Jumat, 28 April 2017

Sosiologi (dan) Sastra: Sebuah Telaah Kemanasukaan Atas Realitas dan 'Realitas'

SOSIOLOGI (DAN) SASTRA:
SEBUAH TELAAH KEMANASUKAAN ATAS REALITAS DAN ‘REALITAS’
Oleh: Tyo Prakoso
Koleksi: Darthmoth Edu | 2015
/1/
JIKA SAMPEYAN beranggapan bahwa sastra lebih baik ketimbang wahana tong setan di pasar malam dan benda bernama deodoran—dus karenanya Sampeyan memandang sastrawan lebih mulia ketimbang pengendara tong setan atau buruh pabrik, maka sebaiknya Sampeyan sudahi saja membaca tulisan ini, jika Sampeyan tidak ingin terserang ayan tiba-tiba, dan siuman menjadi anggota dewan, dan kembali semavut dan tak pernah kembali bangun lagi.
Lekaslah sobek dan uwel-uwel kertas ini, dan masukkan ke dalam mulutmu. Lalu kunyahlah sebanyak tiga puluh tujuh kali dengan gigi geraham dan taringmu secara bergantian di mana saban satu kali kunyahan diharuskan merapal nama-nama orang yang pernah menyakitimu. Kemudian telanlah dengan dorongan air liurmu. Lalu tunggu beberapa saat: (1) maka saya akan menempelengmu—sebagai wujud solidaritas terhadap pengendara tong setan atau buruh pabrik yang Sampeyan lecehkan pekerjaannya. (2) Saya juga akan menginjak-injak buah zakarmu—sebagai wujud solidaritas, bahwa Sampeyan tahu, menjadi pengendara tong setan itu tidak gampang, meski tidak ada aturan yang mengharuskan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) untuknya dan musti bersaing dengan aneka wahana-hiburan yang lebih modern, olehnya tidak berpenghasilan memadai untuk sekedar hidup selama tiga puluh hari dalam sebulan dan membiayai satu pasangan hidup dan dua buah hati—dan supaya Sampeyan juga paham, memangnya siapa sih yang mau jadi buruh pabrik dengan 10 jam kerja dan menghasilkan berkardus-kardus deodoran dalam satu hari kerja tapi hanya dibayar sepersekian dari apa yang sudah dihasilkan, dan selalu dijadikan kambing-hitam bila macet karena berdemo menuntut hak sebagai buruh pabrik untuk menolak perbudakan modern (outsourching) dan upah murah. Kalau bukan bangsat, apa namanya?
Sampai di sini, apa Sampeyan tetap beranggapan sastra dan sastrawan lebih baik dan mulia?

/2/
BILA SEBUAH karya sastra cerita pendek, misalnya ditulis karena seseorang punya sesuatu yang hendak disampaikan kepada orang lain dan berkaitan dengan realitas yang melingkupinya semisal, galau dan menangis bombai karena mantan kekasihnya ingin menikah dan apa yang hendak dikatakannya itu dikirim ke redaktur untuk diseleksi, disunting dan kemudian ditayangkan misalnya ke Kedai Literasi @gerakanaksara, tentu saja dengan harapan dibaca khalayak ramai, maka ada sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab: kenapa musti menulis sastra? Kenapa ia tak menulis reportase jurnalisme atau risalah atau surat pembaca?
Hemat saya, deret pertanyaan di atas membawa kita pada persoalan klasik dan pelik, yakni sastra dan realitas—secara filosofis dan esensial, ialah sastra hadir di tengah masyarakat, olehnya bersinggungan dengan realitas dan ‘realitas’ yang ditampilkan di dalam sastra. Catatlah saban kata ‘realitas’ yang tertulis disertai dengan tanda kutip (‘’) itu merujuk pada kenyataan yang coba ditampilkan melalui teks (sastra), sedangkan realitas tanpa tanda kutip (‘’) ialah kenyataan an sich yang dihadapi seseorang dalam lingkup sosialnya.
Oleh karena itu, izinkan saya berusaha untuk mendedah persoalan sastra dan sosiologi. Jika di sini saya gunakan istilah ‘sosiologi’, itu bukanlah karena hanya sosiologi yang bersentuhan dengan realitas, melainkan karena saya ingin mempersoalkan-cum­-mempertanyakan, meminjam konsep imperatif kategoris-nya Kant; antara sastra dan yang-bukan sastra ketika dihadapkan vis a vis dengan realitas—atau dengan jalan lain, saya berusaha menampil persinggungan dikotomi antara fakta dan fiksi dalam pemahaman bahwa sastra dibangun dari fiksi, dan yang-bukan sastra (semisal hasil kajian atau penelitian sosiologis) tidak.
Adalah sebuah hal yang sia-sia bila kita berusaha untuk mendefinisikan sastra. Guru besar sastra dan orang yang memiliki peran besar dalam upaya membuat garis narasi kanonisasi sastra modern Indonesia, A. Teeuw, pun mengakui hal tersebut. “Secara intuisi kita semua sedikit banyaknya tahu gejala yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita coba membatasinya, gejala itu luput lagi dari tangkapan kita,” tulis Teeuw (Teeuw, 2013:19—miring oleh penulis). Namun bagaimanapun, kiranya perlu membuat batasan yang sumir, yakni sastra ialah apa yang tertulis—dus lawan dari apa yang lisan. Setiap batas itu tentu ambivalen, memang. Karena banyak apa yang tertulis tapi tetap tak bisa masuk ke dalam apa yang kita kategorikan sebagai sastra. Meski begitu batasan tersebut dapatlah membantu kita untuk menerka bahwa sastra melulu berkaitan dengan keberaksaraan—sebagai lawan dari keberlisanan.
Dengan demikian, inilah hal utama yang saya persoalkan: (1) sastra hadir secara vis a vis dengan realitas. Di saat yang bersamaan, (2) sastra merupakan realitas itu sendiri—sebagai produk budaya populer dalam sistem kapitalisme, olehnya diciptakan sebagai komoditas yang pada dirinya terdapat nilai-tukar dan nilai-guna—karena penulis sastra pun ialah bagian dari realitas, ia berusaha untuk meresponnya dalam proses alienasi-aktualisasi dengan cara (3) menghadirkan ‘realitas’ di dalam tulisannya—tentu ada realitas di dalam sastra, bernama ‘realitas’. Yang terakhir inilah yang menjadi titik-persoalan dalam tulisan ini. Sebab, dengan argumen bahwa ‘realitas’ berbeda dengan realitas an sich. ‘Realitas’ telah terkondisikan dengan proses-kreatif seorang sastrawan dalam menghasilkan tulisannya.
Sampai di sini, saya rasa kita bisa memahami pertanyaan di atas perihal mengapa seseorang menulis sastra—bahwa jawabannya ialah sastra merupakan satu cara dari sekian banyak cara untuk menghadirkan realitas ke dalam teks—kita sebut ‘realitas’. ‘Realitas’ itu merupakan tawaran oleh sastrawan guna berdialog dengan ‘realitas’-‘realitas’ yang lain dan juga realitas an sich itu sendiri, tentu saja. Oleh sebab teks tersebut menampilkan ‘realitas’ hasil kreatif sastrawan—tentu di sana ada ‘ideologi’, ‘imajinasi’, ‘harapan’, ‘gugatan’, dst… dkk… yang memantulkan pikiran sastrawan tersebut sebagai anggota masyarakat dari realitas yang melingkupinya. Inilah hubungan osmosis antara realitas dan sastra yang dimaksud.
Maka oleh sebab itu, realitas an sich menjadi titik-tolak, terminus a quo, dan sekaligus titik-tuju, terminus ad quem, untuk kemudian ‘realitas’ terhadirkan berkat kerja-kerja kreatif-ideologis seorang sastrawan. Dalam kaca mata demikianlah, hemat saya, sastrawan sama tapi tak serupa dengan pengendara tong setan atau buruh pabrik di atas. Karena apa yang dihasilkan oleh sastrawan ialah bagian dari realitas itu sendiri—setara dengan debar-ketakutan ketika mengendarai tong setan atau aroma mint deodoran—sebagai nilai-guna yang kemudian menjadi nilai-tukar karena teringkus dalam sistem kapitalisme. Inilah satu dari sekian alasan saya mengapa mengatakan bahwa sastrawan tidaklah lebih baik ketimbang pengendara tong setan atau buruh pabrik.
Sampai di sini saya harus katakan, bahwa untuk mendefinisikan apa yang dipaparkan di atas, saya meminjam kosakata bahasa Jawa, yakni kata Pasemon—yang, kira-kira, berarti sebuah siasat. Dapatlah dikatakan sastra adalah pasemon. Artinya pilihan menulis sastra (dus, alasan mengapa bukan-sastra, tentu saja) ialah sebuah pasemon seorang sastrawan ketika berhadapan vis a vis dengan realitas an sich. Bahwa pada sosok sastrawan hal tersebut membuncah. Karena itulah frase sosiologi dikaitkan di sini.
 
Sapardi Djoko Damono, John MacGlynn, Subagio Sastrwardojo: ketika Yayasan Lontar berdiri tahun 1987. | Koleksi: Goenawan Mohamad 2015. 
/3/
Pada 1978, Sapardi Djoko Damono penyair-cum-akademisi sastra Universitas Indonesia, memperkenalkan apa yang disebut ‘Sosiologi Sastra’ melalui bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia—dus, upaya mendedah teks sastra dengan pendekatan sosiologi.
Menurut Sapardi, karena sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada tiga hal yang terlibat dalam proses tersebut, yakni sastrawan, karya sastra, dan pembaca. Sastrawan dan pembaca adalah anggota masyarakat—merupakan salah dua komponen utama dalam sosiologi sebagai ilmu. Mereka terikat oleh kelompok sosial tertentu menyangkut pendidikan, agama, adat istiadat, dan segenap lembaga sosial yang melingkupinya. Mereka kita anggap memiliki kaitan-kaitan—kalau tidak boleh disebut keterikatan—dengan konsep-konsep seperti teritorialisme, primordialisme, sektarianisme, dan isme lainnya yang merujuk pada kesepakatan (konsensus) hidup bersama dalam lingkup sosial.
Sastrawan dan karya sastra dan (khalayak sidang) pembaca tercakup dalam masyarakat—semua itu membentuk struktur kesusastraan yang sekaligus menjadi substruktur masyarakat. Lantas, acapkali dalam masyarakat terjadi perubahan—yang memang selalu terjadi demi keberlangsungan keberadaannya karena itu sebuah keniscayaan—semua unsur dalam strukturnya juga akan mengalami perubahan. Berdasarkan situasi demikian Sosiologi Sastra mendekati karya sastra.
Lebih lanjut, karena sastra berusaha membidik hal-ihwal yang jarang atau mungkin tidak terpahami oleh ilmuwan yang menempatkan manusia sebagai objek keilmuwannya—dan terdiskreditkan dengan frase hanya fiksi, misalnya. Olehnya, Sosiologi Sastra menawarkan sebuah siasat untuk hal tersebut. Setidaknya bila kita sepakat bahwa penyelidikan yang dilakukan terhadap struktur masyarakat tertentu, dan penyelidikan tentang tingkah-pola yang timbul dalam struktur tersebut, telah terbukti memberikan pengetahuan yang bermanfaat kepada kita. Pun bahwa sastra memiliki sumbangan berharga, itu betul, tentu saja—ketika mampu mengangkat aspek sosial manusia. Karena hanya sastrawan jebul yang gagal menyusup dalam alam kesadaran sosial masyarakatnya—sebab dari sana lah konsepsi dan ide kreatif sebermula. Dengan pra-posisi bahwa sastrawan yang gak jebul-jebul amat pun tentu saja menyumbangkan pemikiran di dalam karyanya ke dalam kehidupan manusia berhadapan dengan realitas an sich, dalam situasi demikianlah Sosiologi Sastra bekerja.
Namun, perkara Sosiologi (dan) Sastra, andai kata yang dipersoalkan ialah ‘ilmiah’ atau tidak, saya enggan menanggapinya. Yang menarik bagi saya ialah cara kerja keduanya (sastra dan sosiologi). Kita mafhum bahwa keduanya memiliki bangunan filsafatnya masing-masing sehingga ia disebut sebagai ilmu (sastra sebagai ilmu, dan sosiologi sebagai ilmu). Yang perlu disoroti—dalam hal membicarakan sosiologi sastra—ialah objek kajiannya, yakni manusia dan dalam lingkup sosialnya.
Perbedaan mendasarnya ialah sosiologi mencoba membidik realitas, sedangkan sastra membidik ‘realitas’. Artinya, sosiologi mencoba menelaah manusia dalam lingkup-sosialnya—dan sastra mencoba menangkap pantulan realitas yang dihadirkan oleh penulis di dalam karyanya, ‘realitas’—karena sastrawan ialah bagian dari realitas (objek dalam kajian sosiologi), karena apa yang dihadirkan oleh sastrawan dalam bentuk teks ialah ‘realitas’—sebagaimana sudah saya dedah di bagian sebelumnya. Sampai di sini, upaya Sosiologi Sastra yang diperkenalkan Sapardi dalam jagat sastra Indonesia modern menjadi relevan. Artinya, frase sosiologi di titik ini digunakan untuk memahami ‘realitas’ di dalam karya sastra.
         Sebagai lintasan sejarah, sebermula pada periode 1960-an Sosiologi Sastra hadir sebagai sebuah metode dalam penelitian sastra di Eropa. Sosiologi Sastra muncul belakangan setelah orang mempelajari sastra secara struktural. Dengan kata lain, sosiologi sastra muncul setelah kajian strukturalisme sastra jenuh.
         Bourdieu dalam Encydopedia of Sociology (1992) menyebutkan bahwa hubungan antara sosiologi dan sastra “sebagai pasangan yang lucu” (1992: 106)—sebuah mekanisme yang lebih banyak dianggap sebagai skeptis dan sebuah cibiran di antara keduanya untuk peroleh simbiosis-mutualisme intelektualitas. Hemat saya, skeptisme ini karena bagi sejumlah kalangan (dalam hal ini sosiolog) masih beranggapan bahwa karya sastra belum bisa menjadi sumber informasi dalam kerja intelektualnya. Hal ini dikarenakan anggapan sastra adalah fiksi—hemat saya, itu betul, namun tidak seluruhnya. Sebab, sebagaimana sudah didedah di bagian sebelumnya, keterkaitan dan hubungan osmosis antara realitas dan ‘realitas’.

Sialnya, seperti seekor ajak berusaha mencium duburnya, anggapan bahwa karya sastra tidaklah bisa didekati dengan perangkat ilmu sosial juga mendominasi kalangan (kritikus) sastra. Paradigma konvensional yang menganggap karya seni (juga karya sastra, tentu saja) semata-mata merupakan kompetensi individual (baca: hasil imajinasi semata, olehnya disebut fiksi, tentu saja), yang ditanamkan sejak berkembangnya aliran “seni untuk seni”—ternyata memiliki peranan yang menentukan mengapa upaya mempertemukan sastra dan sosiologi tak bertepuk sebelah tangan tapi saling menepuk pipi sendiri. Sebuah upaya yang (tak) sia-sia.
Dalam situasi bebal yang demikianlah Sosiologi Sastra hadir dan menemukan konteksnya. Perhatian “sastra untuk sastra” dianggap tidak berdampak luas, dan tidak jelas sasaran karya sastra itu sendiri, sehingga membuat karya sastra seperti sebuah wahyu Tuhan yang tidak bisa membumi di masyarakat—yang notabene adalah pembacanya. Sastra dianggap hanya sekedar lamunan belaka dan imajinasi dan… dan fiksi, tentu sajabukan sebuah proses yang bergerak di tingkat habitus, komunitas, dan masyarakat dalam ranah arena (meminjam konsep Fields Bouerdieu). Anggapan konvensional yang bebal ini mesti diguncang. Sosiologi Sastra hadir untuk melakukannya.
Meskipun demikian, dalam kilasan historis ranah sosial dan sastra, selain sebagaimana sudah dikatakan di atas, bahwa saya menduga munculnya atas kerisauan studi sastra struktural yang dekaden—karena getaran ‘seni ekspresif’ juga banyak andil dalam pemunculan sosiologi sastra. Getaran seni yang mulai melirik teori sosial, mengimbas dalam bidang sastra. Sedekat yang saya tahu, penggunaan teori-teori sosial dalam bidang sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Tengoklah buku yang berjudul Republik, dilukiskan bagaimana mekanisme antarhubungan karya seni dengan masyarakatnya. Di dalam magnum opus-nya inilah acapkali disebut pembahasan paling tua antara sastra dan realitas.
Walaupun begitu, sastra dalam pembahasan tersebut meliputi puisi semata dan dalam tarik nafas yang sama dengan karya seni, semisal patung dan seni arsitektur. Bagi Plato, karya seni semata-mata merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia idea. Jadi, karya seni merupakan tiruan dari tiruan—oleh sebab itu secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Dengan demikian, kualitasnya lebih rendah dari karya seorang tukang. Dalam pemahaman Plato, karya seni mengondisikan manusia semakin jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Maka kesimpulan Plato, seniman harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Dalam kerangka filsafat Plato, hasil karya seniman merupakan racun bagi alam idea manusia yang berfalsafah ugahari itu.
Tentu saja filsafat idea Plato yang semata-mata bersifat praktis terhadap seni dan realitas an sich ditolak oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, karya seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (katarsis). Sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah. Aristoteles beranggapan, bahwa dalam upaya memahami kenyataan atawa realitas an sich, seni didominasi oleh penafsiran—karena itu baginya seni adalah kata-kerja. Karenanya seniman mesti tidak semata-mata meniru realitas, tetapi menciptakan dunianya sendiri sehingga manusia dapat mencapai keugaharian. Ini perbedaan secara prinsip antara kedua murid soko-guru Socrates itu dalam mempersoalkan seni dan realitas.
Dalam kebudayaan Barat, khususnya pada Abad Pertengahan, apa yang diungkap Aristoteles mengenai katarsis diterima sebagai dasar estetik dan filsafat seni. Oleh sebabnya, ciri karya seni pada saat itu seni mencoba meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The Great Modern)—dus, karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia hanya menciptakan kembali, manusia sebagai homo-artifex.
Setali tiga uang, di Nusantara, misalnya—untuk tidak menyebut Timur dan tidak berkehendak beroposisi-biner antara Barat-Timur—hal tersebut tampak dalam puisi-puisi Jawa Kuno—melalui konsepsi persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan; sebagai penjelmaan Tuhan (manunggaling kawula gusti). Itulah mengapa sastra Jawa Kuno (yang berpusat di Keraton, tentu saja) banyak yang mengungkapkan realitas estetik Ketuhanan. Sastrawan mencoba memahami realitas dengan berbagai symbol ketuhanan yang diciptakan.
Sampai di sini, hemat saya, itik-temu dan titik-pisah antara Plato-Aristoteles ialah hubungan bagaimana seorang seniman dalam menghadapi vis a vis dengan realitasnya dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Sampai di sini, apa yang sudah saya paparkan di atas perihal lingkup sastrawan, realitas, dan ‘realitas’, menjadi relevan. Dan saya harap menjadi simpul olehnya. Paparan di atas ialah historisitas argumen dasar tulisan ini yang sudah sedari awal dikemukakan.
Kid Paint Society | Koleksi: Banksy | 2012
Kembali ke dalam lintasan historis kebudayaan Barat, dengan demikian legitimasi sastrawan sebagai pencipta sesungguhnya tampak sesudah abad ke-18—dengan anggapan manusia sebagai pencipta (karya seni) yang otonom. Puncaknya terjadi abad ke-19, pada Abad Romantik, dengan menonjolkan individualitas sastrawan, dengan berkembangnya puisi-puisi lirik—puisi yang mengedepankan perasaan liris terhadap sosok Aku yang resah terhadap realitasnya. Hemat saya, semangat lirisme dalam karya seni Barat ialah irisan dalam semangat rasionalisme ilmu pengetahuan di Barat—aku berpikir, maka aku ada: ialah adigium kunci untuk memahami perjalanan sejarah estetika Barat. 
Perkembangan selanjutnya, buah dari individualitas tersebut ialah karya seni dinilai berdasarkan atas kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya. Individualitas menjadi penggerak dalam laju lokomotif sejarah kebudayaan estetika Barat. Lambang aktivitas kreatif bukan lagi cermin, peneladanan, atau peniruan, melainkan pelita yang memancarkan sinar dalam proses berkesenian. Dengan memahami lintasan sejarah di atas, maka oleh sebab itu tampak dikotomi pandangan terhadap karya seni (juga sastra), yakni (a) karya sebagai dunia yang otonom—yang kerap disederhana dengan slogan “seni untuk seni”, yang kemudian tampak dalam aliran strukturalis dan sejumlah variannya, dan (b) karya seni sebagai dokumen sosial—“seni untuk opo kui…” seperti berbagai penelitian yang dilakukan oleh aliran Marxis, psikologi, dan peneliti sosiologi yang lain.
Antitesa terhadap situasi demikian ialah paradigma yang menunjukkan melalui konsepsi-konsepsi yang timbul sesudah strukturalisme (klasik) mengalami stagnasi; maka muncullah paradigma strukturalisme genetik, semiotika, resepsi, dan interteks—yang kemudian direduksi dengan frase ‘post-strukturlisme’—dalam geliat demikianlah sosiologi sastra hadir.
Salah satu buah orisinalitas hal tersebut ialah sikap kritis pembacaan terhadap teks, menjadi bagian dari kacamata sosial politik. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom individu atau dokumen sosial, melainkan melampaui keduanya—yakni (1) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, dan olehnya (2) sebuah karya yang memiliki kapasitas untuk mengguncang jalan yang stagnan. Maka dapatlah dibaca dengan neraca teks-konteks-teks-konteks-teks… konteks-teks. sebuah dialektika yang berujung pada anti-tesa
Dalam situasi yang demikianlah paparan saya perihal realitas an sich dan ‘realitas’ di atas menemukan konsepsinya. Artinya, sebagaimana sudah saya katakan, bahwa Sosiologi Sastra (1) hadir tidak dalam ruang hampa dan olehnya (2) mencoba menjawab kejenuhan dalam lingkup pembacaan karya sastra dengan menggunakan perangkat keilmuan sosiologi—bagaimana mendorong imperatif kategoris: “sastra adalah fiksi” dan “sosiologi adalah fakta” ke tepi jurang kebebalan—saran saya, silakan ubah kata ‘sosiologi’ tersebut dengan bidang keilmuan lainnya yang Anda anggap selalu mengedepankan kata ‘ilmiah’ dan menunjuk-hidung sastra adalah fiksi olehnya ada batu persoalan yang membuat karya sastra laiknya kitab suci yang tak elok dibantun dalam kegiatan intelektualisme.
Sampai di sini persoalan belum selesai, tentu saja. Salah satunya ialah penggunaan istilah ‘Sosiologi Sastra’ (Sociology of literature), agaknya perlu diselidiki. Sebab ada ambigiuitas di sana. Perihal tata-cara menggunakan perangkat tersebut. Bila kita sepakat bahwa sosiologi sastra adalah metode yang memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra, maka konsekuensi logisnya ialah faktor sosial diutamakan untuk mencermati karya sastra—tepat di situ titik persoalannya. Menurut Umar Junus, sebagai sebuah metode sosiologi sastra memiliki dua corak, yaitu (1) sociology of literature dan (2) literary sociology (1986 : 2) .
Jika Literary Sociology mengacu pada pandangan sastra sebagai gambaran kehidupan sosial—oleh karena, pijakannya terletak pada fenomena sastra, untuk memahami gejala sosial di luar sastra tapi yang hadir di ‘realitas’ (teks sastra), maka Sociology of Literature malah memanfaatkan fakta sosial untuk menelusuri sastra. Artinya, bila yang pertama menyelediki yang-sosial yang terdapat di dalam teks sastra—dalam hal ini ‘realitas’, maka yang kedua menghendaki teks sastra (‘realitas’) harus menampilkan fakta sosial realitas an sich. Meskipun keduanya saya pikir memiliki keterkaitan perihal menggunakan sastra sebagai alat memahami tingkah pola manusia.  
Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingewood dalam buku berjudul The Sociology of Literature (1972) mengetengahkan pandangan yang positif perihal tegangan yang kerap muncul di antara keduanya. la memandang anggapan sastra sebagai sekedar bahan sampingan saja untuk memahami masyarakat—ialah sebuah  pijakan yang klise. Ia pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus sastra harus berhati-hati mengartikan slogan “sastra adalah cermin masyarakat”. Di sana ada ambiguitas. Karena yang luput dari Swingewood ialah proses-kreatif sastrawan memiliki pola yang tidak serupa muka yang dipantulkan cermin, melainkan osmosis dengan berbagai hal yang melingkupinya—inilah yang di atas disebut pasemon.” Oleh sebab hubungan pengarang, kesadaran, dan tujuannya memilih sastra dan bukan ialah komponen satu-kesatuan yang tak bisa dilupakan, namun hubungannya tak sesederhana yang kita bayangkan. Olehnya, hemat saya, frase pasemon menjadi tepat—dus, karena itu juga sosiologi digunakan untuk memahami setiap kelok pasemon tersebut.
Memang setiap kelok selalu memberikan kejutan dan kedutan. Namun bagi saya jelas, sebagaimana yang sudah saya tuliskan, dan bila Sampeyan membacanya dengan cermat ini untuk ketiga kalinya dalam tulisan ini—realitas an sich menjadi titik-tolak, terminus a quo, dan sekaligus titik-tuju, terminus ad quem—pada batang-tubuh ‘realitas’ keduanya terbantun. Karenanya, bagi saya, seorang sastrawan berdiri di dua kaki yang berpijak pada  realitas an sich dan ‘realitas’. Meski sastrawan bukanlah dewa, tentu saja, melainkan serupa dengan pengendara tong setan atau buruh pabrik dalam hal alienasi dan aktualisasi.
Di titik ini saya malas mempersoalkan benturan dan pertautan antara slogan “sastra untuk sastra” dan “sastra untuk opo kui…”. Namun, di lain kesempatan, saya harap ada yang mempersoalkan hal tersebut—karena dalam sejarah sastra modern Indonesia hal tersebut belum lah benar-benar ‘selesai’—sambil menimbang-nimbang fakta sejarah kebudayaan Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka yang pertama-tama menolak/menampik realitas an sich dalam ‘realitas’ adalah mereka yang kembali merengkuh dan memeluk realitas an sich dalam ‘realitas’ ketika politik tidak lagi menjadi panglima dan revolusi benar-benar dibenamkan dalam laju pembangunanisme. Lebih terangnya begini: mereka yang mendengungkan metode Ganzheit di tahun 1971 (sebuah metode yang mempertanyakan struktural-formalis dalam menghadapi selarik puisi) dan Sosiologi Sastra di tahun 1978 (perangkat ilmu sosial dalam mendedah karya sastra, dan sudah dibahas di atas) dan sastra kontekstual di tahun 1983 (upaya mengembalikan sastra ke tengah-tengah masyarakat, realitas an sich)—ialah mereka-mereka juga yang di tahun 1960-an dengan teguh dan bijak bestari menolaknya. Kalau bukan Asu Teles, apa namanya, Su?
Apakah ini yang disebut dengan amnesia-sejarah? Saya tidak yakin, dan saya tidak ingin menyebutnya sebagai amnesia. Tidak adil, cuk. Yang saya tahu, sastra tidak pernah benar-benar clear and clean dengan Politik (dengan P besar, bila merujuk Ranciere), melainkan sastra berhadap-hadapan, vis a vis antara Politik dan yang-politik (dengan p kecil). Artinya, sastra tidak pernah bisa lepas dari kondisi vis a vis kekuatan politik dan oposisi-biner ideologis dalam palagan sejarah Indonesia. Akhirnya, bagi saya, karena itulah sastra menjadi menarik. Ia tidak akan benar-benar menjadi sekedar sastra.

/4/
JIKA SAMPEYAN masih juga keukeuh bahwa sastra dan sastrawan lebih mulia ketimbang wahana tong setan dan deodoran, silakan baca kalimat di bawah ini dengan melantunkan kidung kesedihan para pemurung yang pernah tercatat di buku sejarah sambil merancap dengan pelumas air matamu:
“Tinggalkanlah, jika dia memang cinta sejatimu, dia akan kembali dengan cara mengagumkan,”—Tere Liye, Rindu
Jelek, kan?
Saran saya, lebih baik Sampeyan pakai deodoran sambil naik tong setan—itu jauh lebih berfaedah ketimbang Sampeyan bergumul dengan kalimat-kalimat serupa di atas, bila Anda masih juga beranggapan sastra sekedar sastra.
Atau apalagi? Mungkin itulah alasan utama saya mengapa sedari awal kukatakan kepadamu, wahai Pecinta Sastra dan Pengikut Akun Line @Kumpulan_Puisi yang Budiman, menjadi sastrawan dan pengemudi tong setan dan buruh pabrik itu sama saja. Hanya berbeda nasib dan takdir. Selebihnya sama, produk budaya… []

Jatikramat, Maret-April 2017

*Tyo Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di kuartal ketiga tahun ini.  
Post-script: Naskah ini hasil re-writing dari naskah awal yang didiskusikan dalam forum DKS, UNJ pada akhir Maret lalu. Karenanya kepada kawan-kawan DKS dan pihak yang datang, saya ucapkan terima kasih atas komentar, kritik, dan masukkan yang sangat bermanfaat bagi naskah yang kini ditampilkan—terutama perdebatan perihal Sastra populer dan Sastra sebagai produk (budaya) populer. Selebihnya tanggung jawab atas seluruh isi tulisan sepenuh berada di pundak saya— T.P.

Daftar Pustaka:
 Borgatta, Edgar F. and Rhonda J. V. Montgomery. Encyclopedia of Sociology Second Edition (Edisi Pertama tahun 1992). Macmillan Reference USA: New York, 2000.
Damono, Djoko Damono. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: 1984.
______________________ “Sastra, Citizen, Netizen” makalah dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra “Sastra dan Perubahan: Dinamika Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi Sastra” Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 10-11 Oktober 2016.
Kuntowijoyo. “Sastra Indonesia Mencari Arah” dalam Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana: Yogyakarta. 1987.
Swingewood, Alan and Diana Laurenson. The Sociology of Literature. MacGibbon and Kee: London. 1972.

Teeuw. A.  Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Bandung. 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar