Selasa, 28 Maret 2017

Dilema Orang-orang Setengah Matang

DILEMA ORANG-ORANG SETENGAH MATANG
Oleh: Iman Zanatul Haeri
Koleksi:  | 2017
TETAP WARAS DI era derasnya arus informasi adalah perjuangan berat. Berita kematian Ibu Patmi sang pejuang dari Kendeng yang menolak keberadaan pabrik semen tidak hanya meninggalkan duka, tetapi menjadi satu momen sejarah yang musti kita catat. Terutama resistensi atas perjuangan tersebut yang secara halus menggerogoti kemampuan berfikir dan bertindak untuk pasif terhadap hegemoni kekuasaan. Seringkali mereka mengungkapkan dilema-dilema naif.
Analisa akan fenomena tersebut harus dikupas sedalam-dalamnya agar kita matang dalam bersikap. Jauh-jauh hari ketika isu perlawanan warga terhadap pembangunan pabrik semen hingga kematian Ibu Patmi, tanda-tanda bahwa ‘dilema’ yang sebetulnya tidak perlu ada sudah muncul dalam hiruk pikuk sosial media.
Beberapa penulis yang menurut saya sangat baik dalam menyampaikan pengetahuannya pernah mencoba mengemukakan ‘dilema-dilema’ yang tidak perlu tersebut. Dalam tulisannya, ia berdilema-ria, tentang bagaimana mungkin kita bisa menolak keberadaan pabrik semen sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan banyak semen. Katanya, kita membutuhkan semen untuk pembangunan nasional hingga sekedar merenovasi toilet rumah.
Dan ketika menulis ini, saya secara pribadi sedang menambal beberapa lubang tembok rumah dengan semen. Apa dengan begitu saya harus alpa dalam mendukung perjuangan menolak pabrik semen? Apakah kebutuhan yang secara kasat mata dikonsumsi oleh mayoritas di antara kita, maka kita harus alpa dalam mendukung perjuangan warga nun-jauh di sana yang hanya berharap lingkungan hidupnya tidak diganggu?

Dalam website resmi Kementrian Perindustrian (Kemenperin), Direktur Jendral kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, mengatakan: Kendati akan terjadi kelebihan pasokan semen pihaknya tidak akan mengusulkan industri ini untuk masuk ke dalam daftar negatif investasi” (cetak miring dan tebal oleh penulis—Ed). Kalimat ini mengandung dua bagian. Pertama, bahwa pasokan semen kita surplus. Kedua, kalimat penenang, bahwa pemerintah tidak akan berhenti mendukung industri ini. Lalu ia melanjutkan, “Analisa kami over supply semen yang saat ini dialami oleh Indonesia,… Indonesia masih membutuhkan banyak semen untuk membangun infrastruktur…”[1] Sekali lagi, bahwa Indonesia kelebihan/surplus semen adalah fakta. Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso menyatakan over-capacity mencapai 30 ton tahun 2017.[2] Dengan begitu kita tidak membutuhkan semen?
Kita memang membutuhkan semen. Namun, apakah yang disebut dengan ‘kebutuhan’? Pertanyaannya hampir sama dengan, apakah kita membutuhkan gawai(SmartphoneEd)? Seabad yang lalu kita bisa saja menjawab bahwa kita tidak membutuhkannya. Atau bila hari ini kita bertanya pada warga Suku Anak Dalam, Baduy, Toraja (yang belum terintegrasi dengan pariwisata dan ekonomi uang), bahwa untuk sekedar hidup dan makan—mereka tidak membutuhkan gawai ataupun semen.
MANUSIA SEMEN. Aksi solidaritas dari Yogya oleh Iwan Wijono | Koleksi foto: Kukuh Harianto
Tapi orang-orang yang menjual semen dan pulsa selalu berargumen bahwa yang mereka lakukan adalah dalam rangka mencari makan. Semua kebutuhan tersebut berlipat ganda dan semakin bervariatif. Kemudian kita membutuhkan jaringan internet, fasitiltas IOS dan Android dan lainnya. Membeli semen saja belum tentu dapat mendirikan sebidang tembok. Kita memerlukan pasir, besi, bata dan perkakas lainnya.
Jangan lupa, semen juga membutuhkan air. Hal ini tidak dapat dipisahkan. Batu kapur yang menjadi bahan dasar semen, sering ditemukan berada pada lingkungan mata air. Lokasi mata air diantara keberadaan batu kapur biasanya disebut sebagai wilayah karst.[3] Namun, ketika air dan kapur dirampas dari dalam tanah, cacing, pepohonan hingga manusia tidak akan sanggup hidup di sana. Mengapa seakan-akan tidak ada jalan keluar dari persoalan kebutuhan ini?
Sebetulnya jawaban akan dilema. Kebutuhan selalu ada dalam bentuk penelitian-penelitian lanjutan, dan tentu saja, universitas sebagai pusat ilmu pengetahuan bertanggung jawab atas jawaban-jawaban ini. Sederhananya, persoalan petani di bidang teknologi pembibitan akan mendapatkan jawabannya di fakultas Pertanian—masalah ekonomi makro dan mikro harusnya bisa diselesaikan oleh lulusan Fakultas Ekonomi, rekayasa kimia atas komposisi semen harusnya menemukan alternatif-alternatif dalam beberapa penelitan yang dihasilkan oleh Fakultas dibidang Kimia.
Kemana perginya sarjana-sarjana tersebut? Mereka ditelan bumi. Tidak hadirnya para peneliti dan sarjana tersebut dalam kisah pilu perlawanan warga Kendeng adalah tanda kemunduran labotarium universitas untuk menjawab persoalan masyarakat. Kemungkinan besar, mereka masih sibuk berbusa-busa di ruang seminar dan saling menyalip untuk dana penelitian. Lalu dengan bangga mempersembahkan hasil penelitiannya yang hanya sanggup digunakan di etalase-etalase pameran kementrian-kementrian penghambur anggaran negara (You Know What I Mean..). Jarak menganga di antara masyarakat dan universitas tidak bisa diselamatkan, sehingga warga Kendeng perlu memaksimalkan tenaga-tenaga mereka—yang tadinya dipakai untuk bertani dengan tentram—dipakai untuk mengisi ruang sosial politik media nasional.
Sejumlah petani dari Pegunungan Kendeng beristirahat dengan kaki terpasung semen di LBH, Jakarta, Sabtu (18/3)  | Koleksi Foto:  ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Kini, beragam Organisasi sosial dan lingkungan menyatakan solidaritas atas perjuangan warga kendeng. Tuntutannya jelas, agar Presiden Jokowi mengambil sikap menolak pembangunan Pabrik semen di Kendeng. Melalui dilema yang sama, para pendukung militan Jokowi harus mematikan nalar dan kemanusiaan mereka dalam mengatasi isu perlawanan ini. Mereka tidak mampu berfikir, bahwa sebagai pendukung Jokowi, mereka tetap bisa ikut mendukung perlawanan warga Kendeng. Entah ada korelasinya atau tidak—akibat diajarkan hanya boleh menggambar gunung dan sawah semasa Orde Baru—mereka hanya memahami bahwa ketika menghadirkan penguasa yang mereka cintai, mereka harus taklid buta dengan kebijakannya. Mereka hidup di era Jokowi namun masih bermental zaman Orde Baru. Kebiasaan dicucuk hidung memang berakibat buruk pada kinerja otak. 
Dilema yang dibuat-buat seperti ini menandai tumpulnya sikap kritis diantara mereka. Sehingga kemudian, orang-orang yang menolak mendukung perjuangan warga Kendeng membuat ilusi-ilusi moral dengan mencari kelemahan para pendukung solidaritas perjuangan ini. Ketika satu momentum mereka hadir untuk bersikap dalam wacana ini, mereka bersiap untuk membela diri melalui ‘dilema’ yang dibuat-buat tersebut.  Dilema tersebut muncul karena tak ada keberanian dalam nurani mereka. Dan tak mungkin membandingkan keberanian mereka berdebat di sosial media dengan keberanian warga kendeng berhadapan dengan penguasa di bibir Istana Merdeka. Kemerdekaan hanya milik pemberani, bukan milik mereka yang tinggal di istana dan menumpang dalam kemerdekaan. Ibu Patmi, namamu dicatat dalam sejarah sebagai pemberani. []

Pandenglang, Maret 2017. 

*Iman Zanatul Haeri—LITBANG Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Banten.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar