Senin, 24 April 2017

Politik Pencitraan Sebagai Narasi Hipokrit

POLITIK PENCITRAAN SEBAGAI NARASI HIPOKRIT
Oleh: Triawan Herdian 
Koleksi: Wouter van Riessen | 2016
Anda tak bisa mengubah orangnya sesuai narasi. Anda hanya bisa mengubah narasi sesuai orangnya.
BEGITU UCAP ‘Calamity’ Jane (Sandra Bullock) yang tergesa di awal pemaparannya ketika mengkonfirmasi sebuah aksi yang dilakukan oleh kliennya. Klien Jane merupakan seorang kandidat Calon Presiden, Pedro Castillo, yang akan merespon serangan telur oleh simpatisan ‘kompetitor’-nya dalam Pemilu Presiden Bolivia. Sebagai konsultan politik, Jane membawa gagasan membangun dan membentuk ‘Personal Branding” untuk kliennya tersebut, dengan ‘menjual’ pencitraan bahwa negara Bolivia akan menghadapi periode terburuk dalam sejarah, dimana rakyat mesti memilih, mencari harapan dengan memilih orang baru atau mencari pemimpin yang siap berperang ketika rakyat dalam krisis sosial dan ekonomi.
      Dari gagasan tersebut, film satir-fiksi berjudul Our Brand Is Crisis yang rilis tahun 2015 ini bermula. Film bergenre drama komedi mengambil latar Bolivia pada tahun 2002. Film ini mengisahkan kerja seorang konsultan politik yang bernma Jane Bodine, kembali berkiprah sebagai konsultan politik, kerja yang telah lama ia tinggalkan. Kembalinya Jane di pengaruhi oleh rivalnya yang telah lebih dulu ‘bermain’ di Bolivia. Dikisahkan dalam film tersebut, Jane sedang membantu sebuah grup konsultan dalam usaha memenangi kliennya—seorang kandidat presiden—yang memulai masa kampanye dengan popularitas hanya 8%. Walaupun pernah menjadi Presiden, dalam Pemilu yang akan yang dihadapi, Castillo tergambarkan tak memiliki gagasan dan harapan untuk meraih suara rakyatnya. Namun, semuanya terbalik dengan hadirnya ‘Calamity’ Jane sebagai konseptornya, Jane membangun persepsi pada masyarakat, baik itu kliennya maupun lawan-lawan politiknya, persepsi yang dibantu oleh media propaganda. Melalui ruang publik berupa pidato serta orasi politik dan melalui media cetak ataupun media elektronik, tim kampanye Castillo memaksimalkan propagandanya guna meraih popularitas rakyat. Tak herannya dalam berpolitik, tentunya tak ada politik yang bersih, Film Our Brand Is Crisis menyajikan kepada kita mengenai kampanye negatif di barengi kampanye positif. 
Sandra Bullock dalam film Our Brand Is Crisis (2015)
Dalam tataran nasional, merujuk Pilkada DKI Jakarta putaran ke-2 yang baru saja usai, kita disuguhkan politik pencitraan dan serta kompetisi Personal Branding oleh semua calon. Hal ini dapat di lihat dari para kandidat maju bukan berasal dari anggota partai. Saling lapor-melapor dan kriminalisasi menjadi lumrah. Kampanye Pilkada DKl menampilkan sebuah drama yang menguras emosi, menyulut sentimen yang di bangun atas kepalsuan yang ujung-ujungnya kita tahu, tetap akan mengabaikan rakyat miskin. Sedikit banyak, hal ini akan berdampak pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Karno pernah memperingatkan Janganlah pemilihan umum ini nanti menjadi arena pertempuran politik, demikian rupa, hingga membahayakan keutuhan bangsa” yang disampaikan pada pidato kenegaraan pada HUT RI tahun 1954.
        Kriminalisasi, kampanye negatif melalui video, foto, selebaran gelap, broadcast-broadcast di media sosial, hadang-menghadang kampanye oleh simpatisan, hembusan sentimen, politik uang atau apa lah itu ... Tentu patutnya kita pertanyakan lagi, apakah itu murni dari lawan politik atau hanya merupakan skema jebakan guna menurunkan popularitas lawan politik. Hal ini tentunya telah lama berlangsung di negara kita.
Koleksi: Cem Kiziltug | 2013
        Dewasa ini, orientasi politik dan media propaganda kerap kali tidak merepresentasikan proses akumulasi kesadaran massa sebagai proses pembelajaran. Revolusi teknologi yang dimulai dari media cetak hingga internet turut mempengaruhi praktik propaganda politik. Ruang dan media propaganda mengalami evolusi sehingga telah bervarisasi sedemikian rupa. Pencitraan politik dan politik pencitraan melalui visualisasi media dipercaya sebagai media reproduksi, produksi dan distribusi propaganda politik terbaik. Meskipun sifatnya searah, instan dan pragmatis. Kemandulan propaganda politik dewasa ini semakin terlihat jelas, ketika proses ideologisasi tidak berjalan, tradisi ‘politik uang’ yang justru semakin berkembang.
        Dalam konteks film Our Brand is Crisis yang dibahas diawal tulisan ini, setelah Pemilu Presiden berlangsung, dan Castillo akhirnya terpilih, ia kembali ke dirinya yang lama. Setelah Pemulu usai “narasi” yang di citrakan pun lenyap. Dalam menghadapi krisis ekonomi, Castillo membuka gerbang untuk masuknya IMF—hal ini berbalik dengan janjinya yang akan mengadakan referendum dengan rakyat jika membawa masuk IMF yang nyatanya hanya janji kosong belaka. Rakyat Bolivia dalam film itu akhirnya semakin menggelorakan perlawanan, sedangkan “Calamity’ Jane yang telah berkali-kali melihat kenyataan pasca Pemilu membatin. Rakyat yang mengadakan perlawanan di jalan meneguhkan hati Jane Bodine untuk melawan kolonialisme ‘tangan tak terlihat” yang modern. Pada akhirnya, seperti yang diungkapkan Jane Bodine, “Jika Pemilu bisa mengubah segalanya, mereka pasti tidak akan mengizinkannya”. []

Rawamangun, April 1017


*Triawan Herdian—Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNJ dari tanah seberang, dan penyambi duniawi yang fana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar