MENONTON FRIDA: YANG RUSAK YANG
BEREVOLUSI
Oleh: Virzanira
![]() |
Without Hope | karya Frida (1945) | |
“AKU HANYA MELUKIS apa yang
kulihat—dunia luar. Tapi kau... Kau melukis dari sini,” ucap Diego Rivera
sambil menyentuh jantung Frida.
Keduanya tengah dalam suatu perdebatan
mengenai lukisan-lukisan Frida. Frida berpendapat bahwa lukisan-lukisannya
tidak sebaik Diego, sebaliknya Diego menganggap karya-karya Frida sangat
orisinil hingga Diego tidak akan mampu melukis sepertinya. Film ini pun terfokus
pada latar belakang kehidupan Frida yang menjadi faktor utama keorisinilan itu.
Cerita dimulai pada masa Frida Kahlo
(Salma Hayek) remaja, dengan kelincahannya dan pemikirannya yang begitu
menggebu-gebu. Segala mimpinya terenggut ketika ia mengalami kecelakaan trem
yang membuatnya nyaris tidak bisa berjalan lagi. Ia harus menjalani perawatan
selama bertahun-tahun. Waktu Frida lebih banyak dihabiskan di tempat tidur dan
hal ini membatasi segala aktivitasnya. Untuk menghiburnya dan juga untuk
menghabiskan waktunya, Ayah Frida menyediakan kanvas dan juga cermin di
langit-langit tempat tidurnya, agar Frida bisa melukis dirinya. Tentu karena
keterbatasan ruang geraknya, membatasi pula pemandangan yang dapat dilukisnya.
Setelah bertahun-tahun perawatan dan berpuluh-puluh
operasi yang menyakitkan, akhirnya Frida dapat berjalan lagi, walau dalam
keadaan pincang. Walaupun tak lagi kembali lincah secara fisik, Frida menolak
menjadi beban bagi keluarganya. Mimpi barunya adalah menjadi Si-Pincang yang
mandiri. Untuk itu ia mencoba untuk menjadikan satu-satunya hal yang selama ini digeluti untuk dijadikan sumber kehidupannya: melukis.
Frida memasuki babak baru dalam
kehidupannya ketika ia menemui seorang casanova, pelukis dengan ideologi
komunis, Diego Rivera (Alfred Molina). Dengan cepat keduanya saling jatuh
cinta; Frida—kepada kemampuan Diego mengambil hati wanita, sedangkan
Diego—kepada perspektif Frida mengenai dunia; khususnya yang tergambar dalam
lukisan-lukisannya. Permasalahannya, Diego tetaplah seorang casanova yang tidak
mampu setia kepada satu wanita. Frida-pun mengambil resiko menjadi istri
seorang casanova.
![]() |
Frida Kahlo (1907-1954) |
Pernikahan antara Frida dan Diego
diwarnai dengan pertengkaran dan affair
antara kedua belah pihak. Keduanya juga harus mengalami penderitaan yang mendalam
ketika Frida mengalami keguguran. Tubuhnya yang cacat rupanya tidak mampu
menahan beban kehamilan, dan hal ini menimbulkan luka yang mendalam pada diri
Frida. Pernikahan Frida dan Diego mengalami guncangan terhebat ketika terjadi affair antara Diego dan Christina Kahlo
(Mia Maestro)—saudara perempuan Frida, sedang antara Frida dan Trotsky
(Geoffrey Rush)—pemimpin Revolusi Oktober di Rusia yang mendapat suaka ke
Meksiko karena menjadi buronan Stalin.
Keduanya sama-sama tersakiti karena
pilihan pasangan affair-nya: Frida
tidak dapat menerima bahwa saudara kandungnya sendiri yang menjadi ‘santapan’
Diego selanjutnya, sedangkan Diego terlalu menghormati Trotsky sebagai filsuf
dan tokoh revolusi komunis yang diidolakannya hingga ia terlalu tersakiti akan
perselingkuhan Frida dengan Trotsky. Keduanya memutuskan untuk berpisah selama
beberapa lama.
Pasca kematian Trotsky, Diego menjadi
tersangka pembunuhnya. Frida terseret dalam permasalahan tersebut dan terpaksa
harus mendekam di penjara. Hal ini menyebabkan merosotnya kondisi kesehatan
Frida. Ia harus kembali menggunakan penyangga tubuh, dan harus mengalami
amputasi jari-jari kaki ketika didiagnosa terkena Gangren. Lagi-lagi Frida harus menghabiskan hari-harinya di kursi
roda dan tempat tidur. Setelah beberapa lama sakit, Diego datang dan meminta
Frida untuk menikah dengannya lagi. Kali ini pernikahan keduanya tak lagi
diwarnai perselingkuhan maupun pertengkaran. Pernikahan keduanya berlangsung
hingga kematian Frida diumurnya yang ke-47, setahun setelah pameran lukisan
Frida yang terbesar di tanah kelahirannya.
Hal yang tak berubah dalam diri Frida
sepanjang hidupnya adalah bagaimana Frida mengatasi penderitaannya dan mengekspresikan
ke atas kanvas. Goresan kuas Frida di kanvas mungkin dapat dikatakan setara
dengan goresan pena dalam sebuah buku diary.
Ia tidak takut untuk melukiskan potret dirinya dan menuangkan gambaran hidup
dan penderitaannya dalam satu lukisan yang bercampur dengan fantasi-fantasinya—yang
menjadikan lukisan-lukisannya begitu hidup dan ekspresif adalah kemampuannya
untuk menuangkan segalanya, bukan hanya apa yang dia lihat secara kasatmata,
namun juga seluruh perasaannya dalam gambaran yang eksplisit, berani, dan
tegas. Seperti yang dikatakan Diego dalam salah satu dialognya; “Lukisan-lukisan
ini sangat original, tanpa tipuan seperti karya-karya lain.”
Pada zamannya, Frida jelas memiliki
karakter yang berbeda dibandingkan perempuan lainnya. Namun, jika melihat Frida
yang dibawakan oleh Salma Hayek dalam film ini, bukan istilah emansipasi
perempuan yang persisnya muncul di kepala saya. Emansipasi perempuan berarti
ada perjuangan untuk menjadi setara. Dalam film ini saya sendiri tidak
menangkap unsur itu. Sejak awal Frida sudah digambarkan sebagai sosok dengan
jiwa yang meledak-ledak; Frida remaja tidak bersikap anggun seperti perempuan
kebanyakan pada zaman itu, Frida remaja tidak percaya dengan pernikahan, Frida
yang menyandang disabilitas menolak untuk menyerah terhadap kondisinya dan
meyakini bahwa dirinya tetap bisa hidup mandiri. Fakta bahwa ia perempuan—atau
ia menyandang disabilitas mungkin dalam banyak situasi dapat menjadikannya
sebagai orang minoritas, tapi itu tidak terjadi pada Frida—karena dari awal ia
memposisikan dirinya sama dengan orang-orang lain. Bukan hanya perjuangan
sebagai perempuan yang dijalani oleh Frida, namun sebagai manusia.
![]() |
Frida dan Diego dalam salah satu adegan Frida. |
Bila memang ada perjuangannya sebagai
perempuan, mungkin hal itu dijalaninya melalui pernikahannya bersama Diego.
Sebagai istri sang casanova tentu orang meremehkan umur pernikahan keduanya.
Pernikahan keduanya memang bukan pernikahan yang ideal. Namun, seperti yang
keduanya akui dan tervisualisasi dengan apik dalam film Frida, masing-masing merupakan partner, kolega, teman, dan sahabat
terbaik, sehingga permasalahan-permasalahan fisik-pun dapat mereka lepaskan,
pada akhirnya. seks itu hanyalah
aktivitas fisik, layaknya buang air kecil. Tak perlu dibesar-besarkan, kata
Diego.
Satu-satunya hal yang disayangkan dalam
film ini adalah kurangnya sorotan pada kehidupan dan pemikiran politik Frida.
Hanya digambarkan sekilas ketika ia bergabung dengan salah satu partai komunis
di Meksiko dan gambaran kecil mengenai permasalahan ideologi Diego dan Frida
yang tidak diterima di Amerika Serikat dan mengharuskan kembali keduanya
kembali ke Meksiko. Namun, pemikiran politik Frida sendiri tidak begitu di
eksplor.
Menonton
Frida mengingatkan saya pada satu kalimat di film lain berjudul Split; “The broken are the more evolved—Yang rusaklah yang berevolusi. Kalimat ini mungkin paling cocok untuk
mendeskripsikan Frida. Sejak remaja ia telah ‘rusak’ dan ‘disusun-ulang’
berkali-kali. Babak-babak lanjut dalam hidupnya juga sama; perselingkuhan
suaminya, kematian ibunya, kegugurannya, dan penyakitnya—jelas membuat Frida
babak belur baik secara mental maupun fisik. Namun, ia tak pernah kehilangan
dirinya, yang ia manifestasikan ke dalam lukisan-lukisannya. Ia berevolusi. []
Jakarta,
Maret 2017
*Virzanira—seseorang yang berharap
menjadi guru, tetapi realitanya perempuan domestik.
Keterangan Film:
Judul Film : Frida
Tahun : 2002
Sutradara : Julie
Taymor
Genre :
Biografi, Drama, Romance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar