AKU DAN DEMOKRASI
Oleh:
M. Z. Aris
![]() |
Koleksi: Bansky | 2009 |
Untukmu yang tak sempat
kuucapkan kata terima kasih.
Kerinduan saat dimana
kita dengan leluasa bercengkrama
kau
mengajariku untuk tegak berdiri, mandiri.
Hingga tegak sama tinggi
walau
kita sering kali berbeda pendapat
karena
memang tanah tempat kita berpijak berlainan.
Tapi kita tetap saling
percaya,
sebagai manusia-manusia
pencari kebenaran
—Dalam kenangan,
Adi Nusferadi dan Rumah Ibunda yang
kurindukan
SANGATLAH menggelikan mati demi pemimpin—baik politik, agama,
maupun negara—tetapi sangat beralasan mati demi
demokrasi.
Setidaknya itulah yang
selalu mereka katakan kepada kita. Dalam tulisan ini aku tidak sedang
mempertikaikan prinsip tersebut: jika seseorang tidak memberikan nyawanya untuk
“sesuatu”, maka orang tersebut akan berakhir dengan memberikan hidupnya untuk sesuatu yang sia-sia. Namun, sebelum aku mempersembahkan nyawaku di atas altar
persembahan demi demokrasi, ada baiknya melakukan
perenungan akan hal tersebut. Nampak memang, inilah bentuk rezim yang secara
umum ditampakkan oleh berbagai negara-bangsa yang sedang berkuasa di kolong
langit bumi manusia ini—cukup adil, tetapi
kapan saja aku mencari bukti-bukti, aku mengamati bahwa bergantungnya mereka
semua akan demokrasi adapada bukti yang
diberikan oleh orang lain.
Aku telah
melihat gambar uang-uang dan pintu-pintu atau altar-altar saat masuk berbagai
institusi pemerintahan bahwa negara ini memproklamirkan dirinya sebagai sebuah
Republik. Aku bisa membaca undang-undang dasar,
hukum ketatanegaraan dan peraturan kepartaian maupun anggaran dasar dan rumah
tangga partai politik, tetapi para sejarawan telah lama mengetahui bahwa kajian
tentang hukum-hukum tertulis (legal
formal) bukan merupakan cermin yang licin tentang cara dimana berbagai
institusi sebenarnya beroperasi.
Sebagai seorang
anak kecil, aku diberi suatu pandangan optimis tentang sejarah oleh orang-orang
tua termasuk “pengajar sejarah”—akan sebuah kata yang
telah sederajat tingkatannya dengan doa; yaitu kemajuan. Menurut pandangan yang telah diterima
secara umum bahwa ini telah disepakati, penderitaan, kerja keras dan
pengorbanan para leluhur kita, dari manusia macam Soekarno sampai manusia-manusia
yang menerbitkan fajar Reformasi telah membawa kita pada momen yang sakral,
saat dimana kaum tersekolahkan pada akhirnya membawa pembebasan dan meraih “kursi
kekuasaan”.
Aku sama sekali
tidak seluruhnya terbebas dari optimisme ini, bahwa keyakinan akan setiap
periode sejarah menyelesaikan suatu kemajuan melebihi kemajuan yang diraih oleh
periode sejarah sebelumnya dan mengandung benih-benih kemajuan masa depan—aku rasa kesadaran sejarah yang mengendap di jiwaku bersifat linier, bergaris satu,berdimensi
satu—seperti rel kereta api, mungkin masalah
yang akan lebih aku perdalam adalah tentang kesadaran waktu itu sendiri dari
berbagai masa.
Aku cenderung
memercayai bahwa era Reformasi tak pelak lebih demokratis daripada era
kepemimpinan Soeharto, sementara kaum tersekolahkan telah duduk nyaman di altar
kekuasaan, kemajuan menjadi penjelasan universalnya. Akan tetapi, jika aku
tidak lagi bisa memercayai kemajuan, siapakah
yang dapat membuatku yakin bahwa demokrasi tidak sedang mengalami kemunduran?
Apakah aku tahu bagaimana demokrasi berjalan di dalam sebuah keluarga, di
sebuah universitas, di sebuah partai politik, di sebuah ibukota negara?
Ringkasnya, aku tahu rezim yang berkuasa di Indonesia, tanah tumpah darahku,
lewat selentingan-selentingan suara, sama seperti aku mengetahui gambaran akan
surga tempat aku belum pernah menginjakkan kakiku.
Akan tetapi,
banyak orang mengklaim, meng-aku
telah memiliki suatu pemahaman yang telah mentradisi dan praktis tentang makna
dari institusi-institusi kita. Bagi mereka, demokrasi diterima begitu saja, dari sononya seperti apa adanya, seperti
makan dan buang air; mereka merasakan demokrasi itu setiap hari dalam denyut
kehidupan mereka. Ketika hak-hak mereka dihormati, bahkan ketika mereka
memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Anda bisa datang dan pergi, memikirkan dan
mengatakan apa saja yang ada dalam tempurung kelapa Anda; Anda bersuara, Anda diberi tahu berbagai peristiwa
oleh pers dan Anda dilindungi dari tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan
negara atau pribadi-pribadi yang picik;
itulah demokrasi.
Menyangkut perihal diriku, demokrasi
tidak sesederhana itu. Tentu saja aku bisa memandang bahwa—sama seperti warga komunitas lain—kita memiliki hak-hak tertentu dan harus melakukan
kewajiban-kewajiban tertentu.Segera setelah aku
meyakinkan diri sendiri bahwa aku betul-betul memiliki hak yang telah diberikan
kepadaku, gambarannya buram, kurang jelas. Tidak bisa dipungkiri, aku memiliki
hak untuk memilih,
tetapi dapatkah aku
diyakinkan bahwa perlakuan memilihku diambil dari diriku? Sebagai contoh, di
ibukota sebuah negara yang penduduknya menganut dan memeluk beragam agama,
negara yang berketuhanan yang Maha Esa: Buddha, Hindu,
Islam, Katolik,
Protestan, Konghucu
dls.Ternyata setiap daripada pemuka agama mewajibkan bagi setiap pemeluk
agamanya untuk memilih pemimpin yang satu agama dengannya, jika warga dari
pemeluk agama tertentu memilih pemimpin diluar agamanya, pemuka agama
masing-masing agama menyatakan ia sebagai kafir. Pemuka agama berseru “Jika kafir maka masuk neraka karena agama di luar dan selain agama kita itu salah,
karena salah maka pemeluk agama di
luar dan selain agama kita masuk neraka. Karena
dalam agama kita terdapat larangan dan mengharamkan memilih pemimpin kafir yang
tertulis dalam kitab agama kita, maka bagi yang memilih pemimpin diluar dan
selain dari agama kita melanggar aturan dan ketentuan TUHAN, maka berbahagialah
kalian yang memilih pemimpin di luar
dan selain dari agama kita karena kalian akan masuk neraka”.
Contoh lainnya,
andaikan saja negara di mana aku menjadi warga
negaranya, terpaksa menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan kebijakan
luar negeri dari negara yang “mengayomi” negaraku: lantas
apa bedanya jika aku membantu membawa partai ini atau partai itu ke
“kursi kekuasaan”?
Karena dalam realitasnya
tidak ada lagi kemandirian dan semua pemerintahan melakukan kebijakan yang
selaras? Untuk mengetahui bahwa aku benar-benar memiliki hak memilih,
pertama-tama aku harus menentukan, aku tak dipengaruhi unsur di luar diriku dan apakah Indonesia telah
mempertahankan atau telah kehilangan kedaulatannya.
Seperti yang
telah aku katakan di atas,demokrasi bila
menyangkut diriku bukan suatu yang sederhana.Gambarannya buram, tidak jelas. Lantas, bagaimana kalau demokrasi perihal kalian?
[]
April 2017
*M. Z. Aris—mahasiswa
Sejarah tingkat akhir UNJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar