KARENA PENDIDIKAN ADALAH KUNCI!
Oleh:
Tyo Prakoso
![]() |
Koleksi: GOOGLE DOODLES | 2015 |
“Seorang guru adalah kurban—kurban untuk
selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang
tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa.”
PAT—Bukan Pasar Malam.
SYAHDAN, setelah sekian lama,
seorang pemuda yang remuk-redam-bangkit oleh revolusi pulang ke kampung
halamannya dengan membawa ingatan dan kenangan tentang Bapaknya yang setia di
jalan kemerdekaan untuk Republik. Bapaknya teramat percaya bahwa kemerdekaan
adalah jalan keluar bangsa ‘terprentah’—meminjam istilah Tirto Adhi
Soerjo—berdiri di atas kakinya sendiri. Bapaknya juga teramat keras-kepala
bahwa pendidikan adalah jembatan menuju kemerdekaan. Olehnya ia teramat yakin
bahwa mendirikan sekolah adalah sebuah kegiatan politik yang mesti-kudu
dilakukan oleh kalangan terpelajar yang tercerahkan. Bila di atas, setidaknya, tertulis kata
‘teramat’ sebanyak tiga kali, itu karena saya tidak berlebihan bahwa Bapaknya
memang percaya bahwa pendidikan, bagaimana kenang pemuda itu, kau tahu mengapa bangsa Eropa
memerintahmu, dan kau musti sadar untuk melawannya. Itulah esensi pendidikan
dan kemerdekaan.
Anda tahu, pemuda itu adalah Pramoedya Ananta Toer, dan Mastoer adalah
nama Bapaknya—seorang tokoh pergerakan nasionalis dan pendiri sekolah sebuah
kota kecil di Jawa Tengah, Blora. Anda bisa membaca kisah di atas, di
antaranya, dalam buku Bukan Pasar Malam. Namun
kali ini saya tidak akan mendedah lebih jauh buku itu. Namun melalui buku itu
dan kisahnya—tentang pemuda yang pulang ke kampung halamannya karena Bapaknya
sedang sekarat dan olehnya ingatan dan kenangan tentang Bapaknya
berkelebatan—saya ingin persoalkan tentang pendidikan, atau lebih tepatnya
guru, dan kutipan di muka menjadi pintu masuk yang apik bahwa “guru adalah
kurban” dan “kewajibannya terlampau berat”—semoga menjadi genta di Hari
Pendidikan Nasional ini.
Tujuh Setan Pendidikan
Jika pendidikan yang kita peroleh
tidak bisa membuat kita peka terhadap penindasan, dan gagal membikin kita
berani untuk melawan penindasan, olehnya kita tak pernah bisa adil sejak dalam
pikiran, maka ada yang salah dengan apa yang kita sebut dengan pendidikan,
tentu saja. Dari sekian banyak variabel penyebabnya, persoalan guru dan proses
menciptakan guru adalah simpulnya. Namun, sebelum masuk ke bagian tersebut,
izinkan saya menyebutkan Tujuh Setan Pendidikan yang menjadi kerikil dalam
upaya menciptakan manusia merdeka melalui mendidikan.
Pertama, Pengusaha/pemodal yang
menjadikan pendidikan sebagai lahan komersialisasi—termasuk upaya pembuatan
bimbingan belajar yang jamak terjadi—sehingga untuk menjadi pintar dan unggul
dalam pendidikan mestilah mengeluarkan uang yang banyak. Kedua Birokrat kekuasaan (eksekutif dan legislatif) yang
berselingkuh dengan Setan 1, olehnya membuat peraturan perundang-undangan yang
mendukung kegiatan komersil Setan 1—misalnya UU PTN BH dan peraturan
turunannya, yang muaranya adalah persoalan UKT. Ketiga, Birokrat Perguruan Tinggi (rektorat tingkat universitas
hingga jurusan) yang menjalankan peraturan tersebut tanpa mengajukan kritik dan
menganggapnya sebagai kebenaran-absolut sehingga
mengorbankan (calon) mahasiswa yang tak mampu membayar uang tersebut, misalnya.
Memang agak berlebihan bila kita membayangkan seorang Rektor menolak peraturan
menteri tentang ketentuan uang kuliah yang mencekek mahasiswa. Tapi, sejarah
membuktikan, itu bukanlah mustahil, Keempat,
Dosen-dosen bebal yang gagal menciptakan mahasiswa yang merdeka dan menjalankan
amanat penderitaan Rakjat—sebagaimana tanggung jawab intelektualitas dan
moralitas. Cukup membuka catatan sejarah tidak lebih dari 50 tahun yang lalu,
maka Anda akan menemukan nama Ali Syariati, seorang dosen yang memimpin
mahasiswa-mahasiswa menjungkalkan pemerintah yang lalim. Kelima, Mahasiswa-mahasiswa naïf yang dengan pengetahuannya malah
menjadi penindas baru bagi Rakjat—saya tidak ingin membahasnya lebih lanjut,
jangan-jangan kita bagian dari Setan 5 ini. Keenam,
Guru-guru berkarakter militeristik dan berpandangan Orbaisme yang menganggap
murid adalah kerbau yang dicucuk hidungnya. Sehingga melanggengkan proses
dekaden yang gagal menciptakan manusi-manusia merdeka. Ketujuh, Tentara—sebab, kondisi yang tersebutkan di atas yang
diinginkannya. Tanpa revolusi pendidikan, semua akan tentara pada waktunya...
Yang perlu dicatat dari Tujuh Setan Pendidikan di atas ialah saling
keterkaitan antar satu setan dengan setan lainnya. Karena persoalan yang
silang-sengkarut itulah membuat pendidikan tak pernah benar-benar berhasil
menciptakan manusia yang merdeka. Namun harus diketahui bahwa persoalan kanal
pendidikan tersebut menjadi hal yang strategis. Misalnya, persoalan buruh yang
menolak upah murah dan penghapuskan sistem out-sourching—karena
anaknya terancam tidak bisa sekolah dengan harga yang mahal—berkaitan dengan
Tujuh Setan Pendidikan di atas. Begitu juga dengan persoalan petani, dan Rakjat
Indonesia yang tertindas lainnya. Di titik ini, revolusi pendidikan menjadi simpul strategis perjuangan Rakjat Indonesia tertindas.
Pendidikan dan Kemerdekaan
Namun demikian, saya mencoba membatasi. Saya berusaha mendedah persoalan pendidikan yang menitik beratkan pada peran dan fungsi guru—dus, LPTK sebagai lembaga yang menciptakan guru. Kita tentu sepakat, bahwa muara
pendidikan adalah memerdekan manusia dalam ketertindasannya. Dalam situasi yang
demikian, tanpa menafikan unsur-unsur lainnya, guru adalah simpulnya. Dengan begini, saya meyakini
peran guru begitu penting. Walau saya tak selalu mendefinisikan guru melulu
mereka yang berdiri di depan ruang kelas, yang tengah sibuk dengan kapur
ataupun papan tulis. Bagi saya, guru adalah siapa saja yang mengajarkan
kehidupan. Mungkin juga seekor kuda.
Nah, mungkin
salah satu cara untuk mengurai silang-sengkarut persoalan pendidikan, dalam
rangka Hari Pendidikan Nasional, memperbaiki kualitas dan kuantitas seorang
guru adalah pintu awal yang sangat mungkin untuk dicoba. Sebab, bila di atas
kita sepakat, bahwa guru adalah instrumen penting dalam pendidikan. Guru tidak
bisa diganti dengan robot paling canggih sekalipun.
Dengan catatan,
sebagaimana yang sudah saya katakan di atas, pemahaman kita tentang guru
haruslah direvisi, bila kita tak sudi mengubahnya. Guru bukanlah jabatan
ataupun sebuah karier sepanjang hidup—bila yang bersangkutan tidak mau
berkarier sebagai pembelajar yang
terus-menerus sepanjang hidup, maka janganlah kita berharap dan bermimpi menjadi guru. Meskipun gaji
guru (PNS) sekarang jauh lebih tinggi daripada gaji buruh. Zaman “guru adalah Oemar Bakrie” sudah lama berlalu, memang.
Revitalisasi LPTK-Revolusi Pendidikan
Guru haruslah mengikuti
perkembangan zaman. Saya percaya perubahan pendidikan Indonesia mestilah
bermula dari perubahan kita memgenai hakikat, fungsi dan peran guru dalam
proses belajar-mengajar di sekolah. Dengan begitu, sekolah pun mesti dituntut
untuk terus melakukan empowerment bagi guru-gurunya.
Konkretnya
ialah: revitalisasi Lembaga Penghasil Tenaga
Kependidikan (LPTK) adalah jalan keluar paling mendesak hari ini, sebagai
langkah awal untuk revolusi pendidikan. Karenanya
jangan bayangkan pendidikan mampu memerdekaan manusia dan menghasilkan manusia
yang peka terhadap penindasan dan mau menggulung lengan bajunya untuk bersama
Rakjat melawannya, sebagaimana narasi awal tulisan ini tentang Pemuda dan
Bapaknya di atas, bila LPTK masih
serupa pabrik yang hanya menghasilkan tenaga kerja pendidikan untuk memenuhi
kuota kebutuhan pendidikan di pasar pendidikan—sebab LPTK adalah pangkal dari
proses pendidikan itu sendiri.
LPTK harus
menjadi lembaga kebudayaan yang dinamis, terus bergerak dan sangat
mengedepankan realitas yang dihadapi. Dengan tidak menghilangkan daya kritis
dan daya gugatnya. Sebab, bagi saya, daya-kritis dan daya-gugat adalah esensi
terpenting dari sebuah proses pendidikan. Misalnya begini, bila yang diajarkan
ialah tentang filsafat pendidikan pembebasan, maka bacalah Ki Hajar Dewantara
dan kemudian ajaklah calon pendidik itu untuk hadir di dalam
perkampungan-perkampungan buruh yang tak bisa menyekolahkan anaknya. Maka
dengan begitu, kita akan dapati guru-guru yang disebut Pramoedya di kutipan di
atas, “membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa.”
Pendidikan itu Ngelmu…
Di titik ini kita perlu ingat Ki
Hajar Dewantara, bahwa pendidikan ialah ngerti,
ngrasa, dan nglakoni. Tiga hal
itu disimpulkan dengan frasa ngelmu.
Maksudnya ialah guru dan para calon guru akan mengerti bahwa konsep ilmu zaman
sekarang mengalami sebuah perubahan yang radikal. Ilmu bukan lagi hanya sekedar
yang dipelajari, tapi juga dilibatkan. Artinya, ilmu tak lagi bisa
disampaikan hanya dengan “diajar” atau “pengajaran”, tapi juga dengan “dialami”
atau “pengalaman”. Mengetahui sesuatu berarti masuk dan berpartisipasi ke dalam
sesuatu itu, lalu mengorientasikan diri di dalamnya, mengakrabkan diri
dengannya, baru kemudian menyatakan apa yang diketahui. Dengan demikian, sekali
lagi, menurut saya, pengertian guru dan sekolah yang selamanya kita pahami tak
lagi relevan, percayalah.
Hal ini memaksa
kita, misalnya, mengakui bahwa seorang sastrawan dengan karya-karyanya adalah
seorang guru bagi pembacanya juga; atau seorang penyair adalah guru bagi
pembacanya yang tekun melacak makna-makna dalam setiap puisi-puisinya; atau
seorang pemain teater adalah guru bagi penonton setiap lakon-lakonnya, dan
lainnya.
Jika begitu,
lagi-lagi kita menjadi sangsi, bahwa model dan bentuk sekolah—sebagai lembaga formal dimana proses pendidikan diakui—masa
depannya tak lagi sebatas hubungan guru-murid yang dipertemukan saban pagi
sampai siang hari dan dipertemukan oleh ruang kelas, lengkap dengan
pernak-perniknya. Tapi saya membayangkan, hubungan “guru-murid” itu begitu
mesra, intim dan didaktis. Layaknya seseorang yang tengah membaca sebuah novel
ataupun puisi dengan khidmat dan takjub, dan direfleksikan dengan realitas yang
melingkupinya, dan olehnya proses kemerdekaan atas ketertindasannya berlangsung.
Atau dengan kata lain, saya berharap sudah saatnya kita tidak lagi memandang
sekolah sebagai lembaga pendidikan satu-satunya dalam upaya memproduksi,
menanam, dan menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman. Tapi
banyak “lembaga-lembaga” lain yang bisa dan mampu melakukan peran dan fungsi
tersebut.
Jikapun sekolah
mesti tetap ada dan LPTK masih juga tetap serupa pabrik penghasil tenaga kerja
pendidikan, maka saya berdoa agar sekolah tidak selalu menjadi sebuah lembaga
yang membelenggu dengan aturan-aturan birokrasi, yang memaksa sebuah rutinitas
yang menjenuhkan. Tapi, sebagaimana Ki Hajar Dewantara, sekolah menjadi sebuah
perjalanan yang begitu mengasikkan. Guru dan murid layaknya seorang flaneur yang tengah berkelana ke berbagai belahan dunia. Menikmati
beragam hal yang menakjubkan, mengerikan hingga hal yang biasa-biasa saja. Bagaimana
prose’s memerdekakan diri menjadi simpul dari apa yang kita sebut sebagai
pendidikan.
Akhirnya saya
harus katakan, bahwa Hari Pendidikan Nasional patut dirayakan bila proses
pendidikan—sebagai guru maupun murid—telah dan akan memerdekakanmu sebagai
manusia. Bila menyanyikan Indonesia Raya sambil
mengepalkan tangan dan meninju langit di upacara Hari Pendidikan Nasional saja
kau masih gentar, jangan pernah percaya bahwa dirimu telah merdeka dengan
proses pendidikan yang sedang dan akan kau alami.
Go to the hell your fear! kata Soekarno. Karena pendidikan
adalah kunci. Selamat Hari Pendidikan! []
Jatikramat, 2 Mei 2017
*Tyo Prakoso—pembaca dan
perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum
dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di
kuartal ketiga tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar