun kelas sosialnya—akan menjadi manusia mengambang ditempatnya berpijak. Menyewa rumah seumur hidup adalah satu kemungkinan yang tidak pernah dibisikan penguasa manapun. Laporan TIRTO ID tidak mengejutkan kala menampilkan fakta justru kelas menengah yang terusir dari Jakarta. Bila pada tahun 1960 penduduk yang bekerja di Jakarta mudah memiliki rumah di wilayah Jakarta, pada tahun 1990an mereka bekerja di Jakarta namun rumahnya dipinggiran Jakarta, lalu pekerja tahun 2000an tercatat memiliki rumah di Bekasi, Bogor, Depok dan wilayah luar Jakarta lainnya. Dan menjelang 2008, sudah tersedia perumahan diperbatasan ujung kota-kota satelit itu meskipun faktanya mereka masih bekerja di Jakarta. 
Sebagaimana penipuan yang sudah-sudah, kelas menengah berkesadaran global dan kelas menengah elit tradisional terlena oleh mimpi kosong mereka sendiri. Bersorak ramai mengusung pemimpin mereka yang dalam keadaan apapun akan menjadikan mereka penyewa permanen. Maka cukup masuk akal bila banyak kelas menengah terlena ustad televisi karena janji bisa melakukan investasi disurga dengan hitung-hitungan duniawi (LOL). Karena memang selama ini secara objektif mereka di Jakarta tak memiliki apapun. 

Namun, pembiusan ini harus tetap terjaga, sehingga setiap solidaritas antar kelas yang menghubungkan antara (1) kaum miskin kota tersisih (proletar/ wong cilik) dan (2) kelas menengah di DKI Jakarta (yang berkesadaran global maupun tradisional) harus dipatahkan. Pemisahan ini selalu diupayakan agar elit Nasional mampu menghadirkan “dirinya” sebagai “pahlawan yang dipanggil”, yang dibutuhkan banyak pihak untuk menyongsong hari-hari baru dan kepalsuan baru tentunya. 
Oleh karenanya, pertarungan di antara kelas Menengah adalah media kampanye paling murah untuk menghadirkan wacana politik nasional sebagai Interest Rate yang tinggi dan stabil. Misalnya, pemberitaan pernyataan dan tindakan bahkan skandal elit Nasional yang menggempur tiap gadget kelas menengah dengan informasi apapun, yang tidak penting sekalipun. Meskipun itu hanya berita kelahiran seekor kambing. Bagaimanapun, kelas menengah adalah kunci gerakan sosial. Untuk meminimalisir hadirnya pemimpin populis dari Ultra-kanan atau moderat-pasif, pendidikan politik-media saja tidak cukup, sebab basis ideologi keberpihakan pada kaum miskin kota/tertindas akan menentukan sejauh mana kesadaran kelas menengah mampu menggapai kondisi objektif kelas dibawahnya.[3]
Sejarah mencatat korban dari pertarungan elit tidak sepenuhnya ditanggung oleh aktor politik tersebut secara menyeluruh. Perilaku politik Ahok tidak hanya mengancam karir politiknya sendiri, Namun mengancam kehidupan luas etnis yang teridentifikasi Cina. Sebab sejarah mencatat bagaimana Pilkada DKI merupakan kelanjutan dari proses dialektik historis yang pernah terjadi sepuluh tahun silam ditempat berbeda dengan agitasi yang hampir mirip. Bagaimana hal ini bisa diungkap, tentu melalui proses yang rumit dan unik. Sebab kita akan sama-sama menyaksikan bahwa kaum Libertarian global membuka peluang analisa ini.

IV
HADIRNYA Wikileaks di jagad politik global menunjukan kontradiksi di dalam ideologi liberal,  bahwa para libertarian mulai mengamuk dengan jalan pintasnya masing-masing. Terutama jeritan mereka atas situasi yang tak bisa disangkal lagi bahwa proyeksi neoliberalisme bersamaan dengan demokrasi yang semakin menuju ritual kosong, transparansi yang lebih menunjukan ketelanjangan nir-keterbukaan, dan kucuran dana hutang yang tak pernah menyelesaikan persoalan kesejahteraan sejak IMF didirikan. 
Orang-orang kiri di garis terdepan mesti juga menyadari bahwa libertarian adalah cikal-bakal hadirnya sosialisme—yang pada akhir abad ke-19 dianggap alternatif paling mungkin menutup mata terhadap rakusnya kapitalisme. Masa itu telah berlalu, kita memang butuh alternatif lain.
Wikileaks yang lebih menonjolkan sikap martir ketimbang jawaban sistematis harus diperpanjang umurnya dari kontrak politik yang pendek itu dengan memaksimalkan energi terakhirnya; bocoran data. Sekurang-kurangnya, basis perjuangan nafas terakhir mereka adalah bocoran data yang tidak pernah disangkal oleh negara-negara ‘terduga’ melakukan persekongkolan jahat untuk mendapatkan segala keuntungan di seluruh permukaan bumi.
Melalui itu semua, relasi antara watak kelas menengah berkesadaran global dan watak elit lokal-nasional, Ibu Pertiwi yang sudah diperkosa berkali-kali akan tersimpul bersama momentum politik tertentu di mana mereka mulai menampakkan wajahnya masing-masing. Momentum politik tersebut adalah Pilkada—bahwa melalui nafsu politik yang tidak bisa ditutup-tutupi, kampanye politik mereka akan menunjukan prilaku saling menusuk dibelakang namun sangat nyaring bunyi-bunyi sobekan-sobekan berdarahnya. Melalui data Wikileaks, pendengaran kita semakin jelas dan mampu dikenali. 
Satu momentum penting dari sejarah etnis di pulau tropis bernama Indonesia adalah munculnya kesadaran berpolitik etnis Tionghoa. Hal ini bukan tanpa hambatan atau perdebatan sejauh mana keamanan etnis ini untuk tidak lagi menjadi tumbal penguasa—entah kolonial di abad ke-19 atau era Orde Baru—dikarenakan kecakapan mereka berkompetensi secara ekonomi. Satu hal yang jelas, sentimen Anti-Cina dibentuk era kolonial. Penjegalan Ahok di Pilgub Bangka Belitung (Babel) bisa menjawab fenomena aksi di jalanan pada akhir Desember 2016, dan hasil suara Pilgub DKI Jakarta bulan April 2017. Eko Maulana Ali berhasil mengalahkan Ahok dalam Pilgub dengan serangkaian kampanye hitam dengan diksi: “Lebih baik makan babi daripada memilih pemimpin kafir.[4]
Dalam kabel diplomatik Wikileaks tersebut, di Babel komunitas Kristen melaporkan beberapa grafiti atau coretan tembok menjelang Pilgub Babel 2007 lalu yang bertuliskan, “Poso Kedua”, “Cina kafir”, hingga beragam selembaran bertuliskan ancaman bila memilih Ahok, yakni ancaman rumah mereka akan dibakar.

Apa yang baru dari semua ini?
Tentu saja gaya kampanye ini menjadi diksi yang sering muncul dipermukaan untuk kampanye-kampanye Anti-Ahok. Kata-kata “kafir”, “Cina”, “babi” dan lainnya  muncul secara masif di media sosial menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017. Bukan kebetulan bila Eko Maulana Ali, lawan politik Ahok Pilgub Babel 2007 lalu didukung oleh PKS, PKB, PAN dan yang menjadi kunci pertarungan politik DKI 2017; Demokrat. Partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yodhoyono ini sudah berpengalaman mengalahkan Ahok dalam Pilkada Provinsi Bangka Belitung tahun 2007. Itu-pun dengan susah payah kemenangan hanya terpaut 2%, tentu saja dengan kampanye negatif yang didorong secara besar-besaran.
Melihat pengalaman politik Demokrat di Babel, dengan sampel yang sama, kemungkinan besar Partai Demokrat akan melakukan hal yang sama—meski energi yang dikeluarkan cukup banyak. Termasuk resiko mencuatnya isu persekongkolan antara SBY, sebagai petinggi Demokrat, dengan Maaruf Amin sebagai petinggi lembaga Fatwa MUI.[5]
Mengkonsolidasikan propaganda Anti-Cina, kafir dan sentimen kristenisasi di Babel merupakan hal yang cukup mudah mengingat sifat kedaerahaan yang minim keterbukaan. Seperti yang dikatakan oleh Joseph Stiglitz, kejahatan ekonomi terbesar adalah “informasi asimetris”. Namun Jakarta sudah menumbangkan banyak petualang politik, Hidayat Nurwahid hingga Yusril Izra Mahendra hanya menjadi catatan kaki bahwa pernah ada kader partai Islam yang ikut serta dalam pertarungan politik Jakarta. Sebuah pengecualian, Anies Baswedan, bukan kader Partai Islam, tapi seorang populis lulusan PhD Amerika yang memanfaatkan sentimen pemilih muslim. Lagipula, Ahok tidak benar-benar menang dalam pertarungan Politik Jakarta, ia hanya wakil Jokowi ketika Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.
Ahok sudah melakukan beragam manuver politik—melalui beragam kebijakannya, eksekusif dan transparansif—dengan memperkenalkan cara politik reformis kepada punggawa strategiawan-strategiawati politik tradisional di Indonesia. Melalui cara-cara transparansif yang bercampur dengan semantik bahasa rendah, maka lahirlah video penistaan agama berjudul; Drama Al-Maidah ayat 51.
Gong-gongan FPI selama tiga tahun belakangan—akhirnya—mendapatkan  panggungnya melalui solidaritas agama pemeluk Islam atas blunder pernyataan Ahok yang tidak memahami estetika bertutur politik. Munculah aksi jalanan bernomor 212 dan 411 memenuhi lingkaran Monas dan Masjid Istiqlal yang dirancang oleh arsitek Protestan. Di ujung jalan, Partai Demokrat merayakan bonus dari rumitnya distribusi informasi hoax dalam mengembangkan pidato kecil sosialisasi kebijakan seorang Gubernur Jakarta disebuah pulau kecil menjadi malapetaka besar. Gema politik kanan yang terdiri elit lokal-nasional mencoba menegaskan kembali keberadaannya sebagai pemilik sah atas kekuasaan arus investasi global di negeri ini. Di sisi lain, dengan kekuatan jaringannya yang mengandalkan media-media reformis, Ahok bertahan melalui serangkaian akses investasi global yang dilindunginya, dengan sepenuh jiwa dan raganya.
Reklamasi Jakarta adalah satu-satunya modal yang ia miliki. Impian kelas menengah berkesadaran global, yang mendominasi kelompok pemilih rasional Jakarta harus mencabik-cabik hatinya. Tatkala, di sisi lain, ketaatan mereka terhadap agama harus dipertentangkan dengan kenyamanan reformis yang ditawarkan Ahok bagi masa depan Jakarta. Perlu dicatat, bahwa kemudian intelektual-intelektual muda Nahdatul Ulama (Organisasi Islam terbesar di dunia) yang karena terobosan-terobosannya (orang-orang ini sering disebut JIL) melukai ortodoksi ulama fundamentalis tanah air. Mereka menegaskan keberadaannya melalui serangkaian kritik terhadap pola konsolidasi Islam internal-populis berjangka pendek, guna meredam radikalisasi bermotifkan pertarungan politik sempit.
Apa yang tidak berubah dari lakon politik kanan adalah sikap basa-basi imut mereka terhadap investasi global. Cepatnya kapital global mengubah dirinya menjadi makhluk tanpa nama, membuat bingung pengamat populis televisi—bahkan hanya—untuk menuju sebuah pertanyaan besar terhadap situasi politik nasional secara menyeluruh. Termasuk gagapnya mereka memisahkan istilah Cina sebagai sebagai sentimen budaya, relasi peradaban hingga kedatangannya sebagai arogansi Yuan dibelantara kawasan ‘Ekonomi Pasifik. Tidak bisa dinafikan hadirnya kawasan-kawasan elit senyap strategis yang dibuat di sekitaran Jakarta, seperti Pluit hingga Pantai Indah Kapuk merupakan pertanda hadirnya elit-kota di dalam Ibukota.
Namun, amarah muslim fundamentalis palsu terhadap Cina melalui sentimen “Kafir” dan “pendatang yang meresahkan” merupakan cara cepat membuat retakan-retakan besar dengan muslim moderat di dalam tubuh konsolidasi muslim di Indonesia. Muslim Fundamentalis Palsu diartikan sebagai kelompok-kelompok Islam yang memuja kekhalifahan abad ke 10-15 Masehi, namun berprilaku seperti manusia Modern. Berteriak meminta kepatuhan umat sambil menikmati demokrasi.
Sebagaimana ketika Slavoj Zizek diwawancara mengenai kedudukan ISIS di Timur Tengah, ia menganggap kelompok radikal tersebut bukanlah fundamentalis sejati selama mereka masih menggunakan cara-cara modern dalam propaganda politik maupun militer. Di sisi lain, muslim moderat adalah kelompok Islam mayoritas, memaklumi kehidupan modernitas namun tidak pernah memiliki penjelasan praktek-sistematis atas istilah plural dan toleransi yang abstrak itu.
Ribuan masa Islam yang akan terus melakukan aksi bernomor 212, 411 dan lainnya melakukan pemborosan sentimen pemirsa politik dalam negeri. Melalui sifatnya yang keras kepala, yang mirip dengan keangkuhan elit di kawasan Teluk Arab—mereka menafikan potensi yang bisa membuat serangkaian aksi masa lebih murah, dengan mengajak kaum muslim miskin yang sedang berhadap-hadapan dengan koorporasi rakus. Jawabannya bisa dipakai untuk menganalisa jangkauan ideologi pengusung aksi tersebut. Sejak awal aksi tersebut adalah proses tawar-menawar sesama elit politik Jakarta, seperti “Atomisme Logis”-nya Bertrand Russell—bahwa pertarungan tersebut hanya persoalan mengembang atau tidaknya pengaruh satu elit terhadap elit lainnya.
Radikalisasi di sebelah kanan hanya berlaku ditataran menengah kebawah. Ditataran elit Jakarta, semuanya hanyalah persoalan transaksional. Sebagaimana Ahok yang sejak mula sudah menasbihkan dirinya sebagai pelindung kapital global di garis pantai Jakarta—Reklamasi Jakarta adalah tiket pertama baginya untuk modal awal dari neraca yang membingungkan. Terutama citra Ahok yang transparansif mesti diragukan setelah peristiwa perdebatan ia dengan Badan Pengawas Keuangan.  
Malapetaka lainnya, bahwa hampir semua calon Gubernur DKI Jakarta, termasuk Anies Baswedan, tidak pernah sekalipun melontarkan keputusan tegas untuk menghentikan Reklamasi tersebut. Reklamasi di negara kepulauan sungguh melukai akal sehat dengan nafsu bisnis yang tak kenal batas. Bolehlah kita mengira, bahwa semua petualang elit Politik sepakat—reklamasi Jakarta adalah tiket yang sangat penting untuk mengantarkan siapapun menjadi berada dipuncak politik ibukota Jakarta. Karena ini persoalan uang yang sangat besar.
Di sisi lain, sikap militer sudah jauh-jauh hari mengambil peran yang sangat pragmatis atas situasi tersebut. Sesekali Jendral Gatot Nurmanto melontarkan kata-kata “Persatuan Bangsa”, namun kemesraannya merangkul kelompok muslim fundamentalisme palsu dengan fotonya memakai peci haji—sementara hampir seluruh pejabat negara Indonesia memakai peci hitam, adalah tanda ketertarikannya untuk menjadi pemain dalam politik elit nasional. Di arena global, TNI melalui Koperasi Angkatan Darat seringkali terlibat bisnis Impor dengan Cina,[6] dan di wilayah publikasi, dengan presentasinya yang terkenal itu Sang Jendral Nurmanto membeberkan potensi konflik di Laut Cina selatan—dengan sangat menggelikan.[7]
Tentu saja bisnis Koperasi Induk TNI AD tidak dijelaskan di sana. Para pensiunan TNI sudah melupakan bagaimana takdir tentara antara kesetiaan, kematian dan trofi penghargaan. Mereka melupakan takdirnya, bahwa tentara adalah alat negara. Trend sekumpulan pensiunan TNI yang berkumpul lalu mendirikan partai politik, mungkin masih lebih baik daripada mereka mendirikan boyband.
Artinya, tradisi Orde Baru selama 32 tahun yang menempatkan pensiunan TNI sebagai pejabat-pejabat Pemerintahan menghasilkan generasi prajurit yang memiliki sindrom pasca-pensiun (berbeda dengan post-power sindrome). Bukan lagi rahasia, sejak Soeharto, yang menurut David Harvey, Indonesia termasuk proyek The Neoliberalsm State global.[8] Neoliberalisme menghianati prinsip inti mereka sendiri tentang pasar yang bebas dari intervensi negara. Namun kenyataannya, mereka perlu mengajak “diktator militer” untuk membangun pasar bebas. Video tentang kedatangan taipan Tomi Winata  ke kantor gubernur DKI Jakarta, dan di sana sang taipan menceritakan leluconnya ketika bertemu Jendral TNI Moeldoko[9]—membandingkan antara karyawannya dengan tentara ketika menjaga hutan. Di sanalah tentara Indonesia, sebagai penjaga pintu arogansi kapital.

V
KETIKA kekuatan politik kanan saling mencakar dengan nafsu dan keterbatasan psikologisnya masing-masing, kekuatan kiri melebur entah kemana. Bila memang dikotomi antara kiri dan kanan sudah tidak relevan, tentu saja sejarah tidak mungkin hanya berisi sampah. Ketika bangsa ini dibentuk, UUD 1945 sangat bernuansa sosialis dan imajinatif. Di sisi lain, bersifat lokal. Tentu, melalui simpul sejarah yang demikian, kita memiliki landasan yang jelas untuk membubarkan pertarungan antara kelas menengah berkesadaran global dengan kelompok elit lokal-nasional: antara Ahok dan para penjegalnya; antara Reformis dan konservatif.
Sementara pertarungan politik itu sedang berlangsung, serangan-serangan di antara keduanya tidak memperdulikan banyak diantara kita—yang bukan bagian dari elit yang sedang berperang—menjadi korban dari kacaunya serangan di antara mereka. Bukan karena mereka tidak bisa mengendalikannya, namun karena mereka memang tidak peduli bila kita menjadi korbannya.[10] []

Pandenglang, Mei 2017

*Iman Zanatul Haeri, S.Pd—Penulis sekarang bekerja di Litbang LBH Rakyat Banten, masih aktif sebagai Pustakawan di Komunitas Perpustakaan Kandangbuku di Rawamangun Jakarta Timur. Kader FPPI. Aktif sebagai pelaku seni Mural dan berdomisili di kota Pandeglang dengan alasan sederhana: orang tua tidak mengijinkan. Pernah menjadi speaker di symposium LIPI ICSSH 2016, pernah 3 kali menulis dan dimuat di mojok.co, pernah menulis di Islami.co. beberapa bulan belakangan sedang menelaah literatur kelas menengah.



Catatan Akhir:


[1] Bagian kesatu ini sudah ditulis pada tanggal 10 Desember 2016
[2] Catatan ini dibuat pada tanggal 27 Januari 2017
[3] Catatan ini dibuat pada tanggal 17 Maret 2017
[4] It's Better to Eat Pork than Vote for a Kaffir https://wikileaks.org/plusd/cables/07JAKARTA568_a.html
[7] Lihat tayangan ILC TVOne secara lengkap di https://www.youtube.com/watch?v=QS_CNUY4DKE
[8] David Harvey,  A Brief History of Neoliberalsm, (Oxford Press: London), hlm. 76
[10] Tulisan ini dibuat pada Bulan Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar