Kamis, 30 Maret 2017

Ekofeminisme dan Perjuangan Perempuan Kendeng

EKOFEMINISME DAN PERJUANGAN PEREMPUAN KENDENG
Oleh: Aini Nur Ramadhani
Koleksi: Dandhy Dwi laksono | 2017
Siapapun dia, bagaimanapun dia, seorang ibu tidak dapat direduksir pada peranannya hanya semata-mata sebagai ibu. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia yang berpikir, berhasrat, berkemauan dan peduli terhadap lingkungannya
– Adrienne Rich

DALAM KONTEKS kehidupan, dialektika yang terjadi bukan hanya sesama manusia saja, namun manusia juga berdialektika dengan tumbuhan, hewan, angin, udara dan air. Proses dialektika manusia dengana alam bersifat mutualisme atau saling menguntungkan dan bergantung antara satu dengan yang lainnya. Manusia membutuhkan alam untuk mengeksplorasi sekelilingnya yang pada hasil eksplorasi tersebut manusia menggunakan hasil yang telah didapat untuk bertahan hidup dan mengembangkan kemampuan dalam berbagai hal. Kemampuan manusia dalam mengolah alam berkembang dari cara konvesional ke modern, perubahan dengan modernisasi mengenyampingkan dialektika manusia dengan alam. Manusia dengan modernisasinya secara besar-besaran melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem di sekitarnya. Modernisasi menyebabkan manusia rakus akan kekayaan yang diambil dari alam, keuntungan sebesar-besarnya menjadi tujuan utama dalam praktik eksploitasi demi meningkatkan perekonomian segelintir orang dalam suatu negeri. Paradigma kapitalisme ini merusak hubungan manusia dengan alammanusia merasa dirinya superior dan memutuskan kesatuan dari keterkaitan, kebergantungan dan kesetaraan antara alam dan manusia.
Ekspoitasi yang berlebih atas alam menandakan manusia sudah tidak mengenal tubuh dan dirinyamanusia abai akan perikemanusiaan dan mengekspoitasi alam dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Sifat manusia yang alpa bahwa sesungguhnya segala diskursus yang meliputi manusia dalam lingkungannya membawa serta alam di dalamnya. Kerusakan lingkungan dalam beberapa dekade akhir ini semakin mengkhawatirkan, menurut WALHI sejak tahun 2015 kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan, pengambilalihan hutan menjadi lahan produktif industri pertanian sawit dan pertambangan oleh  pihak swasta menambah kerusakan lingkungan yang terjadi dan akan terus bertambah pada tahun-tahun yang akan datang.[1]
Permasalahan kerusakan lingkungan di Indonesia adalah masalah klasik yang melibatkan pemerintah, koorporasi dan disahkan melalui regulasi yang mendukung adanya eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan. Sehingga yang menjadi korban adalah masyarakat yang bermukim di sekitar daerah ekspoitasi dan dampaknya mampu menurunkan kualitas hidup masyarakat. jika berbicara mengenai regulasi, maka pemerintah baik daerah ataupun pusat sudah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 “Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” serta pada Ayat 4 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pada Ayat 3 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa semua kekayaan alam yang dikuasai negara harus memberikan kemakmuran untuk rakyat. Jika eksploitasi alam besar-besaran yang dikelola oleh swasta dan menyingkirkan mata pencaharian atau menutup akses masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, lalu dimana letak kemakmuran rakyat yang akan dicapai oleh pemerintah?
Peningkatan perekonomian harus diselenggarakan dengan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, hal ini jelas tertera dalam Ayat 4 Pasal 33 uud 1945 dan dari beberapa kasus seperti Freeport dan Petani Kendeng, bahwa semua keuntungan tidak dirasakan oleh rakyat semua asas dilenyapkan dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa besarnya bagi lingkungan. Dalam porsi ini pemerintah tidak menjalankan amanat UUD 1945 karena hanya korporasi yang diuntungkan.
Tulisan saya ini akan terfokus dalam mengupas persoalan kerusakan lingkungan yag terjadi di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, dan dampaknya bagi petani perempuan. Saya akan membedah kasus Kendeng dengan paradigma ekofeminisme, untuk penjelasannya akan saya jabarkan dalam isi tulisan. Mengapa saya terfokus pada perempuan, dalam hal ini saya akan berusaha menjawab beberapa tanggapan nyinyir yang akhir-akhir ini merebak dikarenakan pada kasus Kendeng para perempuanlah yang turun berjuang. Saya akan mencoba menjabarkan, mengapa perempuan Kendeng lah yang berjuang demikian kerasnya sehingga mengorbankan Yu Patmi yang meninggal dikarenakan serangan jantung dan kelelahan yang berkepanjangan.
 
Koleksi: @taringbabi | 2017
Perempuan dan Lingkungan
Alam selalu diasosiasikan sebagai ibu—ibu yang menyediakan berbagai kebutuhan yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Ibu yang bersedia berkorban sedemikian hebatnya mampu menanggung rasa sakit, rasa pedih, dan rela menyerahkan apapun untuk anak-anaknya. Begitulah kiranya konsepsi seorang ibu, dan begitulah alam menyediakan segala yang dibutuhkan oleh manusia, berbagai kebutuhan manusia terutama manusia Indonesia yang hidup katanya di tanah surga. Alam Indonesia yang ramah menyediakan berbagai kebutuhan hidup untuk manusia-manusia, dari segi perairan, tanah, udara, pertanian, perkebunan, rempah-rempahsemua yang dibutuhkan tersedia dari ujung Sabang hingga Merauke. Alam menyediakan semua yang dibutuhkan meskipun dengan eksploitasi terus-menerus selama bertahun-tahun. Jadi Istilah Ibu Pertiwi pada alam Indonesia, karena alam menyediakan berbagai kebutuhan hidup rakyatnya.
Perempuan Indonesia dalam kehidupan sosialnya sebagian besar hidup dalam tradisi-tradisi  yang mengatur hak dan kewajiban perempuam dan ini menjadi kebiasaan yang terus dilakukan. Misalnya, di Pedesaan Jawa yang mayoritas bertani, bahwa bertani mulai dari menanam padi sampai padi dikeringkan atau disekam adalah tugas istri atau perempuan. Istri pula yang menyiapkan nasi dan rempah-rempah, membeli peralatan rumah tangga.[2] Semua pekerjaan yang berkaitan dengan sektor pertanian seperti pengolahan tanah dan memastikan kecukupan air kaum perempuan sangat diperlukan.[3] 
Perempuan merupakan salah satu sumber daya potensial guna pelestarian lingkungan yang sering dilupakan.[4] Hubungan perempuan dengan alam bersifat mutualisme atau saling menguntungkan, perempuan desa menanam tumbuh-tumbuhan untuk kebutuhan keluarga, memasak dan pakan ternak. Perempuan desa memiliki local wisdom mengenai bagaimana mengelola sumber daya lokal dan penduduk setempat dapat memenuhi kebutuhan dari pengelolaan alam oleh perempuan.[5] Pertanian yang sebagian besar dilakukan oleh perempuan merupakan konsep bertani yang selara dengan alam, kaum perempuan bertani dengan etos kerja yang tinggi, perempuan melakukan kegiatan pertanian sebagai nafkah pokok atau utama dalam memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga.
Dalam studi kasus pegunungan Kendeng merupakan pegunungan karst yang terletak di utara Jawa yang meliputi Rembang hingga Pati. Pegunungan Kendeng mengandung 109 mata air yang menghidupi 600ribu warga Rembang, kebutuhan akan mata air digunakan untuk sumber pertanian, kebutuhan sehari-hari dan beternak.[6] Para perempuan petani Kendeng dalam garda depan, seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa perempuan bertani memiliki local wisdom yakni pengetahuan alami tentang lingkungan di mana mereka tinggal, mereka mengelola alam untuk kebutuhan hidup keluarga dengan tidak mengeksploitasi, mereka mengambil kebutuhan dari alam secukupnya. Para perempuan petani Kendeng mengerti bahwa tanah yang mereka gunakan untuk kehidupan menghasilkan berbagai keuntungan baik secara materi ataupun non-materiil dan berkelanjutan hingga anak-cucu mereka nanti. Jika pegunungan Kendeng akan tetap dipaksakan untuk tetap dibangun pabrik semen, maka tidak menutup kemungkinan beberapa daerah akan mengalami kekeringan berkepanjangan dan berpengaruh terhadap hasil pertanian dan kualitas hidup masyarakat Kendeng.
Koleksi: Marjinal | 2017
Perempuan mengalami berbagai macam kekerasan dengan memarginalkan local wisdom yang dimiliki oleh perempuan terhadap alam di sekitarnyaperempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan kekayaan daerahnya dari serangan industri yang menghantam sehingga perempuan kehilangan sumber pencaharian dan kehidupannya. Hal ini yang membuat perempuan bergantung kepada lelaki dalam segala hal. Ketidakterlibatan perempuan dan ketidakadilan gender ini dimanfaatkan oleh korporasi untuk berunding dengan negara, kepala daerah, dan tetua desa untuk merampas kebutuhan hidup perempuan sehingga perempuan menjadi tersubordinasi dalam entitasnya sebagai perempuan. Apa yang terjadi ini merupakan dampak buruk dari pilihan pembangunan yang berwatak patriarkis oleh industri tambang dan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan monokultur lainnya yang memiliki karakter rakus air dan lapar tanah, dan melanggengkan marginalisasi fungsi alam dan ekosistem bagi kehidupan bersama.[7] 
Perempuan Kendeng berjuang melawan kekerasan dan kriminalisasi untuk memperjuangkan tanahnya dan airnya. Perjuangan perempuan Kendeng mempunyai dasar hukum yang kuat seperti yang dikutip Kompas, menurut asisten deputi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Kementrian Lingkungan Hidup Antung Deddy Radiansyah, di Jakarta, selasa (21/10), survey bersama LIPI itu untuk memperoleh data dan informasi guna menentukan status fungsi ekosistem karst Rembang. Kesimpulannya, ekosistem karst Pegunungan Kendeng di utara Rembang, yang juga daerah Cekungan Air Tanah Watuputih, punya fungsi lingkungan tinggi sehingga pemanfaatannya harus hati-hati.[8] 
Temuan ini menguatkan pernyataan badan geologi kementrian ESDM Surono bahwa kawasan karst yang membentang di Rembang dan Blora itu sudah ditetapkan sebagai CAT Watuputih berdasarkan Keputusan Presiden NO. 26 tahun 2011 tentang CAT Indonesia. Sebagian besar kawasan itu adalah daerah imbuhan atau perlindungan air tanah yang berdasar Peraturan Pemerintah no. 43/2008 tentang air tanah, harus dijaga dengan memepretahankan dan melarang pengeboran, penggalian, atau kegiatan lain pada radius 200 m dari kemunculan mata air. Berdasar survey KLHK, ditemukan 109 mata air di ekosistem karst di Watuputih, Tiga diantaranya mengalir sepanjang tahun, yaitu mata air brubulan di Desa Tahunan, mata air sumber semen dan Brubulan Pasucen.[9]
Perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok yang tidak berdaya, tidak punya pengetahuan. Pengetahuan perempuan tentang mengelola tubuh, alam, kerusakan alam dan pengelolaan kekayaan alam dianggap tidak mumpuni, sehingga perempuanterutama perempuan Kendeng tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan bahkan dalam tingkat yang paling bawah, hal ini mengakibatkan perempuan dianggap sebagai kaum marjinal yang akan selalu menerima keputusan dan instrumen perempuan tidak masuk dalam agenda pengelolaan kekayaan alam dan pembangunan. 
Perempuan Kendeng berjuang melawan kriminalisasi dan mengejawantahkan diri mereka dalam pergerakan perjuangan atas tanah dan air. Dalam hal ini ekofeminisme, yakni konsepsi antara keterkaitan alam dengan perempuan, pola dominasi negara dan sistem terhadap alam dan perempuan mempunyai satu konteks yang sama. Proses opresi alam dan dengan perempuan oleh negara dan sistem patriarkis memiliki kesamaan, hal inilah yang dilihat ekofeminisme bahwa permasalahan lingkungan bersifat bias gender, terdapat ketidaksetaraan didalamnya, jika ditarik lebih jauh keterkaitan manusia dengan alam kadang kala tidak mengenal gender. Paradigma ekofeminisme memiliki kelebihan yang dapat membebaskan dominasi terhadap perempuan dan alam, karena ekofeminisme memiliki titik tolak bersama (common denominator) yang tepat menggambarkan betapa energi feminitas berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian planet bumi, tempat laki-laki atau perempuan hidup.[10] Di titik ini, apa yang diungkapkan oleh penyair perempuan asal Amerika Serikat, yang dikutip di awal tulisan ini menjadi relevan, seorang ibu tidak dapat direduksi pada peranannya hanya semata-mata sebagai ibu. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia yang berpikir, berhasrat, dan peduli terhadap lingkungannya. []

Jakarta, Maret 2017
Nur Aini Ramadhani—perempuan dan mahasiswa tingkat akhir sejarah UNJ.


Catatan Akhir: 


[2]Poensen, M.C, “Over de Javaansche vrouw (Perempuan Jawa) dalambuku Cora Vreede de Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hal. 45
[3]Ibid., hal.46
[4]Yayuk Yuliati, “Pengetahuan Perempuan Tengger atas Tanah, Air, dan Hutan” dalam bukuDewiCandraningrum (ed.),Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah,  (Yogyakarta: Jalasutra, 2008),hal.68
[5]Ibid., hal.69
[7]Khalisah Khalid, “Bagaimana Nasib Perempuan dan Alam dalam Paradigma Pembangunan?”, dalambukuDewiCandraningrum, op.cit.,hal. 128
[10]Retno Tyas Wulan, Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi perempuan dan Lingkungan dalam Buku, DewiCandraningrum, op.cit.,hal.222.

DaftarPustaka:
Cora Vreede de Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008)
DewiCandraningrum (ed.),Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah (Yogyakarta: Jalasutra, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar