HOAX DAN SIMULACRA
MEDIA
Oleh
: Hanan Radian Arasy
![]() |
Koleksi: Mahesh VC | 2016 |
HARI INI, siapa yang
tidak mengenal media khususnya internet? Kebanyakan dari kita tentu memiliki
instrumen baik berupa smartphone
ataupun gadget lainnya, untuk
mengakses sebuah layanan internet sehingga mempermudah dan menyederhanakan
ukuran kuantitas jarak nampak begitu dekat. Hubungan relasi sosial dan
pekerjaan dengan adanya internet membuat kita semakin mudah serta tetap
terhubung walau jarak menghalangi kita. Namun, muncul pertanyaanya; apakah
dengan kehadiran internet apalagi media sosial benar-benar berdampak pada
efisiensi didalam essensi kehidupan kita yakni kerja dan interaksi? Atau sebenarnya kita termanipulasi dalam
sebuah fantasi homo hoaxicum yang bahkan menjadikan internet—sebagai gelombang
pasang informasi bagi Generasi Milleniel—yang berujung pada kesadaran semu?
Homo Hoaxicum
Secara leksikal istilah
Homo Hoaxicum berasal dari bahasa Yunani
yang berarti homo atau manusia dan Hoaxicum—dari kata hocus pocus—dan bertransformai menjadi hoax yang berarati berkata
dusta. Dititik inilah, kita mengetahui bahwa bagaimana manusia didalam struktur
sosial masyarakat atau konteks yang melingkupinya memiliki kemampuan untuk
tidak mengatakan hal yang sesungguhnya. Meminjam pendapat Foucault, baginya hidup
manusia untuk mengabaikan, mengabstraksi, membuat topeng, menyembunyikan atau
memproduksi kebenaran yang hanya versi dirinya sendiri.[1]
Satu
hal yang menjadi masalah ialah bagaimana ketika kita membayangkan bahwa sifat
dasar manusia yang mampu berdusta itu ditopang oleh suatu arus informasi yang
selalu menuntut pembaharuan dari waktu ke waktu. Secara kumulatif, kebenaran pada
akhirnyaa selalu diproduksi-dari waktu ke waktu beriringan dengan pembaharuan
tersebut.
Pertanyaan
selanjutnya, ialah apakah ada kebenaran yang hakiki? Tentu saja tidak. karena
segala kebenaran adanya ialah politisasi yang sifatnya kontitusional (Lihat:
Derrida,1978:230). Oleh karena itu
kita tentu bisa mengambil kesimpulan bahwa kehidupan kita di dunia ialah untuk
terus berjalan dari satu titik ke titik lainnya untuk terus berbohong serta
menggapai suatu kebenaran yang tidak final!
Simulakra Media
Kita telah berada
pada zaman simulasi! begitulah isi orasi Jean Baudrillard seorang sosiolog
ekstrem di era 1980-an.[2]
Menurutnya, kita tidak lagi didominasi oleh nilai-nilai produksi seperti kerja.
Namun hari ini masyarakat telah dikontrol oleh dominasi media, model
sibenetika, sistem pengendalian, komputer, hiburan, industry pengetahuan dan
lain sebagainya.[3] Bagi
Baudrillard di zaman simulasi yang beriringan dengan adanya perkembangan
teknologi informasi dan digital tiada yang riil atau jangan-jangan segalanya
ialah kebohongan dan kebenaran itu sirna seluruhnya.[4]
Penjelasan Baudrillard mengenai hal tersebut ialah pada tahap simulakra dan hiper-realitas. Saya ambil contoh ketika kita sedang menonton
sinetron, kita ikut larut sedih kedalam jalan cerita yang dibuat oleh
sutradara. Padahal, sinetron hanyalah cerita fiktif. Dititik itulah suatu
pergeseran antara yang riil dan yang semu lebur menjadi satu dengan kata lain
kabur sehingga kita tidak bisa membedakanya. Di titik ini mari kita bayangkan,
berapa waktu luang yang kita gunakan untuk mengoperasikan televisi? Berapa
waktu luang yang kita gunakan untuk menggengam dan mengoperasikan telepon genggam?
Berapa waktu luang yang kita gunakan untuk berselancar didalam dunia maya atau
internet? Inilah zaman kebohongan dan kita larut dalam kebohongan tersebut.
![]() |
Koleksi: Quora | 2017 |
Kembalinya yang sosial
Pada dasarnya,
internet diciptakan untuk memudahkan manusia dan membuat bumi lebih kecil. Namun,
kenyataanya dunia memang lebih kecil tanpa internet. Sebelum adanya internet,
manusia berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung di dalam kehidupanya masing-masing
atau di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Kesadaran manusia dalam pembangunan
secara matang tertuju pada suatu tatanan material kehidupan nir-maya. Maka, perlu dipertegas bahwa
realitas sosial adalah kunci untuk keluar dari pelbagai urusan dunia yang
mengaburkan batas-batas yang riil dan yang semu tersebut. kembalinya yang
sosial dimaknai bahwa kehidupan maya dalam media massa dan sosial hanyalah
bersifat sekunder bukan malah menggantikan aktivitas primer praktik kehidupan
sosial kita. Karena perubahan dan kebermanfaatan kita tidak bisa diukur dan
ditukar hanya dengan basis mikro-elektronik bukan? Kita membutuhkan kenyataan
untuk berinteraksi antar sesama namun bukan berarti kita tersubordinasi oleh
teknologi yang pada mulanya kita ciptakan untuk mempermudah kita. Karena yang
hakiki tidak akan pernah ada dalam sosial media ataupun media massa. Kita tentu
tahu, bahwa kebenaran di medium elektronik seperti mie instan; lama kelamaan
akan melar dan tidak bisa kita rasakan lagi enaknya. Bahkan, berdampak pada
kesehatan kita. Ingatlah tuan dan
nona, bahwa cinta bukan sekedar basis mikroelektronik atau emoji berserakan.[]
Rawamangun, Maret 2017
*Hanan Radian Arasy—adalah
Pelajar abadi dan bergiat di Komunitas Diskusi Kamis Sore, FIS,UNJ.
Catatan Akhir:
[1] Michael, Focault. Discipline and Punish : The Birth of Prison (London: Penguin,1991) hlm.194.
[2] George,Ritzer,”Teori Sosiologi dari klasik hingga Postmodern” (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2012)hlm,678-679.
[3] ibid
[4] ibid
Daftar Pustaka:
Foucault,Michael. “Discipline and
Punish : The birth of prison”(1991,London:Penguin).
Ritzer,George. “Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik
hingga Perkembangan Teori Sosial Postmodern”(2012Yogyakarta:Kreasi
Wacana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar