Jumat, 07 April 2017

Aku dan Demokrasi

AKU DAN DEMOKRASI
Oleh: M. Z. Aris
Koleksi: Bansky | 2009
Untukmu yang tak sempat kuucapkan kata terima kasih.
Kerinduan saat dimana kita dengan leluasa bercengkrama
kau mengajariku untuk tegak berdiri, mandiri.
Hingga tegak sama tinggi
walau kita sering kali berbeda pendapat
karena memang tanah tempat kita berpijak berlainan.
Tapi kita tetap saling percaya,
sebagai manusia-manusia pencari kebenaran
—Dalam kenangan, Adi Nusferadi dan Rumah Ibunda yang kurindukan

SANGATLAH menggelikan mati demi pemimpinbaik politik, agama, maupun negaratetapi sangat beralasan mati demi demokrasi. Setidaknya itulah yang selalu mereka katakan kepada kita. Dalam tulisan ini aku tidak sedang mempertikaikan prinsip tersebut: jika seseorang tidak memberikan nyawanya untuk “sesuatu”, maka orang tersebut akan berakhir dengan memberikan hidupnya untuk sesuatu yang sia-sia. Namun, sebelum aku mempersembahkan nyawaku di atas altar persembahan demi demokrasi, ada baiknya melakukan perenungan akan hal tersebut. Nampak memang, inilah bentuk rezim yang secara umum ditampakkan oleh berbagai negara-bangsa yang sedang berkuasa di kolong langit bumi manusia inicukup adil, tetapi kapan saja aku mencari bukti-bukti, aku mengamati bahwa bergantungnya mereka semua akan demokrasi adapada bukti yang diberikan oleh orang lain.
Aku telah melihat gambar uang-uang dan pintu-pintu atau altar-altar saat masuk berbagai institusi pemerintahan bahwa negara ini memproklamirkan dirinya sebagai sebuah Republik. Aku bisa membaca undang-undang dasar, hukum ketatanegaraan dan peraturan kepartaian maupun anggaran dasar dan rumah tangga partai politik, tetapi para sejarawan telah lama mengetahui bahwa kajian tentang hukum-hukum tertulis (legal formal) bukan merupakan cermin yang licin tentang cara dimana berbagai institusi sebenarnya beroperasi.
Sebagai seorang anak kecil, aku diberi suatu pandangan optimis tentang sejarah oleh orang-orang tua termasuk “pengajar sejarah”akan sebuah kata yang telah sederajat tingkatannya dengan doa; yaitu kemajuan. Menurut pandangan yang telah diterima secara umum bahwa ini telah disepakati, penderitaan, kerja keras dan pengorbanan para leluhur kita, dari manusia macam Soekarno sampai manusia-manusia yang menerbitkan fajar Reformasi telah membawa kita pada momen yang sakral, saat dimana kaum tersekolahkan pada akhirnya membawa pembebasan dan meraih “kursi kekuasaan”.
Aku sama sekali tidak seluruhnya terbebas dari optimisme ini, bahwa keyakinan akan setiap periode sejarah menyelesaikan suatu kemajuan melebihi kemajuan yang diraih oleh periode sejarah sebelumnya dan mengandung benih-benih kemajuan masa depanaku rasa kesadaran sejarah yang mengendap di jiwaku bersifat linier, bergaris satu,berdimensi satuseperti rel kereta api, mungkin masalah yang akan lebih aku perdalam adalah tentang kesadaran waktu itu sendiri dari berbagai masa.
Aku cenderung memercayai bahwa era Reformasi tak pelak lebih demokratis daripada era kepemimpinan Soeharto, sementara kaum tersekolahkan telah duduk nyaman di altar kekuasaan, kemajuan menjadi penjelasan universalnya. Akan tetapi, jika aku tidak lagi bisa memercayai kemajuan, siapakah yang dapat membuatku yakin bahwa demokrasi tidak sedang mengalami kemunduran? Apakah aku tahu bagaimana demokrasi berjalan di dalam sebuah keluarga, di sebuah universitas, di sebuah partai politik, di sebuah ibukota negara? Ringkasnya, aku tahu rezim yang berkuasa di Indonesia, tanah tumpah darahku, lewat selentingan-selentingan suara, sama seperti aku mengetahui gambaran akan surga tempat aku belum pernah menginjakkan kakiku.

Akan tetapi, banyak orang mengklaim, meng-aku telah memiliki suatu pemahaman yang telah mentradisi dan praktis tentang makna dari institusi-institusi kita. Bagi mereka, demokrasi diterima begitu saja, dari sononya seperti apa adanya, seperti makan dan buang air; mereka merasakan demokrasi itu setiap hari dalam denyut kehidupan mereka. Ketika hak-hak mereka dihormati, bahkan ketika mereka memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. Anda bisa datang dan pergi, memikirkan dan mengatakan apa saja yang ada dalam tempurung kelapa Anda; Anda bersuara, Anda diberi tahu berbagai peristiwa oleh pers dan Anda dilindungi dari tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan negara atau pribadi-pribadi yang picik; itulah demokrasi.
Menyangkut perihal diriku, demokrasi tidak sesederhana itu. Tentu saja aku bisa memandang bahwa—sama seperti warga komunitas lainkita memiliki hak-hak tertentu dan harus melakukan kewajiban-kewajiban tertentu.Segera setelah aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku betul-betul memiliki hak yang telah diberikan kepadaku, gambarannya buram, kurang jelas. Tidak bisa dipungkiri, aku memiliki hak untuk memilih, tetapi dapatkah aku diyakinkan bahwa perlakuan memilihku diambil dari diriku? Sebagai contoh, di ibukota sebuah negara yang penduduknya menganut dan memeluk beragam agama, negara yang berketuhanan yang Maha Esa: Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Protestan, Konghucu dls.Ternyata setiap daripada pemuka agama mewajibkan bagi setiap pemeluk agamanya untuk memilih pemimpin yang satu agama dengannya, jika warga dari pemeluk agama tertentu memilih pemimpin diluar agamanya, pemuka agama masing-masing agama menyatakan ia sebagai kafir. Pemuka agama berseru “Jika kafir maka masuk neraka karena agama di luar dan selain agama kita itu salah, karena salah maka pemeluk agama di luar dan selain agama kita masuk neraka. Karena dalam agama kita terdapat larangan dan mengharamkan memilih pemimpin kafir yang tertulis dalam kitab agama kita, maka bagi yang memilih pemimpin diluar dan selain dari agama kita melanggar aturan dan ketentuan TUHAN, maka berbahagialah kalian yang memilih pemimpin di luar dan selain dari agama kita karena kalian akan masuk neraka”.
Contoh lainnya, andaikan saja negara di mana aku menjadi warga negaranya, terpaksa menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan kebijakan luar negeri dari negara yang “mengayomi” negaraku: lantas apa bedanya jika aku membantu membawa partai ini atau partai itu ke “kursi kekuasaan”? Karena dalam realitasnya tidak ada lagi kemandirian dan semua pemerintahan melakukan kebijakan yang selaras? Untuk mengetahui bahwa aku benar-benar memiliki hak memilih, pertama-tama aku harus menentukan, aku tak dipengaruhi unsur di luar diriku dan apakah Indonesia telah mempertahankan atau telah kehilangan kedaulatannya.
Seperti yang telah aku katakan di atas,demokrasi bila menyangkut diriku bukan suatu yang sederhana.Gambarannya buram, tidak jelas. Lantas, bagaimana kalau demokrasi perihal kalian? []

April 2017


*M. Z. Aris—mahasiswa Sejarah tingkat akhir UNJ. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar