MEMPRETELI PEJUANG AIR BANTEN
Oleh: Iman Zanatul Haeri
![]() |
Koleksi: Water Remunicipalisation Tracker | 2013 |
Laporan kasus Kriminalisasi terhadap Warga Penolak Pembangunan Pabrik Air Kemasan PT. Tirta Fresindo Jaya di Cadasari-Baros.
DI PAGI hari pukul 9.00, tanggal 7 Februari 2017, Bima yang sedang tertidur di rumahnya didatangi segerombolan orang tidak dikenal dengan bersenjatakan laras panjang, menggeledah seluruh isi rumah dan mengacak-acak barang-barang di dalamnya mencari sesuatu yang akhirnya tidak ditemukan. Ia pun ditangkap, tanpa pemberitahuan, surat tugas ataupun surat penangkapan. Di sore harinya, Puadi yang berprofesi sebagai tukang cukur sedang menerima pelanggannya di Cadasari, Pandeglang, Banten. Ia tidak menyangka pelanggan barunya tersebut adalah aparat kepolisian berpakaian preman. Tanpa pemberitahuan, tanpa surat tugas, ataupun surat perintah penangkapan—ia ditangkap. Di hari yang sama, malam pukul 21.00 Bapak Sair yang sedang menghadiri slametan mertuanya didatangi segerombolan orang tidak dikenal mengaku sebagai polisi untuk segera membawanya masuk ke dalam mobil—ditangkap. Tanpa surat pemberitahuan, surat perintah atapun surat perintah penangkapan.
Sebagaimana keluarga Puadi, mertua Sair dan orang tua Bima, kebingungan mengapa keluarga mereka ditangkap oleh orang-orang yang mengaku polisi. Mereka tidak pernah benar-benar memahami apakah orang-orang tersebut adalah polisi atau bukan, sebab tidak ada identitas resmi, surat pemberitahuan, surat tugas ataupun surat penangkapan. Namun mereka sadar, aparat kepolisian menangkap mereka atas peristiwa sehari sebelumnya, tanggal 6 Februari 2017. Saat itu mereka “diduga” pihak kepolisian terlibat aksi damai di depan Kantor Bupati Pandeglang (Irna Narullita) dan aksi lanjutan di lokasi pembangunan Pabrik Air kemasan yang mereka tolak.
Perjuangan masyarakat Cadasari dan Baros menolak pembangunan Pabrik Air kemasan PT. Tirta Fresindo Jaya dari Mayora Grup telah berlangsung sejak 2014. Masyarakat Cadasari pada umumnya mengandalkan pertanian sebagai mata pencahariannya. Bentang alam persawahan dan mata air yang melimpah menyatu bersama kearifan lokal sebagai masyarakat kyai, santri, dan basis pesantren salafiyah. Pada pembangunan awal pabrik air kemasan tersebut dilakukan penimbunan tanah yang secara langsung akibatnya dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Tidak hanya Cadasari yang terletak di Kabupaten Pandeglang, tetapi juga Kecamatan Baros di perbatasan yang masuk ke dalam Kabupaten Serang. Sawah-sawah masyarakat sekitar lokasi pembangunan pabrik air kemasan mulai surut dan mengering. Dampak yang meluas melewati batas kecamatan mungkin kabupaten sangatlah mungkin terjadi, sebab air di dalam tanah tidak mengenal batas-batas administrasi.
Aksi demonstrasi MENOLAK PRIVATISASI DAN SWASTANISASI AIR di Pandenglang, Banten awal Februari 2017
Koleksi: TIRTO ID | 2017
|
Konflik agraria antara masyarakat setempat dan perusahaan bukan kisah baru di negeri ini. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2016 konflik Agraria antara warga dan swasta terjadi sebanyak 38,22% dari seluruh Indonesia. Termasuk di dalamnya upaya privatisasi air oleh pihak swasta. Bahkan Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) melalui Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) pada tanggal 13 Februari 2017 sudah menerbitkan siaran pers bersama untuk menyikapi situasi tersebut. Tuntutan ini terdiri dari delapan poin, yakni:
- Membebaskan warga yang ditangkap
- Menghentikan penyisiran terhadap warga-warga
- Memprotes tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan PT Tirta Fresindo Jaya terhadap hak agraria warga Cadasari-Baros
- Agar PT Tirta Fresindo Jaya menghormati surat Bupati Pandeglang tentang penghentian kegiatan perusahaan (No. 0454/1669-BPPT/2014)
- Kepada Bupati Pandeglang dan Jajarannya agar mengambil langkah-langkah penghentian kegiatan PT. Tirta Fresindo Jaya
- Kepada Pemerintah Indonesia khususnya Kementrian PUPR agar menghentikan swastanisasi terselubung
- Kepada Presiden Jokowi, Gubernur Banten, dan Bupati Pandeglang agar menjamin dan menghormati hak-hak warga sesuai UUD 1945 pasal 33 ayat 3
Secara yuridis, perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang dinilai cacat, sebab menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuatnya sendiri, yakni Perda no 3 tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Pandeglang tahun 2011-2031. Sebab pada pasal 31 ayat 1 dan 2 yang memasukan wilayah Kecamatan Cadasari kedalam wilayah resapan air, pasal 35 ayat 4 yang memasukan Cadasari sebagai kawasan lindung geologi (mata air) dan pasal 39 ayat 6 yang memasukan Cadasari sebagai kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahkan sudah menurunkan laporan tentang pelanggaran Yuridis ini.
Upaya privatisasi air merupakan program pinjaman Bank Dunia (Water Resources Sector Adjusment Loan). Yakni cara pandang baru terhadap air, bahwa air adalah barang ekonomi yang bisa dikomersialisasi, dikomodifikasi dan diprivatisasi. Namun, program tersebut sudah usang dan dianggap tidak menyelesaikan persoalan pendanaan dan pelayanan publik. Sekretaris Jendral Public Service International (PSI), Rosa Pavanelli, sudah menyatakan bahwa privatisasi air sudah gagal memenuhi janji-janjinya. Sebab tidak ada kosultasi publik, selalu terdapat negosiasi rahasia dan jani-janji palsu The Guardian (18/032015).
Betul, pihak swasta (dalam hal ini PT. Tirta Fresindo Jaya) maupun pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang memberikan janji-janji palsu. Pada awal pembangunan, masyarakat Cadasari hanya diinformasikan bahwa pembangunan pabrik tersebut hanyalah pembangunan gudang. Lalu bupati sebelumnya (Drs Erwan Kurtubi) sudah mengeluarkan surat Penghentian kegiatan Pabrik dengan surat nomor 0454/1669-BPPT/2014, namun ternyata sampai akhir tahun 2016 kegiatan pembangunan pabrik terus berlangsung. Hal itu memancing reaksi masyarakat Cadasari. Aspirasi masyarakat Cadasari; santri, ulama, petani dan warga sekitar tidak tersalurkan sebab pemerintah Kabupaten Pandeglang menutup ruang-ruang komunikasi. Terbukti, kala masyarakat mendatangi Pendopo Bupati Irna Narullita, ia malah menghindar didepan warga yang menunggu untuk audensi pada tanggal 6 Februari 2017. Hal tersebut yang menyebabkan warga melakukan aksi lanjutan dilokasi pembangunan Pabrik dan terjadi kericuhan hingga Puadi, Firdaus dan Bima ditangkap keesokan harinya.
Perjuangan tetap berlangsung, Tim Kuasa Hukum (LBH Rakyat Banten) warga yang ditangkap mengajukan Praperadilan di Pengadilan Negeri Pandeglang. Sidang pertama terjadi tanggal 27 Februari 2017 saat pembacaan permohonan Praperadilan. Pada tanggal 28 Februari 2017 pembacaan jawaban dari termohon (pihak kepolisian). Pihak Kepolisian tidak mengakui adanya penangkapan tanpa surat pemberitahuan (surat tugas, surat penangkapan dll). Padahal beberapa hari sebelumnya pada tanggal 12 februari 2017 AKBP Ary Satriyan selaku Kapolres Pandeglang pernah menanggapi rencana praperadilan dari kuasa hukum ketiga warga di depan media, ia mengatakan “surat Penangkapan bisa saja diberikan setelah tertangkap, ... itu ga apa-apa tanpa surat penangkapan,” Tanggerang Hits (12/2/2017).
Upaya-upaya kriminalisasi terhadap warga yang menolak pembangunan pabrik terus terjadi. Termasuk didalamnya arogansi aparat. Penangkapan tiga warga bukan lagi persoalan hukum mengingat penangkapan oleh kepolisian yang menyalahi aturan. Setelah peristiwa tanggal 6 Februari 2017, warga diwarnai kecemasan karena banyak aparat berpakaian preman maupun resmi masuk ke kampung-kampung di Cadasari, siang, malam mapun subuh, bersenjata lengkap dengan rombongan mobil. Upaya ini menimbulkan rasa tidakaman terhadap warga yang dikenal menolak pembangunan pabrik air kemasan tersebut. Kriminalisasi tersebut memiliki target yang lebih luas, yakni melemahkan perjuangan masyarakat menolak keberadaan pabrik yangmempertahankan hak dasar hidup mereka atas air. []
Pandenglang, Maret 2017.
*Iman Zanatul Haeri—Penulis adalah anggota Litbang LBH Rakyat Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar