#AnginAksara
AKU MEMBACA BUKU, MAKA AKU MELAWAN!
“SELAMA toko buku ada, selama
itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan
makanan dikurangi.” itu kau tulis di salah satu magnum opusmu beberapa tahun sebelum Republik ini berdiri.
Syahdan,
di sebuah pondok kecil di dekat pabrik sepatu, di Timur Jakarta—kau menulis magnum
opusmu. Dengan hawa yang cukup panas karena suhu udara dan situasi perang—selama
8 bulan, dari Juli 1942 sampai Maret 1943, saban 3 jam per hari akhirnya kau
merampungnya. Selama itulah, saban pukul 4 pagi kau keluar pondok yang letaknya
di gang kecil dan berjalan kaki lebih dari 15 KM menuju perpustakaan di pusat
kota untuk membaca dan mengumpulkan bahan magnum
opusmu—karena koleksi bukumu binasa dan kondisi memang tidak memungkinkan.
Menjadi buronan di tanah air sendiri tentu sebuah hal yang kau tidak inginkan.
Tapi kau enggan menggadainya dengan cita-cita.
Kami tahu
itu tidak mudah. Terlebih bagi dirimu yang pernah diusir dari tanah Hindia
karena kegiatan politik yang kau lakukan selama penjajahan Belanda. Kami
membayangkan kau menyamar sedemikian rupa serupa rampok kemerdekaan agar tidak
terendus polisi Dai Nippon untuk sampai di perpustakaan itu. Entah nama samaran
apa lagi yang kau gunakan. Buku sejarah yang kami baca tidak mencatat itu.
Pada
seremonial Hari Buku Nasional ini, 70 tahun lebih sejak kau menyusun dan
akhirnya menyelesaikan magnum opusmu—kami
kembali membaca riwayat hidup dan perjuangan dan pemikiranmu untuk negeri ini.
Sebab, hari ini kami dihadapan situasi yang benar-benar musykil dan wagu dengan
situasi yang kau hadapi. Kau keras kepala—bahwa dengan membaca, berdiskusi,
menulis dan mempraksiskan itu adalah jalan Republik ini menuju kemerdekaannya. Oleh sebab itu, sebagaimana kami baca dalam
buku sejarah, kau teguh hanya dengan buku Republik ini bisa merdeka. Maksudnya,
tentu bukan bukulah yang memerdekakan Republik ini atas penjajahan dan
ketertindasannya‚ melainkan dengan perlawanan dan perjuangan yang dibimbing
oleh bacaan (buku dan keadaan)-lah Republik ini mencapai kemerdekaannya. Itulah
perbedaan mendasarkan antara perjuangan pahlawan sebelum kau dan saat generasi
kau. Olehnya kami paham bahwa Membaca
adalah melawan!
Oleh sebab
itu, bila kami membaca hasil survei tentang tingkat gemar membaca dan literasi
negeri ini, misalnya yang dilakukan oleh Trends
in International Math and Science (TIMS) yang menyebutkan hanya 5 persen
siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori sulit yang memerlukan
penalaran—atau survei yang dilakukan Programme
for Internasional Student Assessment (PISA) pada tahun 2009 yang
menempatkan Indonesia pada peringkat 62 dari 65 negara peserta PISA—kami
syak-wasangka.
Karena,
kami yakin, kondisinya tidak separah itu. Ada Perahu Pustaka di Celebes, Kuda
Pustaka di Purbalingga, Angkot Pustaka di Bandung, dan komunitas-komunitas lain
yang menggelar lapak baca di sejumlah pelosok Nusantara. Hemat kami, fakta ini
menegasikan survei di atas. Bahwa minat baca dan literasi negeri ini tidaklah
mengenaskan sebagaimana dibayangkan. Itu sebuah gerakan kultural yang luar
biasa.
Meski, kau
tahu tuan, bagi kami hal tersebut tidak cukup jika ia sekadar menjadi gerakan
kultural, yang dijalankan oleh para aktivis pecinta buku semampu mereka. Tentu
kami menghormati idealisme dan upaya kawan-kawan yang sebesar gunung Krakatau
untuk menjadikan buku dan membaca sebagai benda dan kegiatan lumrah jika kita
temui, misalnya sedang menunggu bis kota atau mengisi waktu senggang mengantre—tetapi
tanpa dukungan politik, gerakan kultural hanya akan serupa dengan upaya seorang
diri untuk mendorong bis mogok.
Sebagai
gerakan politik, kami menuntut agar pemerintah membuat kebijakan yang mampu
mewujudkan masyarakat gemar membaca. Kami bayangkan tuntutannya kurang lebih
seperti ini:
1. Meminta pemerintah memperbaiki sistem
pendidikan sehingga sekolah-sekolah akan menghasilkan lulusan yang mampu
menggunakan akal dan gemar membaca buku.
2. Ada perpustakaan di setiap desa, dengan
koleksi buku-buku bagus yang bisa diakses seluruh rakyat.
3. Menekan pemerintah agar menerjemahkan
secara besar-besaran buku-buku penting dan karya-karya sastra terbaik dari
berbagai negara di lima benua. Ini penting karena kegemaran membaca akan lebih
mudah diwujudkan ketika kita bisa menemukan bacaan-bacaan bagus secara mudah.
Setidaknya
tiga hal di atas, hemat kami menjadi pondasi yang bisa dilakukan pemerintah
untuk membuat gerakan politik perihal literasi, dan Hari Buku Nasional tidak
lekas menjadi seremonial.
Tidak
keliru memang, bila merayakan seremonial itu dengan mengunggah foto buku di
akun media sosial sebagai wujud ekspresi
‘Ini bukuku, mana bukumu?’, namun sebagaimana kau, bahwa membaca buku
seyogyakan membawa kita pada jalan setapak yang berujung pada peradaban bangsa.
Karena buku adalah jantung—membaca, berdiskusi, dan menulis merupakan triumvirat
pondasi republik ini. Tengoklah sejarah Anda akan mengetahui bahwa kami tidak
sedang membual.
Di titik
inilah, kami selalu ingat cerita kau bahwa dengan berat hati membuang koleksi
bukumu ke laut saat mengelabui penyergapan intel ketika di atas kapal menuju
pengasingan di Filipina—bahwa perjuangan harus tetap panjang umur, dan cerita
inilah pangkal dari kalimat yang kami kutip di awal tulisan. Lantas kami
membayangkan betapa nelangsanya kau saat itu—meski kau sadar sesadar-sadarnya.
Hemat kami, peristiwa itu memiliki andil dalam kemerdekaan Republik ini
beberapa tahun kemudian. Buku adalah jantung aktivitas politikmu melawan
penjajahan dan penindasan.
Maka di
Hari Buku Nasional ini, kami kembali mengingat riwayat hidup, perjuangan, dan
pemikiranmu—adalah upaya untuk tetap setia dan meyakini bahwa buku adalah
kunci. Seperti kata kau, Datuk Ibrahim Tan Malaka, masih dalam magnum opusmu itu yang berjudul MADILOG,
“Bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama—usang—dan mendirikan
masyarakat yang baru—kokoh—kuat.” dan kami meyakini bahwa buku adalah
simpulnya. Olehnya, di Hari Buku Nasional ini, sambil Pembaca yang asik mengunggah
foto buku di akun media sosial, harap berilah keterangan: “Aku membaca buku,
maka aku melawan!”
Selamat
Hari Buku Nasional! []
Rawamangun,
17 Mei 2017
—Redaksi Kedai Literasi
@gerakanaksara—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar