Minggu, 02 April 2017

Hoax dan Simulacra Media

HOAX DAN SIMULACRA MEDIA
Oleh : Hanan Radian Arasy
Koleksi: Mahesh VC | 2016
HARI INI, siapa yang tidak mengenal media khususnya internet? Kebanyakan dari kita tentu memiliki instrumen baik berupa smartphone ataupun gadget lainnya, untuk mengakses sebuah layanan internet sehingga mempermudah dan menyederhanakan ukuran kuantitas jarak nampak begitu dekat. Hubungan relasi sosial dan pekerjaan dengan adanya internet membuat kita semakin mudah serta tetap terhubung walau jarak menghalangi kita. Namun, muncul pertanyaanya; apakah dengan kehadiran internet apalagi media sosial benar-benar berdampak pada efisiensi didalam essensi kehidupan kita yakni kerja dan interaksi?  Atau sebenarnya kita termanipulasi dalam sebuah fantasi homo hoaxicum yang bahkan menjadikan internet—sebagai gelombang pasang informasi bagi Generasi Milleniel—yang berujung pada kesadaran semu?

Homo Hoaxicum
Secara leksikal istilah Homo Hoaxicum berasal dari bahasa Yunani yang berarti homo atau manusia dan Hoaxicum—dari kata hocus pocus—dan bertransformai menjadi hoax yang berarati berkata dusta. Dititik inilah, kita mengetahui bahwa bagaimana manusia didalam struktur sosial masyarakat atau konteks yang melingkupinya memiliki kemampuan untuk tidak mengatakan hal yang sesungguhnya. Meminjam pendapat Foucault, baginya hidup manusia untuk mengabaikan, mengabstraksi, membuat topeng, menyembunyikan atau memproduksi kebenaran yang hanya versi dirinya sendiri.[1]
Satu hal yang menjadi masalah ialah bagaimana ketika kita membayangkan bahwa sifat dasar manusia yang mampu berdusta itu ditopang oleh suatu arus informasi yang selalu menuntut pembaharuan dari waktu ke waktu. Secara kumulatif, kebenaran pada akhirnyaa selalu diproduksi-dari waktu ke waktu beriringan dengan pembaharuan tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, ialah apakah ada kebenaran yang hakiki? Tentu saja tidak. karena segala kebenaran adanya ialah politisasi yang sifatnya kontitusional (Lihat: Derrida,1978:230).  Oleh karena itu kita tentu bisa mengambil kesimpulan bahwa kehidupan kita di dunia ialah untuk terus berjalan dari satu titik ke titik lainnya untuk terus berbohong serta menggapai suatu kebenaran yang tidak final!

Simulakra Media
Kita telah berada pada zaman simulasi! begitulah isi orasi Jean Baudrillard seorang sosiolog ekstrem di era 1980-an.[2] Menurutnya, kita tidak lagi didominasi oleh nilai-nilai produksi seperti kerja. Namun hari ini masyarakat telah dikontrol oleh dominasi media, model sibenetika, sistem pengendalian, komputer, hiburan, industry pengetahuan dan lain sebagainya.[3] Bagi Baudrillard di zaman simulasi yang beriringan dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan digital tiada yang riil atau jangan-jangan segalanya ialah kebohongan dan kebenaran itu sirna seluruhnya.[4] Penjelasan Baudrillard mengenai hal tersebut ialah pada tahap simulakra dan hiper-realitas. Saya ambil contoh ketika kita sedang menonton sinetron, kita ikut larut sedih kedalam jalan cerita yang dibuat oleh sutradara. Padahal, sinetron hanyalah cerita fiktif. Dititik itulah suatu pergeseran antara yang riil dan yang semu lebur menjadi satu dengan kata lain kabur sehingga kita tidak bisa membedakanya. Di titik ini mari kita bayangkan, berapa waktu luang yang kita gunakan untuk mengoperasikan televisi? Berapa waktu luang yang kita gunakan untuk menggengam dan mengoperasikan telepon genggam? Berapa waktu luang yang kita gunakan untuk berselancar didalam dunia maya atau internet? Inilah zaman kebohongan dan kita larut dalam kebohongan tersebut.
 
Koleksi: Quora | 2017
Kembalinya yang sosial
Pada dasarnya, internet diciptakan untuk memudahkan manusia dan membuat bumi lebih kecil. Namun, kenyataanya dunia memang lebih kecil tanpa internet. Sebelum adanya internet, manusia berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung di dalam kehidupanya masing-masing atau di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Kesadaran manusia dalam pembangunan secara matang tertuju pada suatu tatanan material kehidupan nir-maya. Maka, perlu dipertegas bahwa realitas sosial adalah kunci untuk keluar dari pelbagai urusan dunia yang mengaburkan batas-batas yang riil dan yang semu tersebut. kembalinya yang sosial dimaknai bahwa kehidupan maya dalam media massa dan sosial hanyalah bersifat sekunder bukan malah menggantikan aktivitas primer praktik kehidupan sosial kita. Karena perubahan dan kebermanfaatan kita tidak bisa diukur dan ditukar hanya dengan basis mikro-elektronik bukan? Kita membutuhkan kenyataan untuk berinteraksi antar sesama namun bukan berarti kita tersubordinasi oleh teknologi yang pada mulanya kita ciptakan untuk mempermudah kita. Karena yang hakiki tidak akan pernah ada dalam sosial media ataupun media massa. Kita tentu tahu, bahwa kebenaran di medium elektronik seperti mie instan; lama kelamaan akan melar dan tidak bisa kita rasakan lagi enaknya. Bahkan, berdampak pada kesehatan kita.  Ingatlah tuan dan nona, bahwa cinta bukan sekedar basis mikroelektronik atau emoji berserakan.[]

Rawamangun, Maret 2017

*Hanan Radian Arasy—adalah Pelajar abadi dan bergiat di Komunitas Diskusi Kamis Sore, FIS,UNJ.

Catatan Akhir:

[1] Michael, Focault. Discipline and Punish : The Birth of Prison (London: Penguin,1991) hlm.194.
[2] George,Ritzer,”Teori Sosiologi dari klasik hingga Postmodern” (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2012)hlm,678-679.
[3] ibid
[4] ibid

Daftar Pustaka:
Foucault,Michael.Discipline and Punish : The birth of prison”(1991,London:Penguin).
Ritzer,George. “Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik hingga Perkembangan Teori Sosial      Postmodern”(2012Yogyakarta:Kreasi Wacana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar