Senin, 15 Mei 2017

(Menolak) Tua dan Larik-larik Itu

(MENOLAK) TUA DAN LARIK-LARIK ITU
Oleh: Tyo Prakoso
Ilustrasi: TEACHMIX | 2010
“SEHARUSNYA seseorang tak sendirian di usia tua mereka,” pikirnya. “Tapi ini tak terelakkan.” Itu diucapkan Santiago—Lelaki Tua, tokoh yang diciptakan Hemingway, ketika terlunta-lunta di tengah lautan dan diombang-ambingkan nasib, di dalam benaknya ketika delapan puluh tujuh hari tanpa memperoleh satu pun tangkapan, tetapi masih banyak pihak yang beranggapan ia seorang nelayan yang hebat. Santiago tahu itu memalukan, atau lebih tepatnya ia tahu diri bahwa itu memalukan. Tapi ia tak pernah bisa menyangkal anggapan orang terhadapnya. Juga anak lelaki yang bersikeras ikut berlayar dengannya. Dan menyaksikan betapa getunnya Lelaki Tua itu.
Lelaki Tua dan Laut menceritakan tentang kisah perjuangan Santiago, seorang nelayan tua asal Kuba, di tengah laut lepas demi menangkap seekor ikan. Usianya tak muda lagi, tapi Hemingway menggambarkan Lelaki Tua memiliki kemauan keras dan semangat untuk menjadi nelayan yang hebat. Meskipun tubuhnya tidak sekuat dulu, sewaktu muda—meski kita hanya bisa membayangkannya karena Hemingway tak menyentuh hal tersebut, namun dengan frasa nelayan hebat Hemingway mengail hal tersebut—semangat Santiago mampu memunculkan tenaga yang luar biasa meski berhari-hari diterpa kemalangan. Reputasinya sebagai nelayan mahir dilapah kemalangan itu. Di titik itulah, mungkin kau bisa memahami mengapa menjadi tua artinya nelangsa, dan menjadi pemoeda memang tidak gampang.
Beruntung bagi Santiago, sebab seorang anak yang baik hati sering membantunya dan merawatnya. Namanya Manolin. Manolin tinggal di dekat rumahnya, tetapi ia sangat menyayangi Santiago seperti ayah atau kakeknya sendiri. Mereka acap terlibat dalam perbincangan yang subtil—dan keduanya merepresentasi pantulan usia.
“Apakah menurutmu seharusnya kita membeli lotere dengan nomor delapan puluh lima?”
“Kita dapat melakukannya,” kata anak lelaki itu. “Tapi, bagaimana dengan delapan puluh tujuh hari tanpa ikan yang menjadi rekor hebatmu?” (hlm. 15-16)
Hemingway (kanan) bersama Henry Mike di tepi pantai Kuba | Koleksi; WIKIPEDIA
Setiap hari Manolin selalu datang ke gubuk Santiago, menyelimutinya saat tidur, memberinya makanan, dan membantunya menyiapkan perlengkapan melaut. Pada hari ke-85, Santiago berencana untuk kembali lagi melaut. Kali ini ia yakin akan mendapatkan ikan. Ia tidak mengizinkan Manolin menemaninya, tetapi Manolin boleh membantunya mempersiapkan umpan, alat pancing, dan kebutuhan kapalnya—juga memberikan semangat dan dukungan. Mereka sangat yakin jika di hari ke-85 itu Lelaki Tua akan berhasil mendapatkan ikan, bahkan ikan yang besar.
Pun akhirnya, seperti biasa, seorang diri mengarungi laut di tengah arus Teluk Meksiko yang sunyi dan gelap, Santiago berangkat dengan kapal kecilnya. Makan seadanya dan istirahat seadanya. Ia terus menunggu ikan besar memakan umpannya. Seekor ikan marlin yang sangat besar ternyata berhasil terkecoh dengan umpan Lelaki Tua. Sayangnya, ikan itu ternyata teramat besar dan Santiago tidak sanggup menarik ikan itu. Ikan marlin raksasa itu mulai menyeret kapal Santiago ke arah yang lebih jauh, tempat di mana hiu-hiu berada. Santiago harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk menaklukkan ikan tersebut. Entah sudah berapa hari berlalu, ia masih tarik ulur dengan ikan itu.
Akankah Santiago berhasil membawa ikan besar itu pulang? Hemingway tak lekas menjawab itu. Petualangan Santiago di laut membawanya ke pertarungan sengit bersama hiu-hiu, luka demi luka, dan perjuangan antara hidup dan mati. Perahunya remuk-redam, dan ia menepi ke sebuah pelabuhan kecil. Menyelusur jalan sambil memanggul tiang perahu yang patah dan masuk ke gubugnya. Ia rebah dan menarik selimutnya. Di saat Santiago tertidur, Marnolin dan orang-orang yang lain membincangkan hasil tangkapan Lelaki Tua berupa beberapa ikan besar dan itu sebuah capaian yang luar biasa—Santiago tidak pernah mendengar itu dan ia masih juga terlelap dan bermimpi bertemu kawanan singa.
*
THE OLD Man and The Sea (1952) ditulis Hemingway saat tinggal di Kuba ini banyak terinspirasi dari realita di sekelilingnya. Hobinya berlayar dan memancing ikan bersama jung-nya yang bernama Pilar cukup membantunya saat menuliskan suasana dermaga, laut dan kegiatan memancing Santiago. Karakter Santiago sendiri pun dipercaya oleh banyak kritikus sastra terinspirasi oleh sosok seorang nelayan Kuba bernama Gregorio Fuentes, yang kemudian bekerja sebagai pengurus kapal di Pilar.
Membaca Lelaki Tua dan Laut saya ingat Pangemanan-nya Pram dalam Rumah Kaca—intelektual Indo asal Manado yang menjadi pegawai kolonial dan mendapat tugas ‘merumah-kacakan’ Minke, Sang Pemula dalam upayanya membela ‘bangsa-terprentah’. Pram berhasil menjelajahi relung psikologis seorang intelektual ketika dihadapkan pada situasi yang bertentangan dengan intelektualitas dan nuraninya. Tapi kerja adalah kerja, tentu saja. Karena itu kau dibayar, begitu gulungan kisah yang membawa Pengemanann terjerembab dalam lumpur kolonialisme.
Cuih!” begitu Pangemanann kerap mendesis mengenai makin merosot dirinya ke dalam kedurjanaan kolonial, dan betapa ia tak rela menyaksikan sang guru dan panutannya tak berdaya dengan kerja-kerja kolonial yang dilakukannya—guru yang yang membuka jalan ‘bangsa-terprentah’ memahami kondisi sosial-historisnya bahwa mereka adalah kawanan yang dijarah dan dijajah. Rumah Kaca menjadi kelokan yang menakjubkan dalam membelah relung kolonialisme—dus, tantangan dan rintangan kaum pergerakan—setelah Bumi Manusia dan Jejak Langkah tampil sebagai alur utama cerita (nasion).
Di titik itu akhirnya saya syak-wasangka: Apakah semua intelektual mengalami benturan seperti Pangemanann? Saya tidak yakin. Edward Said dalam Peran Kaum Intelektual (1998) sudah mendedah itu. Terlampau banyak bajingan-bajingan ber-rupa intelektual. Barangkali satu dari sekian banyak itu adalah kita. Barangkali...
Meski, dalam Lelaki Tua dan Laut dan Rumah Kaca, kita tahu ada ketidak-sejajaran antara Santiago dan Pangemanan, memang. Tapi ‘Tua’ mempertemukan keduanya. Jika di titik ini saya tulis kata ‘Tua’ dan ‘Pemoeda’, tentu saya sedang tidak bicara soal deret-ukur-umur atau rambut yang sudah abu-abu. Melainkan, seperti yang dikatakan Pram; sebuah keberanian—“Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri”
Entah mengapa, karena bising mendengar kalimat Pram tersebut saya senang larik Chairil dalam musikalisasi Banda Neira; Hidup hanyalah menunda kekalahan... hingga akhirnya kita menyerah, (pada tentara). Sosok Santiago, Pangemanan, dan muka saya ketika bercermin berkelebatan bersama larik-larik itu. []

Jatikramat, Mei 2017

*Tyo Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya mengudara di kuartal ketiga tahun ini

Keterangan Buku
Judul : Lelaki Tua dan Laut
Penulis : Ernest Hemingway
Penerjemah : Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Diterjemahkan dari The Old man and The Sea terbitan Collier, NY, 1986
Penerbit : Serambi

Tahun Terbit : 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar