POLITIK PENCITRAAN SEBAGAI NARASI HIPOKRIT
Oleh:
Triawan Herdian
![]() |
Koleksi: Wouter van Riessen | 2016 |
“Anda tak bisa
mengubah orangnya sesuai narasi. Anda hanya bisa mengubah narasi sesuai
orangnya.”
BEGITU UCAP ‘Calamity’
Jane (Sandra Bullock) yang tergesa di awal pemaparannya ketika mengkonfirmasi
sebuah aksi yang dilakukan oleh kliennya. Klien Jane merupakan seorang kandidat
Calon Presiden, Pedro Castillo, yang akan merespon serangan telur oleh
simpatisan ‘kompetitor’-nya dalam Pemilu Presiden Bolivia. Sebagai konsultan
politik, Jane membawa gagasan membangun dan membentuk ‘Personal Branding” untuk kliennya tersebut, dengan ‘menjual’
pencitraan bahwa negara Bolivia akan menghadapi periode terburuk dalam sejarah,
dimana rakyat mesti memilih, mencari harapan dengan memilih orang baru atau
mencari pemimpin yang siap berperang ketika rakyat dalam krisis sosial dan
ekonomi.
Dari gagasan tersebut, film satir-fiksi
berjudul Our Brand Is Crisis yang rilis
tahun 2015 ini bermula. Film bergenre drama komedi mengambil latar Bolivia pada
tahun 2002. Film ini mengisahkan kerja seorang konsultan politik yang bernma Jane
Bodine, kembali berkiprah sebagai konsultan politik, kerja yang telah lama ia
tinggalkan. Kembalinya Jane di pengaruhi oleh rivalnya yang telah lebih dulu ‘bermain’
di Bolivia. Dikisahkan dalam film tersebut, Jane sedang membantu sebuah grup
konsultan dalam usaha memenangi kliennya—seorang kandidat presiden—yang memulai
masa kampanye dengan popularitas hanya 8%. Walaupun pernah menjadi Presiden,
dalam Pemilu yang akan yang dihadapi, Castillo tergambarkan tak memiliki gagasan
dan harapan untuk meraih suara rakyatnya. Namun, semuanya terbalik dengan
hadirnya ‘Calamity’ Jane sebagai konseptornya, Jane membangun persepsi pada
masyarakat, baik itu kliennya maupun lawan-lawan politiknya, persepsi yang
dibantu oleh media propaganda. Melalui ruang publik berupa pidato serta orasi
politik dan melalui media cetak ataupun media elektronik, tim kampanye Castillo
memaksimalkan propagandanya guna meraih popularitas rakyat. Tak herannya dalam
berpolitik, tentunya tak ada politik yang bersih, Film Our Brand Is Crisis menyajikan kepada kita mengenai kampanye
negatif di barengi kampanye positif.
![]() |
Sandra Bullock dalam film Our Brand Is Crisis (2015) |
Dalam
tataran nasional, merujuk Pilkada DKI Jakarta putaran ke-2 yang baru saja usai,
kita disuguhkan politik pencitraan dan serta kompetisi Personal Branding oleh semua calon. Hal ini dapat di lihat dari
para kandidat maju bukan berasal dari anggota partai. Saling lapor-melapor dan
kriminalisasi menjadi lumrah. Kampanye Pilkada DKl menampilkan sebuah drama yang
menguras emosi, menyulut sentimen yang di bangun atas kepalsuan yang ujung-ujungnya
kita tahu, tetap akan mengabaikan rakyat miskin. Sedikit banyak, hal ini akan
berdampak pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Karno pernah
memperingatkan “Janganlah
pemilihan umum ini nanti menjadi arena pertempuran politik, demikian rupa,
hingga membahayakan keutuhan bangsa”
yang disampaikan pada pidato kenegaraan pada HUT RI tahun 1954.
Kriminalisasi, kampanye negatif
melalui video, foto, selebaran gelap, broadcast-broadcast di media
sosial, hadang-menghadang kampanye oleh simpatisan, hembusan sentimen, politik
uang atau apa lah itu ... Tentu patutnya kita pertanyakan lagi, apakah
itu murni dari lawan politik atau hanya merupakan skema jebakan guna menurunkan
popularitas lawan politik. Hal ini tentunya telah lama berlangsung di negara
kita.
![]() |
Koleksi: Cem Kiziltug | 2013 |
Dewasa ini, orientasi politik dan media propaganda kerap kali
tidak merepresentasikan proses akumulasi kesadaran massa sebagai proses
pembelajaran. Revolusi teknologi yang dimulai dari media cetak hingga internet
turut mempengaruhi praktik propaganda politik. Ruang dan media propaganda
mengalami evolusi sehingga telah bervarisasi sedemikian rupa. Pencitraan
politik dan politik pencitraan melalui visualisasi media dipercaya sebagai
media reproduksi, produksi dan distribusi propaganda politik terbaik. Meskipun
sifatnya searah, instan dan pragmatis. Kemandulan propaganda politik dewasa ini
semakin terlihat jelas, ketika proses ideologisasi tidak berjalan, tradisi ‘politik
uang’ yang justru semakin berkembang.
Dalam konteks film Our Brand is Crisis yang dibahas diawal tulisan ini, setelah Pemilu
Presiden berlangsung, dan Castillo akhirnya terpilih, ia kembali ke dirinya
yang lama. Setelah Pemulu usai “narasi” yang di citrakan pun lenyap. Dalam
menghadapi krisis ekonomi, Castillo membuka gerbang untuk masuknya IMF—hal ini
berbalik dengan janjinya yang akan mengadakan referendum dengan rakyat jika
membawa masuk IMF yang nyatanya hanya janji kosong belaka. Rakyat Bolivia dalam
film itu akhirnya semakin menggelorakan perlawanan, sedangkan “Calamity’ Jane
yang telah berkali-kali melihat kenyataan pasca Pemilu membatin. Rakyat yang
mengadakan perlawanan di jalan meneguhkan hati Jane Bodine untuk melawan
kolonialisme ‘tangan tak terlihat” yang modern. Pada akhirnya, seperti yang
diungkapkan Jane Bodine, “Jika Pemilu
bisa mengubah segalanya, mereka pasti tidak akan mengizinkannya”. []
Rawamangun, April 1017
*Triawan Herdian—Mahasiswa
Pendidikan Sejarah UNJ dari tanah seberang, dan penyambi duniawi yang fana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar