Rabu, 29 Maret 2017

Menonton Frida: Yang Rusak Yang Berevolusi

MENONTON FRIDA: YANG RUSAK YANG BEREVOLUSI
Oleh: Virzanira
Without Hope | karya Frida (1945) |
“AKU HANYA MELUKIS apa yang kulihat—dunia luar. Tapi kau... Kau melukis dari sini,” ucap Diego Rivera sambil menyentuh jantung Frida.
Keduanya tengah dalam suatu perdebatan mengenai lukisan-lukisan Frida. Frida berpendapat bahwa lukisan-lukisannya tidak sebaik Diego, sebaliknya Diego menganggap karya-karya Frida sangat orisinil hingga Diego tidak akan mampu melukis sepertinya. Film ini pun terfokus pada latar belakang kehidupan Frida yang menjadi faktor utama keorisinilan itu.
Cerita dimulai pada masa Frida Kahlo (Salma Hayek) remaja, dengan kelincahannya dan pemikirannya yang begitu menggebu-gebu. Segala mimpinya terenggut ketika ia mengalami kecelakaan trem yang membuatnya nyaris tidak bisa berjalan lagi. Ia harus menjalani perawatan selama bertahun-tahun. Waktu Frida lebih banyak dihabiskan di tempat tidur dan hal ini membatasi segala aktivitasnya. Untuk menghiburnya dan juga untuk menghabiskan waktunya, Ayah Frida menyediakan kanvas dan juga cermin di langit-langit tempat tidurnya, agar Frida bisa melukis dirinya. Tentu karena keterbatasan ruang geraknya, membatasi pula pemandangan yang dapat dilukisnya.
Setelah bertahun-tahun perawatan dan berpuluh-puluh operasi yang menyakitkan, akhirnya Frida dapat berjalan lagi, walau dalam keadaan pincang. Walaupun tak lagi kembali lincah secara fisik, Frida menolak menjadi beban bagi keluarganya. Mimpi barunya adalah menjadi Si-Pincang yang mandiri. Untuk itu ia mencoba untuk menjadikan satu-satunya hal yang selama ini digeluti untuk dijadikan sumber kehidupannya: melukis.
Frida memasuki babak baru dalam kehidupannya ketika ia menemui seorang casanova, pelukis dengan ideologi komunis, Diego Rivera (Alfred Molina). Dengan cepat keduanya saling jatuh cinta; Frida—kepada kemampuan Diego mengambil hati wanita, sedangkan Diego—kepada perspektif Frida mengenai dunia; khususnya yang tergambar dalam lukisan-lukisannya. Permasalahannya, Diego tetaplah seorang casanova yang tidak mampu setia kepada satu wanita. Frida-pun mengambil resiko menjadi istri seorang casanova.
Frida Kahlo (1907-1954)

Pernikahan antara Frida dan Diego diwarnai dengan pertengkaran dan affair antara kedua belah pihak. Keduanya juga harus mengalami penderitaan yang mendalam ketika Frida mengalami keguguran. Tubuhnya yang cacat rupanya tidak mampu menahan beban kehamilan, dan hal ini menimbulkan luka yang mendalam pada diri Frida. Pernikahan Frida dan Diego mengalami guncangan terhebat ketika terjadi affair antara Diego dan Christina Kahlo (Mia Maestro)—saudara perempuan Frida, sedang antara Frida dan Trotsky (Geoffrey Rush)—pemimpin Revolusi Oktober di Rusia yang mendapat suaka ke Meksiko karena menjadi buronan Stalin.
Keduanya sama-sama tersakiti karena pilihan pasangan affair-nya: Frida tidak dapat menerima bahwa saudara kandungnya sendiri yang menjadi ‘santapan’ Diego selanjutnya, sedangkan Diego terlalu menghormati Trotsky sebagai filsuf dan tokoh revolusi komunis yang diidolakannya hingga ia terlalu tersakiti akan perselingkuhan Frida dengan Trotsky. Keduanya memutuskan untuk berpisah selama beberapa lama.
Pasca kematian Trotsky, Diego menjadi tersangka pembunuhnya. Frida terseret dalam permasalahan tersebut dan terpaksa harus mendekam di penjara. Hal ini menyebabkan merosotnya kondisi kesehatan Frida. Ia harus kembali menggunakan penyangga tubuh, dan harus mengalami amputasi jari-jari kaki ketika didiagnosa terkena Gangren. Lagi-lagi Frida harus menghabiskan hari-harinya di kursi roda dan tempat tidur. Setelah beberapa lama sakit, Diego datang dan meminta Frida untuk menikah dengannya lagi. Kali ini pernikahan keduanya tak lagi diwarnai perselingkuhan maupun pertengkaran. Pernikahan keduanya berlangsung hingga kematian Frida diumurnya yang ke-47, setahun setelah pameran lukisan Frida yang terbesar di tanah kelahirannya.
Hal yang tak berubah dalam diri Frida sepanjang hidupnya adalah bagaimana Frida mengatasi penderitaannya dan mengekspresikan ke atas kanvas. Goresan kuas Frida di kanvas mungkin dapat dikatakan setara dengan goresan pena dalam sebuah buku diary. Ia tidak takut untuk melukiskan potret dirinya dan menuangkan gambaran hidup dan penderitaannya dalam satu lukisan yang bercampur dengan fantasi-fantasinya—yang menjadikan lukisan-lukisannya begitu hidup dan ekspresif adalah kemampuannya untuk menuangkan segalanya, bukan hanya apa yang dia lihat secara kasatmata, namun juga seluruh perasaannya dalam gambaran yang eksplisit, berani, dan tegas. Seperti yang dikatakan Diego dalam salah satu dialognya; “Lukisan-lukisan ini sangat original, tanpa tipuan seperti karya-karya lain.”
Pada zamannya, Frida jelas memiliki karakter yang berbeda dibandingkan perempuan lainnya. Namun, jika melihat Frida yang dibawakan oleh Salma Hayek dalam film ini, bukan istilah emansipasi perempuan yang persisnya muncul di kepala saya. Emansipasi perempuan berarti ada perjuangan untuk menjadi setara. Dalam film ini saya sendiri tidak menangkap unsur itu. Sejak awal Frida sudah digambarkan sebagai sosok dengan jiwa yang meledak-ledak; Frida remaja tidak bersikap anggun seperti perempuan kebanyakan pada zaman itu, Frida remaja tidak percaya dengan pernikahan, Frida yang menyandang disabilitas menolak untuk menyerah terhadap kondisinya dan meyakini bahwa dirinya tetap bisa hidup mandiri. Fakta bahwa ia perempuan—atau ia menyandang disabilitas mungkin dalam banyak situasi dapat menjadikannya sebagai orang minoritas, tapi itu tidak terjadi pada Frida—karena dari awal ia memposisikan dirinya sama dengan orang-orang lain. Bukan hanya perjuangan sebagai perempuan yang dijalani oleh Frida, namun sebagai manusia.
Frida dan Diego dalam salah satu adegan Frida.
Bila memang ada perjuangannya sebagai perempuan, mungkin hal itu dijalaninya melalui pernikahannya bersama Diego. Sebagai istri sang casanova tentu orang meremehkan umur pernikahan keduanya. Pernikahan keduanya memang bukan pernikahan yang ideal. Namun, seperti yang keduanya akui dan tervisualisasi dengan apik dalam film Frida, masing-masing merupakan partner, kolega, teman, dan sahabat terbaik, sehingga permasalahan-permasalahan fisik-pun dapat mereka lepaskan, pada akhirnya. seks itu hanyalah aktivitas fisik, layaknya buang air kecil. Tak perlu dibesar-besarkan, kata Diego.
Satu-satunya hal yang disayangkan dalam film ini adalah kurangnya sorotan pada kehidupan dan pemikiran politik Frida. Hanya digambarkan sekilas ketika ia bergabung dengan salah satu partai komunis di Meksiko dan gambaran kecil mengenai permasalahan ideologi Diego dan Frida yang tidak diterima di Amerika Serikat dan mengharuskan kembali keduanya kembali ke Meksiko. Namun, pemikiran politik Frida sendiri tidak begitu di eksplor.  
Menonton Frida mengingatkan saya pada satu kalimat di film lain berjudul Split; “The broken are the more evolvedYang rusaklah yang berevolusi. Kalimat ini mungkin paling cocok untuk mendeskripsikan Frida. Sejak remaja ia telah ‘rusak’ dan ‘disusun-ulang’ berkali-kali. Babak-babak lanjut dalam hidupnya juga sama; perselingkuhan suaminya, kematian ibunya, kegugurannya, dan penyakitnya—jelas membuat Frida babak belur baik secara mental maupun fisik. Namun, ia tak pernah kehilangan dirinya, yang ia manifestasikan ke dalam lukisan-lukisannya. Ia berevolusi. []

Jakarta, Maret 2017

*Virzanira—seseorang yang berharap menjadi guru, tetapi realitanya perempuan domestik.

Keterangan Film:
Judul Film : Frida
Tahun        : 2002
Sutradara   : Julie Taymor
Genre         : Biografi, Drama, Romance

Tidak ada komentar:

Posting Komentar