Selasa, 02 Mei 2017

Karena Pendidikan Adalah Kunci!

KARENA PENDIDIKAN ADALAH KUNCI!
Oleh: Tyo Prakoso 
Koleksi: GOOGLE DOODLES | 2015
“Seorang guru adalah kurban—kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa.” 
PAT—Bukan Pasar Malam.

SYAHDAN, setelah sekian lama, seorang pemuda yang remuk-redam-bangkit oleh revolusi pulang ke kampung halamannya dengan membawa ingatan dan kenangan tentang Bapaknya yang setia di jalan kemerdekaan untuk Republik. Bapaknya teramat percaya bahwa kemerdekaan adalah jalan keluar bangsa ‘terprentah’—meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo—berdiri di atas kakinya sendiri. Bapaknya juga teramat keras-kepala bahwa pendidikan adalah jembatan menuju kemerdekaan. Olehnya ia teramat yakin bahwa mendirikan sekolah adalah sebuah kegiatan politik yang mesti-kudu dilakukan oleh kalangan terpelajar yang tercerahkan. Bila di atas, setidaknya, tertulis kata ‘teramat’ sebanyak tiga kali, itu karena saya tidak berlebihan bahwa Bapaknya memang percaya bahwa pendidikan, bagaimana kenang pemuda itu, kau tahu mengapa bangsa Eropa memerintahmu, dan kau musti sadar untuk melawannya. Itulah esensi pendidikan dan kemerdekaan.
Anda tahu, pemuda itu adalah Pramoedya Ananta Toer, dan Mastoer adalah nama Bapaknya—seorang tokoh pergerakan nasionalis dan pendiri sekolah sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Blora. Anda bisa membaca kisah di atas, di antaranya, dalam buku Bukan Pasar Malam. Namun kali ini saya tidak akan mendedah lebih jauh buku itu. Namun melalui buku itu dan kisahnya—tentang pemuda yang pulang ke kampung halamannya karena Bapaknya sedang sekarat dan olehnya ingatan dan kenangan tentang Bapaknya berkelebatan—saya ingin persoalkan tentang pendidikan, atau lebih tepatnya guru, dan kutipan di muka menjadi pintu masuk yang apik bahwa “guru adalah kurban” dan “kewajibannya terlampau berat”—semoga menjadi genta di Hari Pendidikan Nasional ini.

Tujuh Setan Pendidikan
Jika pendidikan yang kita peroleh tidak bisa membuat kita peka terhadap penindasan, dan gagal membikin kita berani untuk melawan penindasan, olehnya kita tak pernah bisa adil sejak dalam pikiran, maka ada yang salah dengan apa yang kita sebut dengan pendidikan, tentu saja. Dari sekian banyak variabel penyebabnya, persoalan guru dan proses menciptakan guru adalah simpulnya. Namun, sebelum masuk ke bagian tersebut, izinkan saya menyebutkan Tujuh Setan Pendidikan yang menjadi kerikil dalam upaya menciptakan manusia merdeka melalui mendidikan.
Pertama, Pengusaha/pemodal yang menjadikan pendidikan sebagai lahan komersialisasi—termasuk upaya pembuatan bimbingan belajar yang jamak terjadi—sehingga untuk menjadi pintar dan unggul dalam pendidikan mestilah mengeluarkan uang yang banyak. Kedua Birokrat kekuasaan (eksekutif dan legislatif) yang berselingkuh dengan Setan 1, olehnya membuat peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan komersil Setan 1—misalnya UU PTN BH dan peraturan turunannya, yang muaranya adalah persoalan UKT. Ketiga, Birokrat Perguruan Tinggi (rektorat tingkat universitas hingga jurusan) yang menjalankan peraturan tersebut tanpa mengajukan kritik dan menganggapnya sebagai kebenaran-absolut sehingga mengorbankan (calon) mahasiswa yang tak mampu membayar uang tersebut, misalnya. Memang agak berlebihan bila kita membayangkan seorang Rektor menolak peraturan menteri tentang ketentuan uang kuliah yang mencekek mahasiswa. Tapi, sejarah membuktikan, itu bukanlah mustahil, Keempat, Dosen-dosen bebal yang gagal menciptakan mahasiswa yang merdeka dan menjalankan amanat penderitaan Rakjat—sebagaimana tanggung jawab intelektualitas dan moralitas. Cukup membuka catatan sejarah tidak lebih dari 50 tahun yang lalu, maka Anda akan menemukan nama Ali Syariati, seorang dosen yang memimpin mahasiswa-mahasiswa menjungkalkan pemerintah yang lalim. Kelima, Mahasiswa-mahasiswa naïf yang dengan pengetahuannya malah menjadi penindas baru bagi Rakjat—saya tidak ingin membahasnya lebih lanjut, jangan-jangan kita bagian dari Setan 5 ini. Keenam, Guru-guru berkarakter militeristik dan berpandangan Orbaisme yang menganggap murid adalah kerbau yang dicucuk hidungnya. Sehingga melanggengkan proses dekaden yang gagal menciptakan manusi-manusia merdeka. Ketujuh, Tentara—sebab, kondisi yang tersebutkan di atas yang diinginkannya. Tanpa revolusi pendidikan, semua akan tentara pada waktunya...
Yang perlu dicatat dari Tujuh Setan Pendidikan di atas ialah saling keterkaitan antar satu setan dengan setan lainnya. Karena persoalan yang silang-sengkarut itulah membuat pendidikan tak pernah benar-benar berhasil menciptakan manusia yang merdeka. Namun harus diketahui bahwa persoalan kanal pendidikan tersebut menjadi hal yang strategis. Misalnya, persoalan buruh yang menolak upah murah dan penghapuskan sistem out-sourching—karena anaknya terancam tidak bisa sekolah dengan harga yang mahal—berkaitan dengan Tujuh Setan Pendidikan di atas. Begitu juga dengan persoalan petani, dan Rakjat Indonesia yang tertindas lainnya. Di titik ini, revolusi pendidikan menjadi simpul strategis perjuangan Rakjat Indonesia tertindas. 

Pendidikan dan Kemerdekaan
Namun demikian, saya mencoba membatasi. Saya berusaha mendedah persoalan pendidikan yang menitik beratkan pada peran dan fungsi guru—dus, LPTK sebagai lembaga yang menciptakan guru. Kita tentu sepakat, bahwa muara pendidikan adalah memerdekan manusia dalam ketertindasannya. Dalam situasi yang demikian, tanpa menafikan unsur-unsur lainnya, guru adalah simpulnya. Dengan begini, saya meyakini peran guru begitu penting. Walau saya tak selalu mendefinisikan guru melulu mereka yang berdiri di depan ruang kelas, yang tengah sibuk dengan kapur ataupun papan tulis. Bagi saya, guru adalah siapa saja yang mengajarkan kehidupan. Mungkin juga seekor kuda.
Nah, mungkin salah satu cara untuk mengurai silang-sengkarut persoalan pendidikan, dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, memperbaiki kualitas dan kuantitas seorang guru adalah pintu awal yang sangat mungkin untuk dicoba. Sebab, bila di atas kita sepakat, bahwa guru adalah instrumen penting dalam pendidikan. Guru tidak bisa diganti dengan robot paling canggih sekalipun.
Dengan catatan, sebagaimana yang sudah saya katakan di atas, pemahaman kita tentang guru haruslah direvisi, bila kita tak sudi mengubahnya. Guru bukanlah jabatan ataupun sebuah karier sepanjang hidup—bila yang bersangkutan tidak mau berkarier sebagai pembelajar yang terus-menerus sepanjang hidup, maka janganlah kita berharap dan bermimpi menjadi guru. Meskipun gaji guru (PNS) sekarang jauh lebih tinggi daripada gaji buruh. Zaman “guru adalah Oemar Bakrie” sudah lama berlalu, memang.
 
Buku Bukan Pasar Malam | Koleksi: TP | 2017
Revitalisasi LPTK-Revolusi Pendidikan
Guru haruslah mengikuti perkembangan zaman. Saya percaya perubahan pendidikan Indonesia mestilah bermula dari perubahan kita memgenai hakikat, fungsi dan peran guru dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Dengan begitu, sekolah pun mesti dituntut untuk terus melakukan empowerment bagi guru-gurunya.
Konkretnya ialah: revitalisasi Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah jalan keluar paling mendesak hari ini, sebagai langkah awal untuk revolusi pendidikan. Karenanya jangan bayangkan pendidikan mampu memerdekaan manusia dan menghasilkan manusia yang peka terhadap penindasan dan mau menggulung lengan bajunya untuk bersama Rakjat melawannya, sebagaimana narasi awal tulisan ini tentang Pemuda dan Bapaknya di atas, bila LPTK masih serupa pabrik yang hanya menghasilkan tenaga kerja pendidikan untuk memenuhi kuota kebutuhan pendidikan di pasar pendidikan—sebab LPTK adalah pangkal dari proses pendidikan itu sendiri. 
LPTK harus menjadi lembaga kebudayaan yang dinamis, terus bergerak dan sangat mengedepankan realitas yang dihadapi. Dengan tidak menghilangkan daya kritis dan daya gugatnya. Sebab, bagi saya, daya-kritis dan daya-gugat adalah esensi terpenting dari sebuah proses pendidikan. Misalnya begini, bila yang diajarkan ialah tentang filsafat pendidikan pembebasan, maka bacalah Ki Hajar Dewantara dan kemudian ajaklah calon pendidik itu untuk hadir di dalam perkampungan-perkampungan buruh yang tak bisa menyekolahkan anaknya. Maka dengan begitu, kita akan dapati guru-guru yang disebut Pramoedya di kutipan di atas, “membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa.”

Pendidikan itu Ngelmu…
Di titik ini kita perlu ingat Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan ialah ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Tiga hal itu disimpulkan dengan frasa ngelmu. Maksudnya ialah guru dan para calon guru akan mengerti bahwa konsep ilmu zaman sekarang mengalami sebuah perubahan yang radikal. Ilmu bukan lagi hanya sekedar yang dipelajari, tapi juga dilibatkan. Artinya, ilmu tak lagi bisa disampaikan hanya dengan “diajar” atau “pengajaran”, tapi juga dengan “dialami” atau “pengalaman”. Mengetahui sesuatu berarti masuk dan berpartisipasi ke dalam sesuatu itu, lalu mengorientasikan diri di dalamnya, mengakrabkan diri dengannya, baru kemudian menyatakan apa yang diketahui. Dengan demikian, sekali lagi, menurut saya, pengertian guru dan sekolah yang selamanya kita pahami tak lagi relevan, percayalah.
Hal ini memaksa kita, misalnya, mengakui bahwa seorang sastrawan dengan karya-karyanya adalah seorang guru bagi pembacanya juga; atau seorang penyair adalah guru bagi pembacanya yang tekun melacak makna-makna dalam setiap puisi-puisinya; atau seorang pemain teater adalah guru bagi penonton setiap lakon-lakonnya, dan lainnya.
Jika begitu, lagi-lagi kita menjadi sangsi, bahwa model dan bentuk sekolah—sebagai lembaga formal dimana proses pendidikan diakui—masa depannya tak lagi sebatas hubungan guru-murid yang dipertemukan saban pagi sampai siang hari dan dipertemukan oleh ruang kelas, lengkap dengan pernak-perniknya. Tapi saya membayangkan, hubungan “guru-murid” itu begitu mesra, intim dan didaktis. Layaknya seseorang yang tengah membaca sebuah novel ataupun puisi dengan khidmat dan takjub, dan direfleksikan dengan realitas yang melingkupinya, dan olehnya proses kemerdekaan atas ketertindasannya berlangsung. Atau dengan kata lain, saya berharap sudah saatnya kita tidak lagi memandang sekolah sebagai lembaga pendidikan satu-satunya dalam upaya memproduksi, menanam, dan menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman. Tapi banyak “lembaga-lembaga” lain yang bisa dan mampu melakukan peran dan fungsi tersebut.
Jikapun sekolah mesti tetap ada dan LPTK masih juga tetap serupa pabrik penghasil tenaga kerja pendidikan, maka saya berdoa agar sekolah tidak selalu menjadi sebuah lembaga yang membelenggu dengan aturan-aturan birokrasi, yang memaksa sebuah rutinitas yang menjenuhkan. Tapi, sebagaimana Ki Hajar Dewantara, sekolah menjadi sebuah perjalanan yang begitu mengasikkan. Guru dan murid layaknya seorang flaneur yang tengah berkelana ke berbagai belahan dunia. Menikmati beragam hal yang menakjubkan, mengerikan hingga hal yang biasa-biasa saja. Bagaimana prose’s memerdekakan diri menjadi simpul dari apa yang kita sebut sebagai pendidikan.
Akhirnya saya harus katakan, bahwa Hari Pendidikan Nasional patut dirayakan bila proses pendidikan—sebagai guru maupun murid—telah dan akan memerdekakanmu sebagai manusia. Bila menyanyikan Indonesia Raya sambil mengepalkan tangan dan meninju langit di upacara Hari Pendidikan Nasional saja kau masih gentar, jangan pernah percaya bahwa dirimu telah merdeka dengan proses pendidikan yang sedang dan akan kau alami.
Go to the hell your fear! kata Soekarno. Karena pendidikan adalah kunci. Selamat Hari Pendidikan! []

Jatikramat, 2 Mei 2017 


*Tyo Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di kuartal ketiga tahun ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar