(MENOLAK) TUA DAN LARIK-LARIK ITU
Oleh: Tyo Prakoso
![]() |
Ilustrasi: TEACHMIX | 2010 |
“SEHARUSNYA seseorang tak
sendirian di usia tua mereka,” pikirnya. “Tapi ini tak terelakkan.” Itu
diucapkan Santiago—Lelaki Tua, tokoh yang diciptakan Hemingway, ketika
terlunta-lunta di tengah lautan dan diombang-ambingkan nasib, di dalam benaknya
ketika delapan puluh tujuh hari tanpa memperoleh satu pun tangkapan, tetapi
masih banyak pihak yang beranggapan ia seorang nelayan yang hebat. Santiago
tahu itu memalukan, atau lebih tepatnya ia tahu
diri bahwa itu memalukan. Tapi ia tak pernah bisa menyangkal anggapan orang
terhadapnya. Juga anak lelaki yang bersikeras ikut berlayar dengannya. Dan
menyaksikan betapa getunnya Lelaki Tua itu.
Lelaki Tua dan Laut menceritakan tentang kisah perjuangan Santiago,
seorang nelayan tua asal Kuba, di tengah laut lepas demi menangkap seekor ikan.
Usianya tak muda lagi, tapi Hemingway menggambarkan Lelaki Tua memiliki kemauan
keras dan semangat untuk menjadi nelayan yang hebat. Meskipun tubuhnya tidak
sekuat dulu, sewaktu muda—meski kita hanya bisa membayangkannya karena Hemingway
tak menyentuh hal tersebut, namun dengan frasa nelayan hebat Hemingway mengail hal tersebut—semangat Santiago
mampu memunculkan tenaga yang luar biasa meski berhari-hari diterpa kemalangan.
Reputasinya sebagai nelayan mahir dilapah kemalangan itu. Di titik itulah, mungkin kau bisa memahami mengapa menjadi tua artinya
nelangsa, dan menjadi pemoeda memang tidak gampang.
Beruntung
bagi Santiago, sebab seorang anak yang baik hati sering membantunya dan
merawatnya. Namanya Manolin. Manolin tinggal di dekat rumahnya, tetapi ia
sangat menyayangi Santiago seperti ayah atau kakeknya sendiri. Mereka acap
terlibat dalam perbincangan yang subtil—dan keduanya merepresentasi pantulan
usia.
“Apakah menurutmu
seharusnya kita membeli lotere dengan nomor delapan puluh lima?”
“Kita dapat
melakukannya,” kata anak lelaki itu. “Tapi, bagaimana dengan delapan puluh
tujuh hari tanpa ikan yang menjadi rekor hebatmu?” (hlm. 15-16)
![]() |
Hemingway (kanan) bersama Henry Mike di tepi pantai Kuba | Koleksi; WIKIPEDIA |
Setiap
hari Manolin selalu datang ke gubuk Santiago, menyelimutinya saat tidur,
memberinya makanan, dan membantunya menyiapkan perlengkapan melaut. Pada hari
ke-85, Santiago berencana untuk kembali lagi melaut. Kali ini ia yakin akan
mendapatkan ikan. Ia tidak mengizinkan Manolin menemaninya, tetapi Manolin
boleh membantunya mempersiapkan umpan, alat pancing, dan kebutuhan kapalnya—juga
memberikan semangat dan dukungan. Mereka sangat yakin jika di hari ke-85 itu
Lelaki Tua akan berhasil mendapatkan ikan, bahkan ikan yang besar.
Pun
akhirnya, seperti biasa, seorang diri mengarungi laut di tengah arus Teluk
Meksiko yang sunyi dan gelap, Santiago berangkat dengan kapal kecilnya. Makan
seadanya dan istirahat seadanya. Ia terus menunggu ikan besar memakan umpannya.
Seekor ikan marlin yang sangat besar ternyata berhasil terkecoh dengan umpan
Lelaki Tua. Sayangnya, ikan itu ternyata teramat besar dan Santiago tidak
sanggup menarik ikan itu. Ikan marlin raksasa itu mulai menyeret kapal Santiago
ke arah yang lebih jauh, tempat di mana hiu-hiu berada. Santiago harus
mengerahkan seluruh tenaganya untuk menaklukkan ikan tersebut. Entah sudah berapa
hari berlalu, ia masih tarik ulur dengan ikan itu.
Akankah
Santiago berhasil membawa ikan besar itu pulang? Hemingway tak lekas menjawab
itu. Petualangan Santiago di laut membawanya ke pertarungan sengit bersama
hiu-hiu, luka demi luka, dan perjuangan antara hidup dan mati. Perahunya remuk-redam,
dan ia menepi ke sebuah pelabuhan kecil. Menyelusur jalan sambil memanggul
tiang perahu yang patah dan masuk ke gubugnya. Ia rebah dan menarik selimutnya.
Di saat Santiago tertidur, Marnolin dan orang-orang yang lain membincangkan
hasil tangkapan Lelaki Tua berupa beberapa ikan besar dan itu sebuah capaian
yang luar biasa—Santiago tidak pernah mendengar itu dan ia masih juga terlelap
dan bermimpi bertemu kawanan singa.
*
THE
OLD Man and The Sea (1952)
ditulis Hemingway saat tinggal di Kuba ini banyak terinspirasi dari realita di
sekelilingnya. Hobinya berlayar dan memancing ikan bersama jung-nya yang
bernama Pilar cukup membantunya saat menuliskan suasana dermaga, laut dan
kegiatan memancing Santiago. Karakter Santiago sendiri pun dipercaya oleh
banyak kritikus sastra terinspirasi oleh sosok seorang nelayan Kuba bernama
Gregorio Fuentes, yang kemudian bekerja sebagai pengurus kapal di Pilar.
Membaca Lelaki Tua dan Laut saya ingat Pangemanan-nya
Pram dalam Rumah Kaca—intelektual
Indo asal Manado yang menjadi pegawai kolonial dan mendapat tugas
‘merumah-kacakan’ Minke, Sang Pemula dalam upayanya membela ‘bangsa-terprentah’.
Pram berhasil menjelajahi relung psikologis seorang intelektual ketika
dihadapkan pada situasi yang bertentangan dengan intelektualitas dan nuraninya.
Tapi kerja adalah kerja, tentu saja. Karena itu kau dibayar, begitu gulungan
kisah yang membawa Pengemanann terjerembab dalam lumpur kolonialisme.
“Cuih!” begitu Pangemanann kerap mendesis
mengenai makin merosot dirinya ke dalam kedurjanaan kolonial, dan betapa ia tak
rela menyaksikan sang guru dan panutannya tak berdaya dengan kerja-kerja
kolonial yang dilakukannya—guru yang yang membuka jalan ‘bangsa-terprentah’
memahami kondisi sosial-historisnya bahwa mereka adalah kawanan yang dijarah
dan dijajah. Rumah Kaca menjadi
kelokan yang menakjubkan dalam membelah relung kolonialisme—dus, tantangan dan
rintangan kaum pergerakan—setelah Bumi
Manusia dan Jejak Langkah tampil
sebagai alur utama cerita (nasion).
Di titik
itu akhirnya saya syak-wasangka: Apakah semua intelektual mengalami benturan
seperti Pangemanann? Saya tidak yakin. Edward Said dalam Peran Kaum Intelektual (1998) sudah mendedah itu. Terlampau banyak
bajingan-bajingan ber-rupa intelektual. Barangkali satu dari sekian banyak itu
adalah kita. Barangkali...
Meski,
dalam Lelaki Tua dan Laut dan Rumah Kaca, kita tahu ada
ketidak-sejajaran antara Santiago dan Pangemanan, memang. Tapi ‘Tua’ mempertemukan
keduanya. Jika di titik ini saya tulis kata ‘Tua’ dan ‘Pemoeda’, tentu saya
sedang tidak bicara soal deret-ukur-umur atau rambut yang sudah abu-abu.
Melainkan, seperti yang dikatakan Pram; sebuah keberanian—“Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian,
sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri”
Entah
mengapa, karena bising mendengar kalimat Pram tersebut saya senang larik
Chairil dalam musikalisasi Banda Neira;
Hidup hanyalah menunda kekalahan...
hingga akhirnya kita menyerah, (pada tentara). Sosok Santiago, Pangemanan,
dan muka saya ketika bercermin berkelebatan bersama larik-larik itu. []
Jatikramat,
Mei 2017
*Tyo Prakoso—pembaca dan
perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum
dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya mengudara di
kuartal ketiga tahun ini
Judul : Lelaki
Tua dan Laut
Penulis : Ernest
Hemingway
Penerjemah : Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Diterjemahkan dari The Old man and The Sea terbitan
Collier, NY, 1986
Penerbit : Serambi
Tahun Terbit : 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar