DILEMA ORANG-ORANG SETENGAH MATANG
Oleh: Iman Zanatul
Haeri
![]() |
Koleksi: @womensmarchjkt | 2017 |
TETAP WARAS DI era derasnya arus
informasi adalah perjuangan berat. Berita kematian Ibu Patmi sang pejuang dari
Kendeng yang menolak keberadaan pabrik semen tidak hanya meninggalkan duka,
tetapi menjadi satu momen sejarah yang musti kita catat. Terutama resistensi atas
perjuangan tersebut yang secara halus menggerogoti kemampuan berfikir dan
bertindak untuk pasif terhadap hegemoni kekuasaan. Seringkali mereka
mengungkapkan dilema-dilema naif.
Analisa akan fenomena
tersebut harus dikupas sedalam-dalamnya agar kita matang dalam bersikap.
Jauh-jauh hari ketika isu perlawanan warga terhadap pembangunan pabrik semen
hingga kematian Ibu Patmi, tanda-tanda bahwa ‘dilema’ yang sebetulnya tidak
perlu ada sudah muncul dalam hiruk pikuk sosial media.
Beberapa penulis yang
menurut saya sangat baik dalam menyampaikan pengetahuannya pernah mencoba
mengemukakan ‘dilema-dilema’ yang tidak perlu tersebut. Dalam tulisannya, ia
berdilema-ria, tentang bagaimana mungkin kita bisa menolak keberadaan pabrik
semen sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan banyak semen. Katanya,
kita membutuhkan semen untuk pembangunan nasional hingga sekedar merenovasi
toilet rumah.
Dan ketika menulis ini,
saya secara pribadi sedang menambal beberapa lubang tembok rumah dengan semen.
Apa dengan begitu saya harus alpa dalam mendukung perjuangan menolak pabrik
semen? Apakah kebutuhan yang secara kasat mata dikonsumsi oleh mayoritas di antara
kita, maka kita harus alpa dalam mendukung perjuangan warga nun-jauh di sana
yang hanya berharap lingkungan hidupnya tidak diganggu?
Dalam website resmi Kementrian Perindustrian
(Kemenperin), Direktur Jendral kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, mengatakan: “Kendati akan terjadi kelebihan pasokan semen pihaknya tidak akan
mengusulkan industri ini untuk masuk ke dalam daftar negatif investasi” (cetak
miring dan tebal oleh penulis—Ed). Kalimat ini mengandung dua bagian. Pertama,
bahwa pasokan semen kita surplus. Kedua, kalimat penenang, bahwa pemerintah
tidak akan berhenti mendukung industri ini. Lalu ia melanjutkan, “Analisa kami over supply semen yang saat ini dialami oleh Indonesia,… Indonesia
masih membutuhkan banyak semen untuk membangun infrastruktur…”[1] Sekali lagi, bahwa Indonesia kelebihan/surplus semen adalah fakta.
Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso menyatakan over-capacity mencapai 30 ton tahun
2017.[2] Dengan begitu kita tidak
membutuhkan semen?
Kita memang membutuhkan
semen. Namun, apakah yang disebut dengan ‘kebutuhan’? Pertanyaannya hampir sama
dengan, apakah kita membutuhkan gawai—(Smartphone—Ed)? Seabad yang lalu kita bisa saja menjawab
bahwa kita tidak membutuhkannya. Atau bila hari ini kita bertanya pada warga
Suku Anak Dalam, Baduy, Toraja (yang belum terintegrasi dengan pariwisata dan
ekonomi uang), bahwa untuk sekedar hidup dan makan—mereka tidak membutuhkan
gawai ataupun semen.
![]() |
MANUSIA SEMEN. Aksi solidaritas dari Yogya oleh Iwan Wijono | Koleksi foto: Kukuh Harianto |
Tapi orang-orang yang
menjual semen dan pulsa selalu berargumen bahwa yang mereka lakukan adalah
dalam rangka mencari makan. Semua kebutuhan tersebut berlipat ganda dan semakin
bervariatif. Kemudian kita membutuhkan jaringan internet, fasitiltas IOS dan Android dan lainnya. Membeli semen saja belum tentu dapat
mendirikan sebidang tembok. Kita memerlukan pasir, besi, bata dan perkakas
lainnya.
Jangan lupa, semen juga
membutuhkan air. Hal ini tidak dapat dipisahkan. Batu kapur yang menjadi bahan
dasar semen, sering ditemukan berada pada lingkungan mata air. Lokasi mata air
diantara keberadaan batu kapur biasanya disebut sebagai wilayah
karst.[3] Namun, ketika air dan
kapur dirampas dari dalam tanah, cacing, pepohonan hingga manusia tidak akan
sanggup hidup di sana. Mengapa seakan-akan tidak ada jalan keluar dari
persoalan kebutuhan ini?
Sebetulnya jawaban akan
dilema. Kebutuhan selalu ada dalam bentuk penelitian-penelitian lanjutan, dan
tentu saja, universitas sebagai pusat ilmu pengetahuan bertanggung jawab atas
jawaban-jawaban ini. Sederhananya, persoalan petani di bidang teknologi
pembibitan akan mendapatkan jawabannya di fakultas Pertanian—masalah ekonomi
makro dan mikro harusnya bisa diselesaikan oleh lulusan Fakultas Ekonomi,
rekayasa kimia atas komposisi semen harusnya menemukan alternatif-alternatif
dalam beberapa penelitan yang dihasilkan oleh Fakultas dibidang Kimia.
Kemana perginya sarjana-sarjana
tersebut? Mereka ditelan bumi. Tidak hadirnya para peneliti dan sarjana
tersebut dalam kisah pilu perlawanan warga Kendeng adalah tanda kemunduran
labotarium universitas untuk menjawab persoalan masyarakat. Kemungkinan besar,
mereka masih sibuk berbusa-busa di ruang seminar dan saling menyalip untuk dana
penelitian. Lalu dengan bangga mempersembahkan hasil penelitiannya yang hanya
sanggup digunakan di etalase-etalase pameran kementrian-kementrian penghambur
anggaran negara (You Know What I Mean..).
Jarak menganga di antara masyarakat dan universitas tidak bisa diselamatkan,
sehingga warga Kendeng perlu memaksimalkan tenaga-tenaga mereka—yang tadinya
dipakai untuk bertani dengan tentram—dipakai untuk mengisi ruang sosial politik
media nasional.
![]() |
Sejumlah petani dari Pegunungan Kendeng beristirahat dengan
kaki terpasung semen di LBH, Jakarta, Sabtu (18/3) | Koleksi Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Kini, beragam
Organisasi sosial dan lingkungan menyatakan solidaritas atas perjuangan warga
kendeng. Tuntutannya jelas, agar Presiden Jokowi mengambil sikap menolak
pembangunan Pabrik semen di Kendeng. Melalui dilema yang sama, para pendukung
militan Jokowi harus mematikan nalar dan kemanusiaan mereka dalam mengatasi isu
perlawanan ini. Mereka tidak mampu berfikir, bahwa sebagai pendukung Jokowi,
mereka tetap bisa ikut mendukung perlawanan warga Kendeng. Entah ada
korelasinya atau tidak—akibat diajarkan hanya boleh menggambar gunung dan sawah
semasa Orde Baru—mereka hanya memahami bahwa ketika menghadirkan penguasa yang
mereka cintai, mereka harus taklid buta dengan kebijakannya. Mereka hidup di era
Jokowi namun masih bermental zaman Orde Baru. Kebiasaan dicucuk hidung memang
berakibat buruk pada kinerja otak.
Dilema yang dibuat-buat
seperti ini menandai tumpulnya sikap kritis diantara mereka. Sehingga kemudian,
orang-orang yang menolak mendukung perjuangan warga Kendeng membuat ilusi-ilusi
moral dengan mencari kelemahan para pendukung solidaritas perjuangan ini.
Ketika satu momentum mereka hadir untuk bersikap dalam wacana ini, mereka
bersiap untuk membela diri melalui ‘dilema’ yang dibuat-buat tersebut. Dilema tersebut muncul karena tak ada
keberanian dalam nurani mereka. Dan tak mungkin membandingkan keberanian mereka
berdebat di sosial media dengan keberanian warga kendeng berhadapan dengan
penguasa di bibir Istana Merdeka. Kemerdekaan hanya milik pemberani, bukan
milik mereka yang tinggal di istana dan menumpang dalam kemerdekaan. Ibu Patmi,
namamu dicatat dalam sejarah sebagai pemberani. []
Pandenglang, Maret 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar