MERAJUT PENDIDIKAN DISILUSI:
Menyemai Harapan Baru
dalam Demokrasi Kita
Oleh :
Hanan Radian Arasy
![]() |
Choose the right path | Koleksi: Yuval Eschel | 2012 |
SAYA pikir, bukan hal yang pertama ketika membicarakan
pendidikan baik dalam wacana kritis maupun dalam wacana konservatif,
Ketidakhadiran nurani sebagai upaya menyemai harapan dalam pendidikan yang
menjadi urgensi mengapa kita harus berfikir ulang melihat pendidikan kita hari
ini.
Pendidikan sebagaimana harusnya menjadi
generator dalam mencetak penerus bangsa, nampak luput untuk merekonstruksi
kenyataan apik pada kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat Indonesia.
Fase dilematis pendidikan di ambang penyesuaian antara penyelarasan hak-hak
sosial untuk mendapatkan bangku pendidikan maupun meneruskan catatan buruk dari
rezimentasi yang berkuasa selama 32 tahun
membuat pendidikan sebagai alat menggapai masa depan bangsa harus dikolongi
oleh multinasional korporasi.
Pendidikan dan Pencerahan?
Apakah benar bahwasanya pendidikan yang di dalamnya itu
berisi ilmu pengetahuan bak obor yang menerangi gelapnya ketidaktahuan manusia
sehingga mampu melihat lebih terang seisi dunia? Kalau begitu, mengapa
terangnya hanya dimiliki oleh kaum terpelajar? Sedangkan banyak kaum terpelajar
yang enggan menerangi dengan sungguh-sungguh seisi dunia yang penuh dengan
kegelapan ini—yaitu ketimpangan dan ketidakadilan seperti gelandangan, kaum
miskin pinggiran kota, ketimpangan akses desa dan kota, pengangguran, putus
sekolah, ketidaktersediaan lapangan pekerjaan maupun ketidakmendapatkan akses
di bidang pendidikan, minat membaca serta segudang masalah lainnya?
Kenyataanya, dengan dalih developmentalism mereka berulangkali menyetubuhi bapak-ibu kandung
dalam ruang gelap yang bernama kebohongan! Inikah pencerahan yang dijanjikan
bahwa “vampire” multinasional yang menguasai negeri loh-jinawi kita bakalan
kabur terbirit-birit? Sekalipun mungkin tidak, kita hanya disuguhi dengan
tontonan-tontonan banyolan badut-badut politik dengan segudang sandiwaranya… Apes!
Dimana nurani kita?
“Jika yang kita maksud dengan pencerahan dan kemajuan intelektual
adalah terbebasnya manusia dari
keperayaan takhayul terhadap kekuatan jahat, setan dan dongeng, serta takdir
buta-singkat kata, emansipasi dari rasa takut-maka menolak apa yang saat ini
disebut dengan nalar adalah layanan termulia yang dapat diberikan nalar.”[1]
Melihat pendapat salah satu pendiri
Mazhab Frankfrut, Max Horkheimer, bahwa rasionalitas umat manusia nampak menemui
jalan buntu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kegagalan para
penjunjung nalar—khususnya dalam ruang pendidikan—untuk memecahkan
kebuntuan-kebuntuan yang mulai merembah begitu banyak masalah-masalah yang
nampaknya urung dalam mewujudkan cita-cita emansipatoris untuk menyelamatkan
manusia dari segudang permasalahanya.
Kedekatan kekuasaan dengan pengetahuan
nampak gagal mewujudkan kedaulatan penuh yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Saya
bongkar sedikit saja dari data penelitian sensus oleh BPS pada tahun 2016
tercatat hanya pada kisaran 10-25% penduduk Indonesia yang mampu mengenyam
bangku perkuliahan di Perguruan Tinggi.[2]
Angka tersebut tentu hanyalah angka,
tidak ada kualifikasi secara jelas mutu dari lulusan Perguruan Tinggi mampu
memecahkan problem-problem mendasar dari kemanusiaan di Indonesia. Belum lagi, investasi
yang buruk terhitung bagi lulusan yang menjanjikan kemenangan bagi “vampire”
multinasional korporasi untuk menghisap darah rakyat berjejeran setelah pesta
wisuda.
Negara yang seharusnya menjamin
pendidikan sebagai hak warganegara sesuai dengan yang tertuang dalam UUD 1945
Pasal 31 ayat (1) dan (3) serta pasal 28 (C) ayat 1—sepertinya lalai dalam
menuntaskan tugasnya menyetarakan hak pendidikan dan kesejahteraan ekonomi bagi
rakyat Indonesia yang seharusnya jika serius dengan konstitusinya mampu diselenggarakan
secara gratis hingga Perguruan Tinggi.
Problem Harapan ialah Problem
Struktural
Bai saya, harapan yang akut melihat pendidikan kita ialah
bagaimana tanpa ada dikotomis antara kelas bawah, menengah, dan atas yang
mendapat perlakuan berbeda-beda dalam hal ihwal akses, mutu
dan kualitas pendidikan serta infrastruktur di dalamnya. Harapan akut tersebut
tentu berbenturan dengan realitas sosial yakni struktur sosial sebagai sebuah
aturan dan tradisi yang mengikat dan memaksa.
Secara institusional harusnya mampu
menunaikan harapan yang nyata bagi seluruh rakyat dan warga negara Indonesia
sebagai wujud kedaulatan rakyat mengingat ketinggalan dan posisi emergensi kita.
Wacana tersebut haruslah bermuara pada suatu suhu imanensi serta implikasinya yang dapat terlihat, terjamah dan
terasa bagi saya dan tentu warganegara lainnya sebagai warga negara yang
membayar pajak, apapun itu ketika hidup di tanah air kita.
Oleh karena itu, kekurangan harapan
yang mungkin tidak bisa disampaikan oleh rakyat yang tertindas karena sibuk
mengais rezeki untuk makan hari ini dan esok haruslah dijawab oleh pemerintah
yang seharusnya menjadi singa yang
jujur dengan jawaban struktural yakni kebijakan publik yang adil dan merata. Itulah
inti dari harapan kita di republik tercinta. Progresifitas teoretik bagi para
ilmuwan, teknokrat serta akademisi tentu sudah mendapatkan rambu dan lonceng
kuning, untuk menyandingkan pekerjaannya dengan praksis kehidupan rakyat
Indonesia.
Di situlah keutuhan harapan hanya dapat
tumbuh dan merekah. Pertanyaan selanjutnya bagi sidang para pembaca yakni : Bagaimana ketika kita menemui jalan buntu
dan berhadapan dengan para konservatifisme? Maka jawaban saya ialah mari
kita berkelahi dengannya dan angkat topi diakhir cerita untuk kemenangan yang
Agung dari harapan rakyat! []
Jakarta, April 2017.
*Hanan Radian Arasy—Mahasiswa Aktif Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta dan Bergiat di Komunitas Diskusi Kamis Sore (DKS).
Catatan Akhir:
[1] Pendapat tersebut merupakan
orasi Max Horkheimer ialah Pendiri Institusi Sosial Frankfurt dikutip dari Jay,
Martin”The Dialectical Imagination A
History of the Frankfurt School and The Institute of Social Research 1923-1950 ”(University
of California Press,1973)hlm.363.
[2] Diakses pada situs laman Badan
Pusat Statistik Nasional: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1525 pada 28 April 2017 pukul 12.58 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar