EKOFEMINISME DAN PERJUANGAN PEREMPUAN KENDENG
Oleh: Aini Nur Ramadhani
![]() |
Koleksi: Dandhy Dwi laksono | 2017 |
“Siapapun dia, bagaimanapun dia,
seorang ibu tidak dapat direduksir pada peranannya hanya semata-mata sebagai
ibu. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia yang berpikir, berhasrat, berkemauan
dan peduli terhadap lingkungannya”
– Adrienne Rich
DALAM KONTEKS kehidupan,
dialektika yang terjadi bukan hanya sesama manusia saja, namun manusia juga
berdialektika dengan tumbuhan, hewan, angin, udara dan air. Proses dialektika
manusia dengana alam bersifat mutualisme atau saling menguntungkan dan
bergantung antara satu dengan yang lainnya. Manusia membutuhkan alam untuk
mengeksplorasi sekelilingnya yang pada hasil eksplorasi tersebut manusia menggunakan
hasil yang telah didapat untuk bertahan hidup dan mengembangkan kemampuan dalam
berbagai hal. Kemampuan
manusia dalam mengolah alam berkembang dari cara konvesional ke modern, perubahan
dengan modernisasi mengenyampingkan dialektika manusia dengan alam. Manusia
dengan modernisasinya secara besar-besaran melakukan eksploitasi tanpa
mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem di sekitarnya. Modernisasi
menyebabkan manusia rakus akan kekayaan yang diambil dari alam, keuntungan
sebesar-besarnya menjadi tujuan utama dalam praktik eksploitasi demi
meningkatkan perekonomian segelintir orang dalam suatu negeri. Paradigma kapitalisme
ini merusak hubungan manusia dengan alam—manusia
merasa dirinya superior dan memutuskan kesatuan dari keterkaitan,
kebergantungan dan kesetaraan antara alam dan manusia.
Ekspoitasi yang berlebih atas alam
menandakan manusia sudah tidak mengenal tubuh dan dirinya—manusia abai akan
perikemanusiaan dan mengekspoitasi alam dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Sifat
manusia yang alpa bahwa sesungguhnya segala diskursus yang meliputi manusia
dalam lingkungannya membawa serta alam di dalamnya. Kerusakan lingkungan dalam
beberapa dekade akhir ini semakin
mengkhawatirkan,
menurut WALHI sejak tahun 2015
kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan, pengambilalihan hutan menjadi
lahan produktif industri pertanian sawit dan pertambangan oleh pihak swasta menambah kerusakan lingkungan
yang terjadi dan akan terus bertambah pada tahun-tahun yang akan datang.[1]
Permasalahan kerusakan lingkungan di
Indonesia adalah masalah klasik yang melibatkan pemerintah, koorporasi dan
disahkan melalui regulasi yang mendukung adanya eksploitasi besar-besaran
terhadap lingkungan.
Sehingga yang menjadi
korban adalah masyarakat yang bermukim di sekitar daerah ekspoitasi dan dampaknya
mampu menurunkan kualitas hidup masyarakat. jika berbicara mengenai regulasi,
maka pemerintah baik daerah ataupun pusat sudah bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 33 Ayat 3 “Bumi, Air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” serta pada Ayat 4 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Pada Ayat 3 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa semua kekayaan
alam yang dikuasai negara harus memberikan kemakmuran untuk rakyat. Jika eksploitasi alam
besar-besaran yang dikelola oleh swasta dan menyingkirkan mata pencaharian atau
menutup akses masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, lalu dimana
letak kemakmuran rakyat yang akan dicapai oleh pemerintah?
Peningkatan perekonomian harus diselenggarakan dengan
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, hal ini jelas
tertera dalam Ayat 4 Pasal 33 uud 1945 dan dari beberapa kasus seperti Freeport
dan Petani Kendeng, bahwa semua keuntungan tidak dirasakan oleh rakyat semua
asas dilenyapkan dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa besarnya bagi
lingkungan. Dalam porsi ini pemerintah tidak menjalankan amanat UUD 1945 karena
hanya korporasi yang diuntungkan.
Tulisan saya ini akan terfokus dalam mengupas persoalan
kerusakan lingkungan yag terjadi di Pegunungan Kendeng, Rembang,
Jawa Tengah,
dan dampaknya bagi petani perempuan. Saya akan membedah kasus
Kendeng dengan paradigma ekofeminisme, untuk penjelasannya akan saya jabarkan
dalam isi tulisan. Mengapa saya terfokus
pada perempuan, dalam hal ini saya akan berusaha menjawab beberapa tanggapan nyinyir yang akhir-akhir ini merebak
dikarenakan pada kasus Kendeng para perempuanlah yang turun berjuang. Saya akan
mencoba menjabarkan, mengapa perempuan Kendeng
lah
yang berjuang demikian kerasnya sehingga mengorbankan Yu Patmi yang meninggal
dikarenakan serangan jantung dan kelelahan yang berkepanjangan.
![]() |
Koleksi: @taringbabi | 2017 |
Perempuan dan Lingkungan
Alam selalu diasosiasikan sebagai ibu—ibu yang menyediakan
berbagai kebutuhan yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Ibu yang bersedia
berkorban sedemikian hebatnya mampu menanggung rasa sakit, rasa pedih, dan rela
menyerahkan apapun untuk anak-anaknya. Begitulah kiranya konsepsi seorang ibu,
dan begitulah alam menyediakan segala yang dibutuhkan oleh manusia, berbagai
kebutuhan manusia terutama manusia Indonesia yang hidup katanya di tanah surga.
Alam Indonesia yang ramah menyediakan berbagai kebutuhan hidup untuk
manusia-manusia, dari segi perairan, tanah, udara, pertanian, perkebunan,
rempah-rempah—semua yang dibutuhkan tersedia dari ujung Sabang hingga Merauke. Alam
menyediakan semua yang dibutuhkan meskipun dengan eksploitasi terus-menerus
selama bertahun-tahun. Jadi Istilah Ibu Pertiwi pada alam Indonesia, karena
alam menyediakan berbagai kebutuhan hidup rakyatnya.
Perempuan
Indonesia dalam kehidupan sosialnya sebagian besar hidup dalam
tradisi-tradisi yang mengatur hak dan
kewajiban perempuam dan ini menjadi kebiasaan yang terus dilakukan. Misalnya,
di Pedesaan Jawa yang mayoritas bertani, bahwa bertani mulai dari menanam padi
sampai padi dikeringkan atau disekam adalah tugas istri atau perempuan. Istri
pula yang menyiapkan nasi dan rempah-rempah, membeli peralatan rumah tangga.[2]
Semua pekerjaan yang berkaitan dengan sektor pertanian seperti pengolahan tanah
dan memastikan kecukupan air kaum perempuan sangat diperlukan.[3]
Perempuan
merupakan salah satu sumber daya potensial guna pelestarian lingkungan yang sering
dilupakan.[4]
Hubungan perempuan dengan alam bersifat mutualisme atau saling menguntungkan,
perempuan desa menanam tumbuh-tumbuhan untuk kebutuhan keluarga, memasak dan
pakan ternak. Perempuan desa memiliki local wisdom mengenai bagaimana mengelola
sumber daya lokal dan penduduk setempat dapat memenuhi kebutuhan dari
pengelolaan alam oleh perempuan.[5]
Pertanian yang sebagian besar dilakukan oleh perempuan merupakan konsep bertani
yang selara dengan alam, kaum perempuan bertani dengan etos kerja yang tinggi,
perempuan melakukan kegiatan pertanian sebagai nafkah pokok atau utama dalam
memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga.
Dalam studi
kasus pegunungan Kendeng merupakan pegunungan karst yang terletak di utara Jawa
yang meliputi Rembang hingga Pati. Pegunungan Kendeng mengandung 109 mata air
yang menghidupi 600ribu warga Rembang, kebutuhan akan mata air digunakan untuk
sumber pertanian, kebutuhan sehari-hari dan beternak.[6] Para
perempuan petani Kendeng dalam garda depan, seperti yang sudah diuraikan di atas
bahwa perempuan bertani memiliki local wisdom yakni pengetahuan alami tentang
lingkungan di mana mereka tinggal, mereka mengelola alam untuk kebutuhan hidup
keluarga dengan tidak mengeksploitasi, mereka mengambil kebutuhan dari alam
secukupnya. Para perempuan petani Kendeng mengerti bahwa tanah yang mereka
gunakan untuk kehidupan menghasilkan berbagai keuntungan baik secara materi
ataupun non-materiil dan berkelanjutan hingga anak-cucu mereka nanti. Jika pegunungan Kendeng akan tetap dipaksakan
untuk tetap dibangun pabrik semen, maka tidak menutup kemungkinan beberapa
daerah akan mengalami kekeringan berkepanjangan dan berpengaruh terhadap hasil
pertanian dan kualitas hidup masyarakat Kendeng.
![]() |
Koleksi: Marjinal | 2017 |
Perempuan
mengalami berbagai macam kekerasan dengan memarginalkan local wisdom yang
dimiliki oleh perempuan terhadap alam di sekitarnya—perempuan tidak dilibatkan
dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan kekayaan daerahnya dari serangan
industri yang menghantam sehingga perempuan kehilangan sumber pencaharian dan kehidupannya. Hal ini yang membuat perempuan bergantung kepada lelaki dalam segala hal. Ketidakterlibatan perempuan dan ketidakadilan gender ini dimanfaatkan oleh
korporasi untuk berunding dengan negara, kepala daerah, dan tetua desa untuk
merampas kebutuhan hidup perempuan sehingga perempuan menjadi tersubordinasi
dalam entitasnya sebagai perempuan. Apa yang terjadi ini merupakan dampak buruk
dari pilihan pembangunan yang berwatak patriarkis oleh industri tambang dan
perkebunan kelapa sawit dan perkebunan monokultur lainnya yang memiliki
karakter rakus air dan lapar tanah, dan melanggengkan marginalisasi fungsi alam
dan ekosistem bagi kehidupan bersama.[7]
Perempuan Kendeng berjuang melawan kekerasan dan kriminalisasi untuk
memperjuangkan tanahnya dan airnya. Perjuangan perempuan Kendeng mempunyai
dasar hukum yang kuat seperti yang dikutip Kompas, menurut asisten deputi
Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Kementrian Lingkungan
Hidup Antung Deddy Radiansyah, di Jakarta, selasa (21/10), survey bersama LIPI
itu untuk memperoleh data dan informasi guna menentukan status fungsi ekosistem
karst Rembang. Kesimpulannya, ekosistem karst Pegunungan Kendeng di utara
Rembang, yang juga daerah Cekungan Air Tanah Watuputih, punya fungsi lingkungan
tinggi sehingga pemanfaatannya harus hati-hati.[8]
Temuan ini menguatkan
pernyataan badan geologi kementrian ESDM Surono bahwa kawasan karst yang
membentang di Rembang dan Blora itu sudah ditetapkan sebagai CAT Watuputih
berdasarkan Keputusan Presiden NO. 26 tahun 2011 tentang CAT Indonesia.
Sebagian besar kawasan itu adalah daerah imbuhan atau perlindungan air tanah
yang berdasar Peraturan Pemerintah no. 43/2008 tentang air tanah, harus dijaga
dengan memepretahankan dan melarang pengeboran, penggalian, atau kegiatan lain
pada radius 200 m dari kemunculan mata air. Berdasar survey KLHK, ditemukan 109
mata air di ekosistem karst di Watuputih, Tiga diantaranya mengalir sepanjang
tahun, yaitu mata air brubulan di Desa Tahunan, mata air sumber semen dan
Brubulan Pasucen.[9]
Perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok yang tidak
berdaya, tidak punya pengetahuan. Pengetahuan perempuan tentang mengelola
tubuh, alam, kerusakan alam dan pengelolaan kekayaan alam dianggap tidak
mumpuni, sehingga perempuan—terutama perempuan Kendeng tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan bahkan dalam tingkat yang paling bawah, hal ini
mengakibatkan perempuan dianggap sebagai kaum marjinal yang akan selalu
menerima keputusan dan instrumen perempuan tidak masuk dalam agenda pengelolaan
kekayaan alam dan pembangunan.
Perempuan Kendeng berjuang melawan kriminalisasi dan mengejawantahkan diri mereka dalam pergerakan perjuangan atas tanah dan air. Dalam hal ini ekofeminisme, yakni konsepsi antara keterkaitan alam dengan perempuan, pola dominasi negara dan sistem terhadap alam dan perempuan mempunyai satu konteks yang sama. Proses opresi alam dan dengan perempuan oleh negara dan sistem patriarkis memiliki kesamaan, hal inilah yang dilihat ekofeminisme bahwa permasalahan lingkungan bersifat bias gender, terdapat ketidaksetaraan didalamnya, jika ditarik lebih jauh keterkaitan manusia dengan alam kadang kala tidak mengenal gender. Paradigma ekofeminisme memiliki kelebihan yang dapat membebaskan dominasi terhadap perempuan dan alam, karena ekofeminisme memiliki titik tolak bersama (common denominator) yang tepat menggambarkan betapa energi feminitas berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian planet bumi, tempat laki-laki atau perempuan hidup.[10] Di titik ini, apa yang diungkapkan oleh penyair perempuan asal Amerika Serikat, yang dikutip di awal tulisan ini menjadi relevan, seorang ibu tidak dapat direduksi pada peranannya hanya semata-mata sebagai ibu. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia yang berpikir, berhasrat, dan peduli terhadap lingkungannya. []
Perempuan Kendeng berjuang melawan kriminalisasi dan mengejawantahkan diri mereka dalam pergerakan perjuangan atas tanah dan air. Dalam hal ini ekofeminisme, yakni konsepsi antara keterkaitan alam dengan perempuan, pola dominasi negara dan sistem terhadap alam dan perempuan mempunyai satu konteks yang sama. Proses opresi alam dan dengan perempuan oleh negara dan sistem patriarkis memiliki kesamaan, hal inilah yang dilihat ekofeminisme bahwa permasalahan lingkungan bersifat bias gender, terdapat ketidaksetaraan didalamnya, jika ditarik lebih jauh keterkaitan manusia dengan alam kadang kala tidak mengenal gender. Paradigma ekofeminisme memiliki kelebihan yang dapat membebaskan dominasi terhadap perempuan dan alam, karena ekofeminisme memiliki titik tolak bersama (common denominator) yang tepat menggambarkan betapa energi feminitas berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian planet bumi, tempat laki-laki atau perempuan hidup.[10] Di titik ini, apa yang diungkapkan oleh penyair perempuan asal Amerika Serikat, yang dikutip di awal tulisan ini menjadi relevan, seorang ibu tidak dapat direduksi pada peranannya hanya semata-mata sebagai ibu. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia yang berpikir, berhasrat, dan peduli terhadap lingkungannya. []
Jakarta, Maret 2017
Nur Aini Ramadhani—perempuan dan mahasiswa tingkat akhir sejarah UNJ.
Catatan Akhir:
[2]Poensen, M.C, “Over de
Javaansche vrouw (Perempuan Jawa)”
dalambuku
Cora Vreede de Stuers, Sejarah Perempuan
Indonesia : Gerakan dan Pencapaian,
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), hal.
45
[4]Yayuk Yuliati,
“Pengetahuan Perempuan Tengger atas Tanah, Air, dan Hutan” dalam bukuDewiCandraningrum
(ed.),Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air
dan Tanah, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008),hal.68
[7]Khalisah Khalid,
“Bagaimana Nasib Perempuan dan Alam dalam Paradigma Pembangunan?”, dalambukuDewiCandraningrum,
op.cit.,hal. 128
[10]Retno Tyas Wulan, “Ekofeminisme
Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi perempuan dan
Lingkungan”
dalam Buku, DewiCandraningrum, op.cit.,hal.222.
DaftarPustaka:
Cora Vreede de Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008)
DewiCandraningrum (ed.),Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar