SOSIOLOGI (DAN) SASTRA:
SEBUAH TELAAH KEMANASUKAAN ATAS
REALITAS DAN ‘REALITAS’
Oleh: Tyo
Prakoso
![]() |
Koleksi: Darthmoth Edu | 2015 |
/1/
JIKA SAMPEYAN
beranggapan bahwa sastra lebih baik ketimbang wahana tong setan di pasar malam
dan benda bernama deodoran—dus
karenanya Sampeyan memandang sastrawan lebih mulia ketimbang pengendara tong
setan atau buruh pabrik, maka sebaiknya Sampeyan sudahi saja membaca tulisan
ini, jika Sampeyan tidak ingin terserang ayan tiba-tiba, dan siuman menjadi
anggota dewan, dan kembali semavut
dan tak pernah kembali bangun lagi.
Lekaslah
sobek dan uwel-uwel kertas ini, dan
masukkan ke dalam mulutmu. Lalu kunyahlah sebanyak tiga puluh tujuh kali dengan
gigi geraham dan taringmu secara bergantian di mana saban satu kali kunyahan
diharuskan merapal nama-nama orang yang pernah menyakitimu. Kemudian telanlah
dengan dorongan air liurmu. Lalu tunggu beberapa saat: (1) maka saya akan
menempelengmu—sebagai wujud solidaritas terhadap pengendara tong setan atau
buruh pabrik yang Sampeyan lecehkan pekerjaannya. (2) Saya juga akan
menginjak-injak buah zakarmu—sebagai wujud solidaritas, bahwa Sampeyan tahu,
menjadi pengendara tong setan itu tidak gampang, meski tidak ada aturan yang
mengharuskan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) untuknya dan musti bersaing
dengan aneka wahana-hiburan yang lebih modern, olehnya tidak berpenghasilan memadai
untuk sekedar hidup selama tiga puluh hari dalam sebulan dan membiayai satu
pasangan hidup dan dua buah hati—dan supaya Sampeyan juga paham, memangnya
siapa sih yang mau jadi buruh pabrik
dengan 10 jam kerja dan menghasilkan berkardus-kardus deodoran dalam satu hari
kerja tapi hanya dibayar sepersekian dari apa yang sudah dihasilkan, dan selalu
dijadikan kambing-hitam bila macet karena berdemo menuntut hak sebagai buruh
pabrik untuk menolak perbudakan modern (outsourching)
dan upah murah. Kalau bukan bangsat, apa namanya?
Sampai
di sini, apa Sampeyan tetap beranggapan sastra dan sastrawan lebih baik dan
mulia?
/2/
BILA SEBUAH karya
sastra cerita pendek, misalnya ditulis karena seseorang punya sesuatu
yang hendak disampaikan kepada orang lain dan berkaitan dengan realitas yang
melingkupinya semisal, galau dan menangis bombai karena mantan kekasihnya
ingin menikah dan apa yang hendak dikatakannya itu dikirim ke redaktur
untuk diseleksi, disunting dan kemudian ditayangkan misalnya ke Kedai Literasi @gerakanaksara, tentu saja dengan
harapan dibaca khalayak ramai, maka ada sebuah pertanyaan yang tidak mudah
untuk dijawab: kenapa musti menulis sastra? Kenapa ia tak menulis reportase
jurnalisme atau risalah atau surat pembaca?
Hemat
saya, deret pertanyaan di atas membawa kita pada persoalan klasik dan pelik,
yakni sastra dan realitas—secara filosofis dan esensial, ialah sastra hadir di
tengah masyarakat, olehnya bersinggungan dengan realitas dan ‘realitas’ yang
ditampilkan di dalam sastra. Catatlah saban kata ‘realitas’ yang tertulis disertai dengan tanda kutip (‘’) itu
merujuk pada kenyataan yang coba ditampilkan melalui teks (sastra), sedangkan realitas tanpa tanda kutip (‘’) ialah
kenyataan an sich yang dihadapi
seseorang dalam lingkup sosialnya.
Oleh
karena itu, izinkan saya berusaha untuk mendedah persoalan sastra dan sosiologi.
Jika di sini saya gunakan istilah ‘sosiologi’, itu bukanlah karena hanya sosiologi yang bersentuhan dengan realitas, melainkan karena saya ingin
mempersoalkan-cum-mempertanyakan,
meminjam konsep imperatif kategoris-nya
Kant; antara sastra dan yang-bukan sastra ketika dihadapkan vis a vis dengan realitas—atau dengan jalan lain, saya berusaha menampil
persinggungan dikotomi antara fakta dan fiksi dalam pemahaman bahwa sastra
dibangun dari fiksi, dan yang-bukan sastra (semisal hasil kajian atau
penelitian sosiologis) tidak.
Adalah
sebuah hal yang sia-sia bila kita berusaha untuk mendefinisikan sastra. Guru
besar sastra dan orang yang memiliki peran besar dalam upaya membuat garis
narasi kanonisasi sastra modern Indonesia, A. Teeuw, pun mengakui hal tersebut.
“Secara intuisi kita semua sedikit banyaknya tahu gejala yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita coba
membatasinya, gejala itu luput lagi dari tangkapan kita,” tulis Teeuw (Teeuw,
2013:19—miring oleh penulis). Namun bagaimanapun, kiranya perlu membuat batasan
yang sumir, yakni sastra ialah apa
yang tertulis—dus lawan dari apa yang
lisan. Setiap batas itu tentu ambivalen, memang. Karena banyak apa yang
tertulis tapi tetap tak bisa masuk ke dalam apa yang kita kategorikan sebagai
sastra. Meski begitu batasan tersebut dapatlah membantu kita untuk menerka
bahwa sastra melulu berkaitan dengan keberaksaraan—sebagai
lawan dari keberlisanan.
Dengan
demikian, inilah hal utama yang saya persoalkan: (1) sastra hadir secara vis a vis dengan realitas. Di saat yang bersamaan, (2) sastra merupakan realitas itu
sendiri—sebagai produk budaya populer dalam
sistem kapitalisme, olehnya diciptakan sebagai komoditas yang pada dirinya
terdapat nilai-tukar dan nilai-guna—karena penulis sastra pun
ialah bagian dari realitas, ia berusaha untuk meresponnya dalam proses alienasi-aktualisasi dengan cara (3)
menghadirkan ‘realitas’ di dalam
tulisannya—tentu ada realitas di
dalam sastra, bernama ‘realitas’.
Yang terakhir inilah yang menjadi titik-persoalan dalam tulisan ini. Sebab,
dengan argumen bahwa ‘realitas’
berbeda dengan realitas an sich. ‘Realitas’ telah terkondisikan dengan proses-kreatif seorang
sastrawan dalam menghasilkan tulisannya.
Sampai
di sini, saya rasa kita bisa memahami pertanyaan di atas perihal mengapa
seseorang menulis sastra—bahwa jawabannya ialah sastra merupakan satu cara dari
sekian banyak cara untuk menghadirkan realitas
ke dalam teks—kita sebut ‘realitas’.
‘Realitas’ itu merupakan tawaran oleh
sastrawan guna berdialog dengan ‘realitas’-‘realitas’ yang lain dan juga realitas an sich itu sendiri, tentu saja. Oleh sebab teks tersebut
menampilkan ‘realitas’ hasil kreatif
sastrawan—tentu di sana ada ‘ideologi’, ‘imajinasi’, ‘harapan’, ‘gugatan’, dst… dkk… yang memantulkan pikiran sastrawan
tersebut sebagai anggota masyarakat dari realitas
yang melingkupinya. Inilah hubungan osmosis antara realitas dan sastra yang dimaksud.
Maka
oleh sebab itu, realitas an sich menjadi titik-tolak, terminus a quo, dan sekaligus
titik-tuju, terminus ad quem, untuk
kemudian ‘realitas’ terhadirkan
berkat kerja-kerja kreatif-ideologis seorang sastrawan. Dalam kaca mata
demikianlah, hemat saya, sastrawan sama tapi
tak serupa dengan pengendara tong setan atau buruh pabrik di atas. Karena
apa yang dihasilkan oleh sastrawan ialah bagian dari realitas itu sendiri—setara dengan debar-ketakutan ketika
mengendarai tong setan atau aroma mint deodoran—sebagai nilai-guna yang kemudian menjadi nilai-tukar karena teringkus dalam sistem kapitalisme. Inilah satu
dari sekian alasan saya mengapa mengatakan bahwa sastrawan tidaklah lebih baik
ketimbang pengendara tong setan atau buruh pabrik.
Sampai
di sini saya harus katakan, bahwa untuk mendefinisikan apa yang dipaparkan di
atas, saya meminjam kosakata bahasa Jawa, yakni kata Pasemon—yang, kira-kira, berarti sebuah siasat. Dapatlah dikatakan
sastra adalah pasemon. Artinya
pilihan menulis sastra (dus, alasan
mengapa bukan-sastra, tentu saja) ialah sebuah pasemon seorang sastrawan ketika berhadapan vis a vis dengan realitas
an sich. Bahwa pada sosok sastrawan hal
tersebut membuncah. Karena itulah frase sosiologi dikaitkan di sini.
![]() |
Sapardi Djoko Damono, John MacGlynn, Subagio Sastrwardojo: ketika Yayasan Lontar berdiri tahun 1987. | Koleksi: Goenawan Mohamad 2015. |
/3/
Pada
1978, Sapardi Djoko Damono penyair-cum-akademisi
sastra Universitas Indonesia, memperkenalkan apa yang disebut ‘Sosiologi
Sastra’ melalui bukunya yang berjudul Sosiologi
Sastra dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia—dus, upaya mendedah teks sastra dengan pendekatan sosiologi.
Menurut
Sapardi, karena sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Ada tiga hal yang terlibat dalam proses tersebut, yakni sastrawan,
karya sastra, dan pembaca. Sastrawan dan pembaca adalah anggota masyarakat—merupakan
salah dua komponen utama dalam sosiologi sebagai ilmu. Mereka terikat oleh
kelompok sosial tertentu menyangkut pendidikan, agama, adat istiadat, dan
segenap lembaga sosial yang melingkupinya. Mereka kita anggap memiliki
kaitan-kaitan—kalau tidak boleh disebut keterikatan—dengan konsep-konsep seperti
teritorialisme, primordialisme, sektarianisme, dan isme lainnya yang merujuk pada kesepakatan (konsensus) hidup
bersama dalam lingkup sosial.
Sastrawan
dan karya sastra dan (khalayak sidang) pembaca tercakup dalam masyarakat—semua
itu membentuk struktur kesusastraan yang sekaligus menjadi substruktur
masyarakat. Lantas, acapkali dalam masyarakat terjadi perubahan—yang memang
selalu terjadi demi keberlangsungan keberadaannya karena itu sebuah
keniscayaan—semua unsur dalam strukturnya juga akan mengalami perubahan. Berdasarkan
situasi demikian Sosiologi Sastra mendekati karya sastra.
Lebih
lanjut, karena sastra berusaha membidik hal-ihwal yang jarang atau mungkin tidak
terpahami oleh ilmuwan yang menempatkan manusia sebagai objek keilmuwannya—dan
terdiskreditkan dengan frase hanya fiksi,
misalnya. Olehnya, Sosiologi Sastra menawarkan sebuah siasat untuk hal
tersebut. Setidaknya bila kita sepakat bahwa penyelidikan yang dilakukan
terhadap struktur masyarakat tertentu, dan penyelidikan tentang tingkah-pola
yang timbul dalam struktur tersebut, telah terbukti memberikan pengetahuan yang
bermanfaat kepada kita. Pun bahwa sastra memiliki sumbangan berharga, itu betul, tentu saja—ketika mampu
mengangkat aspek sosial manusia. Karena hanya sastrawan jebul yang gagal menyusup dalam alam kesadaran sosial
masyarakatnya—sebab dari sana lah konsepsi dan ide kreatif sebermula. Dengan
pra-posisi bahwa sastrawan yang gak
jebul-jebul amat pun tentu saja menyumbangkan pemikiran di dalam karyanya ke
dalam kehidupan manusia berhadapan dengan realitas an sich, dalam situasi demikianlah Sosiologi Sastra bekerja.
Namun,
perkara Sosiologi (dan) Sastra, andai kata yang dipersoalkan ialah ‘ilmiah’
atau tidak, saya enggan menanggapinya. Yang menarik bagi saya ialah cara kerja
keduanya (sastra dan sosiologi). Kita mafhum bahwa keduanya memiliki bangunan
filsafatnya masing-masing sehingga ia disebut sebagai ilmu (sastra sebagai
ilmu, dan sosiologi sebagai ilmu). Yang perlu disoroti—dalam hal membicarakan
sosiologi sastra—ialah objek kajiannya, yakni manusia dan dalam lingkup
sosialnya.
Perbedaan
mendasarnya ialah sosiologi mencoba membidik realitas, sedangkan sastra membidik ‘realitas’. Artinya, sosiologi mencoba menelaah manusia dalam
lingkup-sosialnya—dan sastra mencoba menangkap pantulan realitas yang dihadirkan oleh penulis di dalam karyanya, ‘realitas’—karena sastrawan ialah bagian
dari realitas (objek dalam kajian
sosiologi), karena apa yang dihadirkan oleh sastrawan dalam bentuk teks ialah ‘realitas’—sebagaimana sudah saya dedah
di bagian sebelumnya. Sampai di sini, upaya Sosiologi Sastra yang diperkenalkan
Sapardi dalam jagat sastra Indonesia modern menjadi relevan. Artinya, frase
sosiologi di titik ini digunakan untuk memahami ‘realitas’ di dalam karya sastra.
Sebagai lintasan sejarah, sebermula
pada periode 1960-an Sosiologi Sastra hadir sebagai sebuah metode dalam penelitian
sastra di Eropa. Sosiologi Sastra muncul belakangan setelah orang mempelajari
sastra secara struktural. Dengan kata lain, sosiologi sastra muncul setelah kajian
strukturalisme sastra jenuh.
Bourdieu dalam Encydopedia of Sociology (1992) menyebutkan bahwa hubungan antara
sosiologi dan sastra “sebagai pasangan yang lucu” (1992: 106)—sebuah mekanisme
yang lebih banyak dianggap sebagai skeptis dan sebuah cibiran di antara
keduanya untuk peroleh simbiosis-mutualisme intelektualitas. Hemat saya,
skeptisme ini karena bagi sejumlah kalangan (dalam hal ini sosiolog) masih
beranggapan bahwa karya sastra belum
bisa menjadi sumber informasi dalam kerja intelektualnya. Hal ini dikarenakan
anggapan sastra adalah fiksi—hemat
saya, itu betul, namun tidak
seluruhnya. Sebab, sebagaimana sudah didedah di bagian sebelumnya, keterkaitan
dan hubungan osmosis antara realitas
dan ‘realitas’.
Sialnya,
seperti seekor ajak berusaha mencium
duburnya, anggapan bahwa karya sastra tidaklah bisa didekati dengan perangkat ilmu sosial juga mendominasi kalangan
(kritikus) sastra. Paradigma konvensional yang menganggap karya seni (juga
karya sastra, tentu saja) semata-mata merupakan kompetensi individual (baca:
hasil imajinasi semata, olehnya disebut fiksi,
tentu saja), yang ditanamkan sejak berkembangnya aliran “seni untuk seni”—ternyata
memiliki peranan yang menentukan mengapa upaya mempertemukan sastra dan
sosiologi tak bertepuk sebelah tangan tapi saling menepuk pipi sendiri. Sebuah
upaya yang (tak) sia-sia.
Dalam
situasi bebal yang demikianlah Sosiologi Sastra hadir dan menemukan konteksnya.
Perhatian “sastra untuk sastra” dianggap tidak berdampak luas, dan tidak jelas
sasaran karya sastra itu sendiri, sehingga membuat karya sastra seperti sebuah
wahyu Tuhan yang tidak bisa membumi di masyarakat—yang notabene adalah
pembacanya. Sastra dianggap hanya sekedar lamunan belaka dan imajinasi dan… dan
fiksi, tentu saja—bukan sebuah proses yang bergerak di tingkat habitus, komunitas, dan masyarakat dalam ranah arena (meminjam
konsep Fields Bouerdieu). Anggapan
konvensional yang bebal ini mesti diguncang. Sosiologi Sastra hadir untuk
melakukannya.
Meskipun
demikian, dalam kilasan historis ranah sosial dan sastra, selain sebagaimana
sudah dikatakan di atas, bahwa saya menduga munculnya atas kerisauan studi sastra
struktural yang dekaden—karena getaran ‘seni ekspresif’ juga banyak andil dalam
pemunculan sosiologi sastra. Getaran seni yang mulai melirik teori sosial,
mengimbas dalam bidang sastra. Sedekat yang saya tahu, penggunaan teori-teori
sosial dalam bidang sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles.
Tengoklah buku yang berjudul Republik,
dilukiskan bagaimana mekanisme antarhubungan karya seni dengan masyarakatnya. Di
dalam magnum opus-nya inilah acapkali
disebut pembahasan paling tua antara sastra dan realitas.
Walaupun
begitu, sastra dalam pembahasan tersebut meliputi puisi semata dan dalam tarik
nafas yang sama dengan karya seni, semisal patung dan seni arsitektur. Bagi Plato,
karya seni semata-mata merupakan tiruan (mimesis)
yang ada dalam dunia idea. Jadi,
karya seni merupakan tiruan dari tiruan—oleh
sebab itu secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Dengan demikian, kualitasnya
lebih rendah dari karya seorang tukang. Dalam pemahaman Plato, karya seni mengondisikan
manusia semakin jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Maka kesimpulan Plato, seniman
harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Dalam kerangka filsafat Plato, hasil
karya seniman merupakan racun bagi alam idea
manusia yang berfalsafah ugahari
itu.
Tentu
saja filsafat idea Plato yang
semata-mata bersifat praktis terhadap seni dan realitas an sich ditolak
oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, karya seni justru mengangkat jiwa
manusia, yaitu melalui proses penyucian (katarsis).
Sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah. Aristoteles
beranggapan, bahwa dalam upaya memahami kenyataan atawa realitas an sich, seni
didominasi oleh penafsiran—karena itu baginya seni adalah kata-kerja. Karenanya seniman mesti tidak semata-mata
meniru realitas, tetapi menciptakan dunianya sendiri sehingga
manusia dapat mencapai keugaharian. Ini perbedaan secara prinsip antara kedua
murid soko-guru Socrates itu dalam mempersoalkan seni dan realitas.
Dalam
kebudayaan Barat, khususnya pada Abad Pertengahan, apa yang diungkap
Aristoteles mengenai katarsis
diterima sebagai dasar estetik dan filsafat seni. Oleh sebabnya, ciri karya
seni pada saat itu seni mencoba meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The Great Modern)—dus, karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia hanya
menciptakan kembali, manusia sebagai homo-artifex.
Setali
tiga uang, di Nusantara, misalnya—untuk tidak menyebut Timur dan tidak
berkehendak beroposisi-biner antara Barat-Timur—hal tersebut tampak dalam
puisi-puisi Jawa Kuno—melalui konsepsi persatuan antara manusia dengan Tuhan
lewat keindahan; sebagai penjelmaan Tuhan (manunggaling
kawula gusti). Itulah mengapa sastra Jawa Kuno (yang berpusat di Keraton,
tentu saja) banyak yang mengungkapkan realitas
estetik Ketuhanan. Sastrawan mencoba memahami realitas dengan berbagai symbol
ketuhanan yang diciptakan.
Sampai
di sini, hemat saya, itik-temu dan titik-pisah antara Plato-Aristoteles ialah
hubungan bagaimana seorang seniman dalam menghadapi vis a vis dengan realitasnya
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Sampai di sini, apa yang sudah
saya paparkan di atas perihal lingkup sastrawan, realitas, dan ‘realitas’,
menjadi relevan. Dan saya harap menjadi simpul olehnya. Paparan di atas ialah
historisitas argumen dasar tulisan ini yang sudah sedari awal dikemukakan.
![]() |
Kid Paint Society | Koleksi: Banksy | 2012 |
Kembali
ke dalam lintasan historis kebudayaan Barat, dengan demikian legitimasi sastrawan
sebagai pencipta sesungguhnya tampak sesudah abad ke-18—dengan anggapan manusia
sebagai pencipta (karya seni) yang otonom. Puncaknya terjadi abad ke-19, pada
Abad Romantik, dengan menonjolkan individualitas sastrawan, dengan
berkembangnya puisi-puisi lirik—puisi yang mengedepankan perasaan liris
terhadap sosok Aku yang resah
terhadap realitasnya. Hemat saya, semangat lirisme dalam karya seni Barat ialah
irisan dalam semangat rasionalisme ilmu pengetahuan di Barat—aku berpikir, maka aku ada: ialah adigium kunci untuk memahami perjalanan
sejarah estetika Barat.
Perkembangan
selanjutnya, buah dari individualitas tersebut ialah karya seni dinilai
berdasarkan atas kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya. Individualitas
menjadi penggerak dalam laju lokomotif sejarah kebudayaan estetika Barat. Lambang
aktivitas kreatif bukan lagi cermin, peneladanan, atau peniruan, melainkan
pelita yang memancarkan sinar dalam proses berkesenian. Dengan memahami
lintasan sejarah di atas, maka oleh sebab itu tampak dikotomi pandangan
terhadap karya seni (juga sastra), yakni (a) karya sebagai dunia yang
otonom—yang kerap disederhana dengan slogan “seni untuk seni”, yang kemudian
tampak dalam aliran strukturalis dan sejumlah variannya, dan (b) karya seni
sebagai dokumen sosial—“seni untuk opo
kui…” seperti berbagai penelitian yang dilakukan oleh aliran Marxis,
psikologi, dan peneliti sosiologi yang lain.
Antitesa terhadap situasi demikian ialah paradigma yang menunjukkan
melalui konsepsi-konsepsi yang timbul sesudah strukturalisme (klasik) mengalami
stagnasi; maka muncullah paradigma strukturalisme genetik, semiotika, resepsi,
dan interteks—yang kemudian direduksi dengan frase ‘post-strukturlisme’—dalam
geliat demikianlah sosiologi sastra hadir.
Salah satu buah orisinalitas hal tersebut ialah sikap kritis pembacaan
terhadap teks, menjadi bagian dari kacamata sosial politik. Karya sastra bukan
semata-mata kualitas otonom individu atau dokumen sosial, melainkan melampaui
keduanya—yakni (1) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat, dan olehnya (2) sebuah karya yang memiliki kapasitas untuk
mengguncang jalan yang stagnan. Maka
dapatlah dibaca dengan neraca teks-konteks-teks-konteks-teks… konteks-teks.
sebuah dialektika yang berujung pada anti-tesa…
Dalam situasi yang demikianlah paparan saya perihal realitas an sich dan ‘realitas’ di atas menemukan
konsepsinya. Artinya, sebagaimana sudah saya katakan, bahwa Sosiologi Sastra
(1) hadir tidak dalam ruang hampa dan olehnya (2) mencoba menjawab kejenuhan
dalam lingkup pembacaan karya sastra dengan menggunakan perangkat keilmuan
sosiologi—bagaimana mendorong imperatif
kategoris: “sastra adalah fiksi” dan
“sosiologi adalah fakta” ke tepi
jurang kebebalan—saran saya, silakan ubah kata ‘sosiologi’ tersebut dengan
bidang keilmuan lainnya yang Anda anggap selalu mengedepankan kata ‘ilmiah’ dan
menunjuk-hidung sastra adalah fiksi olehnya
ada batu persoalan yang membuat karya sastra laiknya kitab suci yang tak elok
dibantun dalam kegiatan intelektualisme.
Sampai di sini persoalan belum selesai, tentu saja. Salah satunya ialah
penggunaan istilah ‘Sosiologi Sastra’ (Sociology
of literature), agaknya perlu diselidiki. Sebab ada ambigiuitas di sana.
Perihal tata-cara menggunakan perangkat tersebut. Bila kita sepakat bahwa sosiologi
sastra adalah metode yang memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra,
maka konsekuensi logisnya ialah faktor sosial diutamakan untuk mencermati karya
sastra—tepat di situ titik persoalannya. Menurut Umar Junus, sebagai sebuah
metode sosiologi sastra memiliki dua corak, yaitu (1) sociology of literature dan (2) literary
sociology (1986 : 2) .
Jika Literary Sociology mengacu
pada pandangan sastra sebagai gambaran kehidupan sosial—oleh karena, pijakannya
terletak pada fenomena sastra, untuk memahami gejala sosial di luar sastra tapi
yang hadir di ‘realitas’ (teks
sastra), maka Sociology of Literature
malah memanfaatkan fakta sosial untuk menelusuri sastra. Artinya, bila yang
pertama menyelediki yang-sosial yang terdapat di dalam teks sastra—dalam hal ini ‘realitas’, maka yang kedua menghendaki teks sastra (‘realitas’) harus menampilkan fakta sosial realitas
an sich. Meskipun keduanya saya pikir
memiliki keterkaitan perihal menggunakan sastra sebagai alat memahami tingkah
pola manusia.
Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingewood dalam buku
berjudul The Sociology of Literature (1972)
mengetengahkan pandangan yang positif perihal tegangan yang kerap muncul di
antara keduanya. la memandang anggapan sastra sebagai sekedar bahan sampingan
saja untuk memahami masyarakat—ialah sebuah pijakan yang klise. Ia pun mengingatkan bahwa
dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus sastra harus
berhati-hati mengartikan slogan “sastra adalah cermin masyarakat”. Di sana ada
ambiguitas. Karena yang luput dari Swingewood ialah proses-kreatif sastrawan
memiliki pola yang tidak serupa muka yang dipantulkan cermin, melainkan osmosis
dengan berbagai hal yang melingkupinya—inilah yang di atas disebut pasemon.” Oleh sebab hubungan pengarang,
kesadaran, dan tujuannya memilih sastra dan bukan ialah komponen satu-kesatuan
yang tak bisa dilupakan, namun hubungannya
tak sesederhana yang kita bayangkan. Olehnya, hemat saya, frase pasemon menjadi tepat—dus, karena itu juga sosiologi digunakan
untuk memahami setiap kelok pasemon tersebut.
Memang setiap kelok selalu memberikan kejutan dan kedutan. Namun bagi saya
jelas, sebagaimana yang sudah saya tuliskan, dan bila Sampeyan membacanya
dengan cermat ini untuk ketiga kalinya dalam tulisan ini—realitas an sich menjadi
titik-tolak, terminus a quo, dan
sekaligus titik-tuju, terminus ad quem—pada
batang-tubuh ‘realitas’ keduanya
terbantun. Karenanya, bagi saya, seorang sastrawan berdiri di dua kaki yang
berpijak pada realitas an sich dan ‘realitas’. Meski sastrawan bukanlah
dewa, tentu saja, melainkan serupa dengan pengendara tong setan atau buruh
pabrik dalam hal alienasi dan aktualisasi.
Di titik ini saya malas mempersoalkan benturan dan pertautan antara slogan
“sastra untuk sastra” dan “sastra untuk opo
kui…”. Namun, di lain kesempatan, saya harap ada yang mempersoalkan hal
tersebut—karena dalam sejarah sastra modern Indonesia hal tersebut belum lah
benar-benar ‘selesai’—sambil menimbang-nimbang fakta sejarah kebudayaan
Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka
yang pertama-tama menolak/menampik realitas
an sich dalam ‘realitas’ adalah mereka yang
kembali merengkuh dan memeluk realitas
an sich dalam ‘realitas’ ketika politik tidak lagi menjadi panglima dan revolusi
benar-benar dibenamkan dalam laju pembangunanisme. Lebih terangnya begini: mereka yang mendengungkan metode Ganzheit di tahun 1971 (sebuah metode
yang mempertanyakan struktural-formalis dalam menghadapi selarik puisi) dan
Sosiologi Sastra di tahun 1978 (perangkat ilmu sosial dalam mendedah karya
sastra, dan sudah dibahas di atas) dan sastra kontekstual di tahun 1983 (upaya mengembalikan sastra ke tengah-tengah
masyarakat, realitas an sich)—ialah mereka-mereka juga yang di tahun 1960-an dengan teguh dan bijak
bestari menolaknya. Kalau bukan Asu Teles,
apa namanya, Su?
Apakah ini yang disebut dengan amnesia-sejarah? Saya tidak yakin, dan saya
tidak ingin menyebutnya sebagai amnesia.
Tidak adil, cuk. Yang saya tahu,
sastra tidak pernah benar-benar clear and clean dengan Politik (dengan P
besar, bila merujuk Ranciere), melainkan sastra berhadap-hadapan, vis a vis antara Politik dan
yang-politik (dengan p kecil). Artinya, sastra tidak pernah bisa lepas dari
kondisi vis a vis kekuatan politik
dan oposisi-biner ideologis dalam palagan sejarah Indonesia. Akhirnya, bagi
saya, karena itulah sastra menjadi menarik. Ia tidak akan benar-benar menjadi sekedar sastra.
/4/
JIKA
SAMPEYAN masih juga keukeuh bahwa sastra dan sastrawan lebih mulia
ketimbang wahana tong setan dan deodoran, silakan baca kalimat di bawah ini
dengan melantunkan kidung kesedihan para pemurung yang pernah tercatat di buku
sejarah sambil merancap dengan pelumas air matamu:
“Tinggalkanlah,
jika dia memang cinta sejatimu, dia akan kembali dengan cara mengagumkan,”—Tere
Liye, Rindu.
Jelek,
kan?
Saran
saya, lebih baik Sampeyan pakai deodoran sambil naik tong setan—itu jauh lebih
berfaedah ketimbang Sampeyan bergumul dengan kalimat-kalimat serupa di atas,
bila Anda masih juga beranggapan sastra sekedar
sastra.
Atau
apalagi? Mungkin itulah alasan utama saya mengapa sedari awal kukatakan
kepadamu, wahai Pecinta Sastra dan Pengikut Akun Line @Kumpulan_Puisi yang
Budiman, menjadi sastrawan dan pengemudi tong setan dan buruh pabrik itu sama
saja. Hanya berbeda nasib dan takdir. Selebihnya sama, produk budaya… []
Jatikramat, Maret-April
2017
*Tyo
Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016)
dan buku keduanya akan mengudara di kuartal ketiga tahun ini.
Post-script:
Naskah ini hasil re-writing dari
naskah awal yang didiskusikan dalam forum DKS, UNJ pada akhir Maret lalu.
Karenanya kepada kawan-kawan DKS dan pihak yang datang, saya ucapkan terima
kasih atas komentar, kritik, dan masukkan yang sangat bermanfaat bagi naskah
yang kini ditampilkan—terutama perdebatan perihal Sastra populer dan Sastra
sebagai produk (budaya) populer. Selebihnya tanggung jawab atas seluruh isi
tulisan sepenuh berada di pundak saya— T.P.
Daftar Pustaka:
Borgatta,
Edgar F. and Rhonda J. V. Montgomery. Encyclopedia
of Sociology Second Edition (Edisi Pertama tahun 1992). Macmillan Reference
USA: New York, 2000.
Damono,
Djoko Damono. Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: 1984.
______________________
“Sastra, Citizen,
Netizen” makalah dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra “Sastra dan Perubahan:
Dinamika Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi Sastra” Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 10-11 Oktober 2016.
Kuntowijoyo. “Sastra Indonesia
Mencari Arah” dalam Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana:
Yogyakarta. 1987.
Swingewood, Alan and Diana
Laurenson. The Sociology of Literature.
MacGibbon and Kee: London. 1972.
Teeuw.
A. Sastra
dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Bandung. 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar