Rabu, 17 Mei 2017

Aku Membaca Buku, Maka Aku Melawan!

#AnginAksara
AKU MEMBACA BUKU, MAKA AKU MELAWAN!
Ilustrasi: dadankatel | 2017
“SELAMA toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” itu kau tulis di salah satu magnum opusmu beberapa tahun sebelum Republik ini berdiri.
Syahdan, di sebuah pondok kecil di dekat pabrik sepatu, di Timur Jakarta—kau menulis magnum opusmu. Dengan hawa yang cukup panas karena suhu udara dan situasi perang—selama 8 bulan, dari Juli 1942 sampai Maret 1943, saban 3 jam per hari akhirnya kau merampungnya. Selama itulah, saban pukul 4 pagi kau keluar pondok yang letaknya di gang kecil dan berjalan kaki lebih dari 15 KM menuju perpustakaan di pusat kota untuk membaca dan mengumpulkan bahan magnum opusmu—karena koleksi bukumu binasa dan kondisi memang tidak memungkinkan. Menjadi buronan di tanah air sendiri tentu sebuah hal yang kau tidak inginkan. Tapi kau enggan menggadainya dengan cita-cita.
Kami tahu itu tidak mudah. Terlebih bagi dirimu yang pernah diusir dari tanah Hindia karena kegiatan politik yang kau lakukan selama penjajahan Belanda. Kami membayangkan kau menyamar sedemikian rupa serupa rampok kemerdekaan agar tidak terendus polisi Dai Nippon untuk sampai di perpustakaan itu. Entah nama samaran apa lagi yang kau gunakan. Buku sejarah yang kami baca tidak mencatat itu.
Pada seremonial Hari Buku Nasional ini, 70 tahun lebih sejak kau menyusun dan akhirnya menyelesaikan magnum opusmu—kami kembali membaca riwayat hidup dan perjuangan dan pemikiranmu untuk negeri ini. Sebab, hari ini kami dihadapan situasi yang benar-benar musykil dan wagu dengan situasi yang kau hadapi. Kau keras kepala—bahwa dengan membaca, berdiskusi, menulis dan mempraksiskan itu adalah jalan Republik ini menuju kemerdekaannya. Oleh sebab itu, sebagaimana kami baca dalam buku sejarah, kau teguh hanya dengan buku Republik ini bisa merdeka. Maksudnya, tentu bukan bukulah yang memerdekakan Republik ini atas penjajahan dan ketertindasannya‚ melainkan dengan perlawanan dan perjuangan yang dibimbing oleh bacaan (buku dan keadaan)-lah Republik ini mencapai kemerdekaannya. Itulah perbedaan mendasarkan antara perjuangan pahlawan sebelum kau dan saat generasi kau. Olehnya kami paham bahwa Membaca adalah melawan!
Oleh sebab itu, bila kami membaca hasil survei tentang tingkat gemar membaca dan literasi negeri ini, misalnya yang dilakukan oleh Trends in International Math and Science (TIMS) yang menyebutkan hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori sulit yang memerlukan penalaran‚Äîatau survei yang dilakukan Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada tahun 2009 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 62 dari 65 negara peserta PISA—kami syak-wasangka.

Karena, kami yakin, kondisinya tidak separah itu. Ada Perahu Pustaka di Celebes, Kuda Pustaka di Purbalingga, Angkot Pustaka di Bandung, dan komunitas-komunitas lain yang menggelar lapak baca di sejumlah pelosok Nusantara. Hemat kami, fakta ini menegasikan survei di atas. Bahwa minat baca dan literasi negeri ini tidaklah mengenaskan sebagaimana dibayangkan. Itu sebuah gerakan kultural yang luar biasa.
Meski, kau tahu tuan, bagi kami hal tersebut tidak cukup jika ia sekadar menjadi gerakan kultural, yang dijalankan oleh para aktivis pecinta buku semampu mereka. Tentu kami menghormati idealisme dan upaya kawan-kawan yang sebesar gunung Krakatau untuk menjadikan buku dan membaca sebagai benda dan kegiatan lumrah jika kita temui, misalnya sedang menunggu bis kota atau mengisi waktu senggang mengantre—tetapi tanpa dukungan politik, gerakan kultural hanya akan serupa dengan upaya seorang diri untuk mendorong bis mogok.
Sebagai gerakan politik, kami menuntut agar pemerintah membuat kebijakan yang mampu mewujudkan masyarakat gemar membaca. Kami bayangkan tuntutannya kurang lebih seperti ini:
1.     Meminta pemerintah memperbaiki sistem pendidikan sehingga sekolah-sekolah akan menghasilkan lulusan yang mampu menggunakan akal dan gemar membaca buku.
2.     Ada perpustakaan di setiap desa, dengan koleksi buku-buku bagus yang bisa diakses seluruh rakyat.
3.     Menekan pemerintah agar menerjemahkan secara besar-besaran buku-buku penting dan karya-karya sastra terbaik dari berbagai negara di lima benua. Ini penting karena kegemaran membaca akan lebih mudah diwujudkan ketika kita bisa menemukan bacaan-bacaan bagus secara mudah.
Setidaknya tiga hal di atas, hemat kami menjadi pondasi yang bisa dilakukan pemerintah untuk membuat gerakan politik perihal literasi, dan Hari Buku Nasional tidak lekas menjadi seremonial.
Tidak keliru memang, bila merayakan seremonial itu dengan mengunggah foto buku di akun media sosial sebagai wujud ekspresi  ‘Ini bukuku, mana bukumu?’, namun sebagaimana kau, bahwa membaca buku seyogyakan membawa kita pada jalan setapak yang berujung pada peradaban bangsa. Karena buku adalah jantung—membaca, berdiskusi, dan menulis merupakan triumvirat pondasi republik ini. Tengoklah sejarah Anda akan mengetahui bahwa kami tidak sedang membual.
Di titik inilah, kami selalu ingat cerita kau bahwa dengan berat hati membuang koleksi bukumu ke laut saat mengelabui penyergapan intel ketika di atas kapal menuju pengasingan di Filipina—bahwa perjuangan harus tetap panjang umur, dan cerita inilah pangkal dari kalimat yang kami kutip di awal tulisan. Lantas kami membayangkan betapa nelangsanya kau saat itu—meski kau sadar sesadar-sadarnya. Hemat kami, peristiwa itu memiliki andil dalam kemerdekaan Republik ini beberapa tahun kemudian. Buku adalah jantung aktivitas politikmu melawan penjajahan dan penindasan.
Maka di Hari Buku Nasional ini, kami kembali mengingat riwayat hidup, perjuangan, dan pemikiranmu—adalah upaya untuk tetap setia dan meyakini bahwa buku adalah kunci. Seperti kata kau, Datuk Ibrahim Tan Malaka, masih dalam magnum opusmu itu yang berjudul MADILOG, “Bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama—usang—dan mendirikan masyarakat yang baru—kokoh—kuat.” dan kami meyakini bahwa buku adalah simpulnya. Olehnya, di Hari Buku Nasional ini, sambil Pembaca yang asik mengunggah foto buku di akun media sosial, harap berilah keterangan: “Aku membaca buku, maka aku melawan!”
Selamat Hari Buku Nasional! []

Rawamangun, 17 Mei 2017

—Redaksi Kedai Literasi @gerakanaksara—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar