PERGANTIAN REZIM DUNIA:
KONFLIK ARAB SEBAGAI PELAJARAN DAN FRONT NASIONAL SEBAGAI JAWABAN
Oleh: Iman Zanatul Haeri
![]() |
Koleksi: Eva Bee | 2015 |
/1/
SUATU KETIKA berita tentang kematian di wilayah konflik Suriah menyeruduk alam batin kita dan membuka peluang hadirnya solidaritas-solidaritas buatan bernama ‘badan amal’ dan ‘organisasi penyalur dana bantuan’. Di saat yang sama, ketika pembebasan Kota Allepo dan rakyat Suriah bisa kembali ke kotanya dengan aman, sebuah kantor berita yang meliput momen tersebut tidak sengaja memperlihatkan bungkusan kardus bantuan dari Indonesia, yang selama ini dipakai oleh kelompok bersenjata yang melawan pemerintah Suriah.[1]
Kita benar-benar tertipu, dan memang bukan sekali ini kita ditipu. Tahun 1990, Nayirah, seorang anak perempuan asal Kuwait menangis sambil bersaksi di hadapan kongres Amerika Serikat bahwa pasukan Sadam Husein telah membunuh 300 bayi di kampung halamannya. Belakangan kita semua akhirnya tahu, bahwa Nayirah seorang pembohong. Ia adalah anak dari Duta besar Kuwait (masih keluarga kerajaan) yang dilatih oleh perusahaan konsultan Hill & Knowlton,[2] agar bisa menangis di hadapan publik dengan nilai kontrak pelatihan sebesar 11,9 juta dollar atau 111 Milyar Rupiah. Uang memang selalu lebih nyata dari pada air mata. Tapi kita terlambat, karena pidato tangisan Nayirah, yang dikenal sebagai Cry Babies, membuat kongres AS menyetujui penyerangan terhadap Irak dan mendapatkan alasan membangun Pangkalan militer di Kuwait.
Masih di Irak, pada tanggal 5 Februari 2003, Colin Powell menjerit di PBB untuk menyakinkan negara-negara yang hadir bahwa SMDs atau senjata pembunuh massal dimiliki oleh Sadam Husein, Presiden Irak. Tanggal 13 Desember 2003, Sadam Husein berhasil ditangkap oleh pasukan khusus AS.[3] Seorang kepala negara ditangkap oleh pasukan negara asing di wilayah negaranya sendiri. Hal yang lebih mengerikan adalah—setelah pembunuhan jutaan warga Irak oleh tentara AS—senjata pemusnah massal yang digembor-gemborkan tidak ditemukan. Seperti biasanya, tuduhan itu tidak terbukti dan tanpa malu jeritan paranoia tentang senjata pemusnah massal hilang seperti mitos.
Cerita lama seperti ini sudah sangat membosankan. Bagi beberapa orang yang jangkauan pengetahuannya terbatas hanya pada propaganda media pro-Barat, mereka tidak akan pernah bosan dicocoki informasi bahwa Pemimpin A atau B di belahan bumi manapun sangat layak diserang dan ditumbangkan. Menarik bahwa target utama invasi militer AS ke suatu negara bukan sebatas retorika HAM dan Demokrasi, namun karena disebabkan AS ingin mendirikan suatu vassal atau patok kekuasaan. Hal ini pernah diungkap Vladimir Putin dalam suatu Wawancara:
“Untuk membuktikan bahwa suatu negara memiliki senjata pemusnah massal mereka (Amerika Serikat) mulai menginvasi negara tersebut, menghancurkan pasukannya, menggantung pemimpinnya, lalu akhirnya kita tidak menemukan apapun. Saya mulai bertanya; bagaimana sebenarnya rekan kita ini (USA)? Saya tidak berfikir bahwa rekan kita ingin membentuk suatu aliansi—mereka hanya ingin mendirikan suatu vassal. Mereka hanya ingin memerintah disana. Itu tidak akan berlaku bagi Rusia.” [4]
Penyataan Presiden Rusia, menyiratkan bahwa terdapat suatu wilayah di belahan dunia ini yang tidak boleh dijangkau oleh nafsu Imperialisme Barat, salah satunya Rusia. Rangkaian negara-negara yang menjadi target invasi AS di kawasan Arab adalah negara-negara yang terbukti memiliki resistensi terhadap dollar, seperti Iraq[5], Libya[6], dan kemudian Suriah. Daftar ini masih berlanjut pada beberapa negara yang masih terlindung dari invasi dollar seperti Korea Utara, Kuba dan Iran. Tidak mengherankan bahwa ketiga negara tersebut selalu muncul dalam pemberitaan media Barat dalam bentuknya yang paling buruk secara konsisten. Di sisi lain, media Barat terus menggembor-gemborkan nostalgia Perang Dingin atas bantuan Rusia terhadap pemerintah Suriah untuk membasmi kelompok teror bersenjata dari berbagai fraksi. Opini yang beredar adalah mengenai berbahayanya Rusia seperti masa Uni Soviet. Penerbitan kembali tulisan-tulisan dan analisa politik-ekonomi pada masa Perang Dingin mengarahkan masyarakat Eropa dan AS untuk menghidupkan kembali ketakutan pada musuh-musuh yang dibangkitkan oleh media propaganda. Begitulah media Barat bekerja.
![]() |
Seorang tentara AS sedang menutupi muka patung Saddam Husein dengan bendera Amerika Serikat (April/2003) | Koleksi: EPA PHOTO AFPI/RAMZI HAIDAR |
Propaganda Media Barat
Salah satu kunci kemenangan Barat dalam perpolitikan global adalah patuhnya media mereka terhadap agenda politik pemimpin negaranya. Kebebasan pers, HAM, dan Demokrasi datang ke penjuru dunia dengan keangkuhan—yang sering dipakai untuk alasan-alasan yang tidak manusiawi sekalipun, seperti perang. Barat sebagai egosentris ras dan geopolitik memiliki akar sejarah yang panjang. Hal ini sudah dimulai menjelang Perang Dunia II. Terbukti bahwa media massa di AS seragam untuk mendukung keterlibatan AS dalam perang Dunia ke II. Hal ini dimulai dengan media massa di AS mulai searah dengan propaganda pemerintah mereka untuk menyudutkan Jepang dan Jerman yang menjadi target musuh perang. Fake news atau berita bohong dikenal sebagai ‘black propaganda’. Selain melalui film dan siaran radio, media massa di AS memenuhi kolom berita dengan berbagai hal-hal buruk yang dilakukan tentara Jepang dan ancaman NAZI yang tidak pernah sekalipun mencoba menguasai AS.
Franklin D Rosevelt, Presiden AS yang dianggap sebagai pahlawan yang mengakhiri Perang Dunia II. Hal ini berbanding terbalik dengan fakta, bahwa korban Perang Dunia kedua terbanyak adalah Penduduk Uni Soviet yang melawan Nazi Jerman—yang hampir berhasil menembus pertahanan terakhir Moscow, Kota Stalingrad. Keterlibatan AS dalam perang dunia II bukan karena landasan moril dan kemanusiaan; membela demokrasi, menolak fasisme hingga membantu tanah leluhur mereka (Inggris dan Perancis) seperti yang digembor-gemborkan dalam pidato politik para politisi AS saat itu. Kenyataannya, keterlibatan AS dimotivasi oleh kepentingan ekonomi. Setelah Malaise 1929, industri berat dan manufaktur AS mengalami kolaps. Sembilan dari sepuluh warga AS tidak memiliki pekerjaan. Perang Dunia II mengarahkan para penganggur tersebut untuk mereformasi industri AS agar bisa berjalan kembali. Para penganggur menjadi prajurit wajib militer dan pabrik bisa beroperasi kembali. Perang menjadi anugerah. Seperti contoh industri otomotif mobil Ford yang berubah menjadi pabrik senjata berat untuk keperluan perang.
Pada dekade berikutnya, kita menyaksikan “pembunuhan karakter terhadap Uni Soviet” selama perang Dingin 1945-1991. Toko-toko buku di AS dipenuhi buku yang menyandingkan Hitler bersama Stalin sebagai tokoh se-arah dan se-ideologi; melupakan bahwa di bawah kepemimpinan Stalin, pihak komunis mau bekerjasama dengan pusat kapitalisme dunia; AS. Keruntuhan Soviet menjelang tahun 1990-an bukan hanya karena keroposnya struktur politik-birokrasi negara-negara Komunis, namun karena tekanan publik global yang dipenuhi informasi keliru tentang kehidupan di negara-negara komunis. Proyek penelitian hingga kajian wilayah pada era Perang Dingin turut berperan sebagai ‘pembusukan’ terhadap segala informasi mengenai lawan politik AS atau supremasi Barat. Kemenangan yang ilusif tersebut mendapatkan panggung yang luar biasa meriah dengan penerbitan buku F. Fukuyama, “The End of History”. Tanpa membacanya dan melalui publikasi yang luar biasa, semua orang merayakannya sebagai kemenangan kapitalisme di dunia. Wajar bila belakangan buku “The End of History”, sering dikutip untuk landasan filosofis tentang sistem politik masa depan karena popularitasnya, bukan kualitasnya.
Pada awalnya negara-negara pasca-komunis seperti Rusia dan Cina dituduh sebagai negara yang sangat mengkontrol media massa mereka. Namun, Pier Robinson[7] mencoba mengingatkan, bahwa “Kita (Inggris) yang menjadi bagian dari “western media” melakukannya lebih parah”. Ia menyebutkan bagaimana media Inggris secara seragam mendukung keterlibatan Inggris dan AS untuk invasi ke Afganistan dan Irak. Media Barat mainstream seperti NBC, BBC, CNN, New York Times seringkali disebut-sebut sebagai pionir ‘Western Media’ yang memiliki kecenderungan sebagai media propaganda. Bahkan Donald Trump menyebut berita di media CNN sebagai sebuah Fake News. Meskipun tidak bisa dibantah, melalui Fake News, popularitas Donald Trump meningkat tajam yang akhirnya mengantarkan ia ke kursi presiden. Jaringan media Barat mewariskan tradisi tersebut ke media massa yang dianggap raksasa di Timur Tengah, yaitu Al Jazeera. Para pendiri Al-Jazeera merupakan sekumpulan karyawan media Barat BBC cabang Timur Tengah yang sempat dibubarkan oleh Saudi.
Munculnya Para Pahlawan Informasi
Kiamat hegemoni media Barat dimulai dengan hadirnya Wikileaks yang menggegerkan dunia informasi. Pada tahun 2006, Wikileaks berdiri dan mulai membocorkan dokumen-kawat diplomatik AS di seluruh dunia. Mau tidak mau, seluruh media bawah tanah dan mainstream menjadikan bocoran Wikileaks sebagai bagian paling menghebohkan jagat berita global. Bocoran pertama yang menghebohkan adalah “Cablegate” atau bocoran kabel diplomatik AS yang dibocorkan oleh Chelsea Manning (Tentara AS). Hal ini membuat Barack Obama kerepotan menelepon semua pemimpin negara yang merasa tersinggung dan meminta maaf atas bocoran dokumen tersebut. Misal, pihak diplomatik AS menyebut Raja Abdulah memiliki kecenderungan mengekspresikan dirinya dengan singkat karena perjuangan seumur hidup dengan kesulitan berbicara. Mereka juga, menyebut beberapa orang antara lain: Perdana Menteri Italia, Silvo Berlusconi sebagai ‘pecinta seks, kriminal jalanan’ yang memiliki hubungan spesial dengan Vladimir Putin; Benjamin Netanyahu (PM Israel) sebagai pria elegan dan ‘charming’ tapi tidak bisa menepati janji; Presiden Turki sebagai pemimpin yang terisolasi, menyebut Angela Merkel (Kenselir Jerman) dengan ‘teplon Merkel’, menyebut hubungan Putin dan Menvedev seperti Batman dan Robin, menyebut Gordon Brown (Perdana Menteri Inggris) memiliki ‘track record buruk’ yang pergi dari satu bencana ke bencana lain’. Bocoran ini dianggap hinaan oleh beberapa pemimpin negara, namun ini bukan yang terburuk.
Penyelidikan atas bocoran ini akhirnya berhasil menjebloskan Manning ke Penjara, yang dianggap pembocor, yang memberikan data terhadap Wikileaks. Lebih dari itu, Wikileaks berhasil membocorkan video internal militer AS yang melakukan kejahatan kemanusiaan secara sengaja dan menyalahi prosedur standar. Yakni membantai warga sipil dan wartawan di Irak dengan helikopter canggih.
Satu detik sebelum helicopter AS menembak 2 wartawan di Irak tanpa senjata. |
Warga Irak datang mencoba menolong dan membawa wartwan yang terluka. |
Tentara AS malah menembaki warga setempat yang menolong wartawan. |
Dua anak tidak bersalah ada di dalam mobil namun ikut menjadi korban.[8] Video ini disebarkan oleh Wikileaks untuk memberitahu dunia tentang perang yang dijalankan oleh AS sudah tidak masuk akal.[9] Selebihnya skandal Trafigura atau pencemaran air di Afrika, dokumen dari University of East Anglia’s Climate Research Unit yang membuktikan bahwa pemanasan global adalah kebohongan besar, e-mail Podesta juru kampanye Hillary Clinton[10], dokumen penjara Guantanamo yang mengerikan dan yang paling mengejutkan situasi politik Timur Tengah adalah tekanan Kerajaan Saudi agar AS menyerang Iran, pendanaan ISIS, dan Hillary Foundation oleh Kerajaan Saudi.[11] Bahkan bocoran e-mail Hillary Clinton[12] yang menyatakan bahwa AS akan menjatuhkan As-Saad (Syiria) demi Israel. [13]
Selain Wikleaks, dunia informasi digemparkan dengan pengakuan Edward Snowden yang membeberkan proyek paling berbahaya bagi kebebasan informasi. Tahun 1917 pemerintah AS membentuk NSA (National Security Agency) sebagai kunci keamanan nasional setelah kongres AS menyatakan perang terhadap Jerman pada Perang Dunia Pertama (World War I). Tahun 2013, Edward Snowden terlibat dalam proyek NSA untuk pembuatan mesin pencari informasi yang dapat menembus seluruh jejaring data di seluruh dunia, menembus hingga dari data-data negara lain hingga data-data swasta seperti Google, Facebook, dan lainnya. Setelah proyek tersebut berhasil dijalankan Snowden pergi ke Taiwan dan bertemu dengan jurnalis The Guardian untuk wawancara dan memberikan bukti-bukti tersebut. Meski mengalami berbagai kendala, Snowden berhasil hidup aman setelah bersembunyi di Rusia. Ketakutan AS terhadap Snowden sempat terekam dalam peristiwa politik menegangkan, ketika secara sepihak otoritas militer AS menurunkan paksa pesawat kepresidenan Bolivia Eva Morales karena mendapatkan informasi bahwa Snowden berada di pesawat tersebut. Namun tidak ada Snowden di sana. Peristiwa memalukan itu dikomentari oleh Putin sebagai “Tindakan intelejen yang tidak profesional”. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Guardian, Slavoj Zizek bahkan berani menyatakan bahwa Julia Assange (pendiri Wikileaks), Chelsea Manning (Tentara AS pembocor informasi) dan Edward Snowden (pembocor proyek NSA) sebagai “Pahlawan baru kita”[14]
Formasi Konflik Timur Tengah: Dari Pipa Gas Hingga Petrodollar
Konflik di Suriah dimulai oleh pipa gas. Tahun 2009 Qatar membuat proposal tentang pembangunan proyek pipa gas dari negaranya menuju Eropa. Hal ini disambut baik oleh negara-negara yang menerima dan yang dilewati pipa gas tersebut. Pengetahuan geografi sangat menentukan di sini. Rencananya pipa gas akan dibentangkan dari Qatar (sebagai sumber gas), Saudi, Jordania, melalui Suriah, Turki, Yunani, Bulgaria hingga menyebar ke seluruh Eropa. Proposal ini disetujui oleh semua negara yang dilewati pipa gas tersebut, kecuali Suriah. Di sinilah tragedi dimulai.[15]
Di dunia ini terdapat tiga negara penghasil gas terbesar, Rusia, Iran, dan Qatar. Iran dan Qatar memiliki cadangan gas bersebalahan yang dibatasi oleh semenanjung Persia. Konsumen gas terbesar dari ketiga negara tersebut adalah Eropa. Secara tradisional, Eropa mendapatkan suplai gas dari Rusia. Gas dari Qatar cenderung lebih mahal sebab disalurkan melalui kapal tangker. Proposal pipa gas Qatar merupakan cara untuk menekan harga dengan mengurangi biaya distribusi gas. Sudah bukan rahasia bila AS melalui berbagai perangkat proxinya (termasuk NATO) berusaha untuk menjatuhkan sangsi kepada Rusia termasuk melemahkan perekonomiannya. Ketika Eropa sudah bisa mandiri atas kebutuhan gas dari Rusia terdapat dua prospek: melemahkan Rusia secara ekonomi dan mampu berhadapan dengan Rusia secara setara.
Bersambut baik, Suriah menolak proyek pipa gas Qatar, karena sudah memiliki rancangan pipa gas sendiri. Yakni mengirimkan gas ke Eropa dari Iran (sebagai sumber gas), melalui Irak dan Suriah sebagai pelabuhan kemudian mengirimkannya ke Yunani, menyebutnya sebagai Islamic Pipeline atau sering disebut Persian Pipeline. Alasannya sederhana, pipa gas akan dibuat melingkar diantara Iran, Irak dan Suriah, sedangkan penjualan gas akan disalurkan melalui pelabuhan Suriah ke Eropa, dengan jarak yang sangat dekat. Artinya, Irak dan Suriah mendapatkan suplai gas dengan mudah dan murah, selebihnya Suriah bisa menjadi pintu masuk penjualan gas sehingga pelabuhan Suriah bisa ramai. Tentu proyek ini sangat berbeda dan menjadi pesaing berat proyek pipa gas yang diusung Qatar.
Gerakan untuk de-stablisasi politik di Suriah atau menggulingkan Pemerintahan Bashar As Saad menjadi satu-satunya jalan untuk meloloskan proyek pipa gas Qatar tersebut. Proses pembusukkan Suriah dimulai ketika Suriah secara resmi menolak proposal pipa gas Qatar dan pada tahun 2011, ketika Arab Spring mulai mempengaruhi warga Suriah ditambah beberapa kelompok radikal yang disusup ke negara tersebut. Negara yang sangat berkepentingan untuk menggagalkan Persian Pipeline adalah negara yang paling diuntungkan dari proyek Pipa gas “Qatar Pipeline”. Tidak lain adalah Turki. Dr Lin, mantan Direktur Kebijakan Cina di Departemen Pertahanan AS bahkan menyebut proposal pipa gas Qatar sebagai ‘Impian keuntungan Erdogan’.[16]
Eskalasi politik, aksi jalanan, hingga kelompok bersenjata sangat terkonsentrasi di kota Aleppo, Suriah. Banyak analis mengira Aleppo menjadi pusat pemberontakan karena kesadaran demokrasi yang tinggi warganya. Namun, itu keliru. Aleppo adalah kota yang akan dilewati dalam propsal pipa gas Qatar, yang berbatasan dengan Turki. Oleh sebab itu hubungan antara Turki dan kelompok bersenjata “Jabal Al-Nusra” yang mendorong gejolak di Aleppo sudah tidak bisa dibantah pihak manapun. Menguasai Aleppo adalah target utama Turki jika kemudian Suriah terbelah maka Aleppo sudah berada dalam kekuasaan Turki. Hal inilah yang hendak ditunjukan Turki ketika menembak jatuh pesawat Jet Rusia di antara perbatasan Turki-Suriah, yakni melindungi kelompok radikal proxy mereka dari serangan udara Rusia. Namun hasilnya berbalik, Rusia tidak gentar dan malah membuat Turki membayar beberapa kompensasi terhadap korban pilot jet Rusia.
Secara umum terdapat dua kekuatan yang bertarung membelah Suriah. Pertama adalah Pemerintah Resmi Suriah, Bashar As Saad yang didukung oleh rakyatnya, dan didukung oleh Rusia dan Iran. Kedua adalah para pemberontak yang disebut-sebut media Barat dengan ‘Moderat rebels’ atau pemberontak moderat yang didukung oleh AS, Turki, dan Koalisi Saudi (Qatar, Kuwait, Inggris, Canada, Perancis dll). Pada pihak kedua terdapat pecahan fraksi. Turki memanfaatkan pemberontak Jaba Al-Nusra, Saudi dan koalisinya memanfaatkan ISIS dan Al-Qaeda, AS dan NATO memberi stimulus berlebih agar terbentuknya negara Kurdi untuk membuat posisi tawar dengan Turki, agar Turki tidak sepenuhnya menguasai Aleppo. Hal ini membuat berang Erdogan sehingga kemudian ia melakukan ‘diplomasi dua-kaki’ antara AS dan Russia. Di sisi lain, etnis Kurdi tetap diberikan harapan dapat mendirikan negara baru oleh AS agar konsentrasi Turki terbelah. Di sisi lain, ISIS berhasil menjadi suatu wilayah kekusaan yang mencakup Irak dan Suriah.
Keberhasilan kerumitan formasi perang proxy ini adalah luputnya Israel dari perhatian media. Israel menjadi suatu pengecualian dari kedua pihak ini, meskipun secara umum ia adalah negara yang selalu searah dengan kebijakan AS namun sewaktu-waktu bisa dengan sepihak mengambil bagiannya sendiri. Ketika jurnalis Al-Jazeera mewawancarai pejabat Mosad (Badan Intelejn Israel) dan mempertanyakan mengapa Israel membantu pasukan ISIS yang terluka diperbatasan Israel-Suriah, ia berpolemik aneh dengan menyebut bahwa Bashar As Saad lebih penting untuk segera digulingkan daripada harus menyerang ISIS. Maka tidak heran, dalam e-mail yang bocor, Hillary Clinton bersumpah bila komunitas Yahudi mendukung pencalonannya, Amerika akan menggulingkan Bashar As Saad demi Israel. Kemelut Suriah ini dimanfaatkan oleh Saudi yang sudah menggempur Yaman sejak 2015 silam hingga memberikan kebebasan pesawat jet Israel untuk mondar-mandir wilayah udara Saudi hanya untuk memastikan komitmen Israel membantu Saudi menyerang Iran.
Sentimen Sunni-Syiah yang terang-terangan dilakukan Saudi sangat dimanfaatkan oleh AS dan Israel untuk menjadi pemain kunci dari formasi konflik Suriah. Sialnya, media Barat berhasil menguasai opini dengan mengirimkan NGO yang berasal dari veteran pasukan Inggris berjubah lembaga kemanusiaan bernama White Helmet, yang secara masif memberikan informasi asimetris. Sejak tahun 2013, White Helmet berhasil menjadi pemberitaan atas beberapa informasi/video yang memperlihatkan nuansa kekejaman Bashar As-Saad dan Rusia ketika menyerang pemberontak. Hal ini sempat menjadi perhatian tim khusus PBB untuk melakukan investigasi lapangan. Dari tahun 2013 hingga geger senjata kimia 2017 lalu, tidak satupun informasi dari White Helmet terbukti oleh tim investigasi PBB. Bahkan Jurnalis Kanada, Eva Bartlet pernah memberikan keterangan Pers dikantor PBB betapa kotornya permainan White Helmet yang menjadi ujung tombak kebohongan media Barat di Suriah. Dalam hal ini, media Barat memang tidak kehilangan kemampuan tradisional untuk membuat berita palsu atau sering juga disebut False Flag.
What is Coming?
Kedatangan Rusia ke Timur Tengah merupakan kelanjutan dari sikap Putin atas perilaku ekonomi-politik-militer AS di perbatasan Rusia. Kembali pada era keruntuhan Soviet tahun 1991, Rusia mendapatkan pukulan kembali di tahun 1999, ketika krisis ekonomi di Rusia dimanfaatkan oleh konglomerat di sana yang lebih dikenal dengan istilah ‘Oligarki’ atau para konglomerat di lingkaran pemerintahan di bawah kepemimpinan Yetsin. Terpilihnya Putin menjadi Presiden Rusia memutar-balikan keadaan, meski beberapa perlawanan dari “komplotan modal” tersebut sempat membuat pasar saham Rusia dan Rubel jatuh, namun Putin berhasil memperbaiki keadaan. Dari sanalah berlanjut pada beberapa perbaikan ekonomi dan kepemilikan BUMN di Rusia yang berhasil diambil alih oleh Pemerintah meski dengan cara-cara yang (dianggap) melanggar HAM. Ketika Kodhorvsky yang dianggap melakukan kejahatan pajak dan permainan saham di Rusia, ia ditangkap oleh pasukan bertopeng, dan selama itu dipaksa untuk menandatangani penyerahan perusahaan BUMN Rusia kembali kepada pemerintah—kabarnya Simon Perez, PM Israel kala itu, sempat pingsan oleh ketegasan Putin terhadap para Oligarki. Bahkan, tahun 2016 Putin mengusir dedengkot Bank Yahudi, Rockefeller Bank dari Rusia. Kebanyakan Oligarki di Rusia berdarah Yahudi dan ini sudah menjadi rahasia umum di sana. Lebih dari itu, kedutaan resmi Israel di Rusia sempat membahas kekhawatiran terhadap berkembangnya sikap anti-Semit[17] atau anti-Yahudi di Russia.[18]
Masyarakat Rusia memiliki alasan historis mengapa mereka menyimpan kebencian terhadap bangsa Yahudi. Karena masyarakat Rusia menganggap bahwa kekacauan ekonomi di Rusia, sejak era Uni Soviet dimulai 1917, keruntuhannya 1990 hingga krisis 1999 disebabkan oleh orang-orang Yahudi. Hal ini menjadi alasan mengapa dalam beberapa kesempatan Rusia bisa mendapatkan keuntungan besar dengan ikut mendukung keberadaaan Israel dan pengaruhnya di Timur Tengah, namun memilih untuk bersikap tidak populer; membela Suriah bahkan belakangan seringkali mendukung kemerdekaan Palestina. Kemungkinan besar, perundingan yang diprakarsai oleh Eropa dan AS dalam polemik Palestina dan Israel seringkali berbicara dari sisi Israel, sedangkan penyelesaian tersebut membutuhkan fasilitator yang berdiri ditengah, bukan AS yang sejak lahirnya Israel tahun 1948 tidak pernah mampu menolak keputusan politik Israel.
Keberadaan Rusia di Timur Tengah merupakan kunci dari perimbangan kekuasaan hegemoni AS dikawasan tersebut. Awalnya, Rusia menunjukan diri untuk ikut campur dalam kepentingan AS di negara-negara yang menjadi target invasinya dibagi menjadi beberapa hal. Pertama, Rusia sudah terbebas secara ekonomi dari pengaruh Barat. Gazprom, BUMN gas terbesar yang dimiliki Rusia sudah diambil-alih dan menyusul BUMN lainnya secara bertahap. Kedua, Rusia sudah bebas dari beban hutang luar negeri. Ketiga, Militer Rusia sudah dipercanggih. Keempat, Rusia sudah siap untuk perang opini di media dengan meningkatnya popularitas media TV dan berita Rusian Today (RT), yang dalam beberapa tahun belakangan menjadi siaran televisi dan media massa dengan rating tertinggi berpengaruh di negara-negara Eropa. Kelima, Russia masih negara pemilik cadangan nuklir terbesar di muka bumi.
Namun, kesiapan ini bukan dibentuk untuk menghadapi perang berkelanjutan atau menikmati kompleksitas industri militer yang dialami AS, yang meraup keuntungan dari perang dan penjualan senjata. Hadirnya Rusia di Timur Tengah bertujuan untuk mengembalikan stabilitas politik di sana. Rusia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas ekonomi-politik-militer di kawasan-kawasan dunia, sebab Rusia sudah siap menghadapi perdagangan besar. Jack Ma saat bertemu Donald Trump berkata: “Perdagangan terhenti, Perang dimulai.”[19]
Istilah ini tidak cocok untuk Rusia, sebab beberapa dekade belakangan pertumbuhan ekonomi Rusia sedang mengalami kemajuan, dengan catatan bila Sanksi Barat juga dihentikan. Bayangkanlah AS adalah toko sebelah yang sepi pembeli, mengamuk adalah analogi yang paling cocok menjelaskan perilaku negara tersebut. Namun, Rusia tidak sendirian. Beberapa negara dunia ketiga dan tertinggal yang tengah bangkit, berada di posisi Rusia; di kala stabilitas bisa menjaga perekonomian mereka maju, namun ‘barat’ tetap berusaha untuk membuat destabilisasi kawasan. Inilah alasan beberapa negara merapat ke Rusia. Alasan awalnya, Rusia dianggap negara paling tangguh untuk berhadapan dengan AS. Alasan sederhananya; Rusia memiliki nuklir.
Negara-negara yang sudah bangkit bahkan sedang melakukan ekspansi ekonomi adalah China dengan produk massalnya, menyusul India dengan pengembangan teknologinya, Brazil dengan produksi pangannya, Afrika selatan sebagai pusat keilmuan baru di daratan Afrika. Tahun 2009 diadakan pertemuan resmi di Yekaterimburg, terdiri dari Brazil, Rusia, India dan China, dengan rencana awal mendirikan suatu Bank yang akan mengakhiri ‘IMF’ sebagai lembaga pendonor hutang. Tahun 2010 Afrika Selatan bergabung. Berdirilah BRICS.
Kerjasama ekonomi ini merupakan penguatan kerjsama yang sudah dijalin agar tekanan AS melalui sanksi ekonomi tidak akan berakibat fatal pada negara-negara tersebut. Sebab eskalasi politik semakin meningkat di awal tahun 2017 bukan semata-mata oleh oleh konflik inheren tiap negara yang bertentangan dengan AS, namun dengan alasan yang paling tidak masuk akal pun AS akan memaksa untuk menginvasi sesukanya. Respon AS terhadap Ancaman Korea Utara jelas merupakan suatu tindakan provokatif bukan defensif. Sebab dengan hampir lebih dari 400 pangkalan Militer AS mengelilingi Asia-Pasifik, sesungguhnya Korea Utara bukanlah suatu ancaman. Pertanda perang besar sudah mulai terlihat dengan “pertunjukan kekuatan militer AS” terhadap semua potensi politik yang hendak berhadapan dengannya.
Seperti dijatuhkannya Mother of All Bombs (MOAB) pasukan Militer AS ke Afganistan pada bulan April 2017. Penjatuhan MOAB merupakan tanda bahwa AS sudah tidak terikat dengan perjanjian pengurangan senjata nuklir dengan negara manapun. Bila memang Korea Utara bukan target dari pertunjukan militer AS, lalu untuk apa kapal induk AS di Australia harus merapat ke Laut Cina Selatan?
Seperti dalam film John Pilger pada akhir tahun 2016, ketika AS menjatuhkan bom ke Afganistan dengan dalih menghancurkan lorong suplei ISIS dan secara tanpa diduga mengirimkan kapal induknya mendekat ke Asia Timur dengan alasan Korea Utara, sedangkan kita bahkan belum menyadari target utama dari pengalihan ini. Ketika AS berhasil mengarahkan semua, opini media, dan perhatian kita semua tentang keterlibatan Rusia di Timur Tengah, 400 Pangkalan Militer AS dengan cadangan senjata nuklir mengelilingi dan sudah mengarahkan hidungnya di setiap pojok pantai Republik Rakyat Cina.[20] Mudah diduga, setiap sentimen anti-Cina di Indonesia dengan sendirinya sudah bekerja secara langsung maupun tidak langsung untuk kepentingan CIA di Asia Tenggara. Perang besar akan dimulai, dan kita semua yang mampu memperkirakannya tentu saja berharap kita keliru!
Lalu apa yang akan kita lakukan? Kondisi ini persis periode rentan krisis nuklir Kuba pada era 1960-an. Pada saat itu sikap kita sebagai sebuah bangsa dibacakan di hadapan PBB, menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena mampu menyatakan sikapnya secara mandiri. Saat itu Soekarno membacakan pidatonya berjudul “Membangun Dunia Baru”. Pertanyaanya hari ini; apakah Jokowi atau pemimpin Indonesia lainnya mampu bersikap mandiri atau tetap menjadi bidak dalam percaturan politik internasional Barat? []
Bersambung, dan akan berlanjut pada Bagian Kedua.
Pandenglang, April 2017
*Iman Zanatul Haeri—Penulis adalah anggota Litbang LBH Rakyat Banten dan Bergiat di FPPI Pandenglang.
Catatan Akhir:
[1] Lihat siaran televisi Euronews yang meliput pembebasan kota Aleppo, Suriah. Warga Aleppo mulai menempati beberapa fasilitas umum untuk normalisasi keadaan juga mencari bahan makanan karena selama ini mereka kelaparan. Seseorang yang ditanya mengatakan, “Setiap malam kita tidur dengan perut lapar.” Saat warga mengambil beberapa bahan makanan yang ditimbun di suatu gedung bekas sekolah, yang dipakai kelompok bersenjata, di antara timbunan tersebut terdapat kardus bertuliskan Indonesian Humanitarian Relief (Pada menit ke 00:51). Lembaga ini dipimpin oleh Bachtiar Nasir, tokoh aksi Bela Islam di Jakarta silam.
[2] Untuk melihat kehebatan perusahaan ini silakan baca uraian Jeffrey Goodell http://www.nytimes.com/1990/09/09/magazine/what-hill-knowlton-can-do-for-you-and-what-it-couldn-t-do-for-itself.html?pagewanted=all
[5] Laporan America Monetery Institute tentang penolakan Sadam Husein terhadap dollar dalam, http://www.monetary.org/was-the-iraqi-shift-to-euro-currency-to-real-reason-for-war/2010/12
[6] Penolakan Libya terhadap Petrodollar dalam, http://www.globalresearch.ca/the-libyan-war-american-power-and-the-decline-of-the-petrodollar-system/24542
[7] Pier Robinson. Russian News May be Biased- But so is Much Western Media. The Guardian August 2 2016.
[8] Penulis memberikan penjelasan terlampau khusus untuk video ini sebab mengalami desakan mental ketika menulisnya karena terlalu banyak melihat bagaimana kejamnya perang ketika menyusun tulisan ini. Penulis meminta maaf atas kelancangan yang sangat manusiawi ini.
[16] Lin, Syrian Buffer Zone- Turkey-Qatar Pipeline. ISPSW. Issue Np. 367 Agustus 2015
[17] Daftar konglomerat Russia berdarah Yahudi yakni M. B Khodorvsky, Roman Abrahamovic, Platon Lebedev, Boris Berezovsky dan lainnya. https://en.wikipedia.org/wiki/Antisemitism_in_Russia
[19] Jack Ma merupakan pengusaha sukses yang mendirikan perusahaan Alibaba, yang menjadikannya orang terkaya di Cina. Samuel Osborn, “If Trade Stops, War Starts’ Alibaba Founder Who Visited Donald Trump Warns”, The Independent. 5 Februari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar