Jumat, 05 Mei 2017

Ketika Yesus Kristus Tidak Santun...

KETIKA YESUS KRISTUS TIDAK SANTUN...
Oleh: Giovanironi Jeremy
Jesus Christ with Shopping Bags | Koleksi: Bansky | 2005
MENELAAH atau memahami sosok Yesus Kristus bisa dikatakan bukan perkara mudah. Banyak pandangan berbeda mengenai diri-Nya. Tentu apa yang dipandang secara historis, tidaklah sama dengan apa yang dipandang secara teologis—meskipun dalam menilai keutuhan Yesus Kristus, kedua unsur tersebut haruslah terpenuhi.
Secara teologis, Yesus Kristus adalah figur paling sempurna dalam ajaran agama Kristen, dan bagi para penganutnya—pun pada beberapa sisi tertentu, dapatlah dikatakan agama Islam mengakui keistimewaan-Nya. Namun, secara historis, jikapun memang asumsi historisitas Yesus Kristus bisa dipercaya, bahwa Ia sama sekali bukan figur sempurna layaknya yang ada dalam moralitas Kristen itu sendiri.
Karena, dalam suatu poin dalam Al-kitab, diperintahkan jika seorang saudara seiman bersalah, maka yang melihatnya wajib menegur secara pribadi, bukannya mempermalukannya di depan khalayak ramai. Tapi, dalam catatan historis, Yesus Kristus seringkali mengkritisi para pemuka agama dihadapan publik—bahkan tak jarang juga mempermalukannya. Namun dapatlah dipahami, bahwa tujuan secara teologis hal tersebut ialah untuk membuka tabir sok keberkuasaan para pemuka agama dan mentaubatkan mereka—dan kembali ke Jalan-Nya. Meski, sekali lagi secara historis, apa yang dilakukan Yesus Kristus bertentangan dengan apa yang Dia ajarkan.

Ketidaksantunan Yesus Kristus
Kemudian lebih menariknya lagi, dari satu contoh di atas, bahwa banyak umat Kristen yang kerap berkata bahwa ‘seorang pemimpin selayaknya meniru Yesus Kritus—yang tegas dan santun. Nah, perkara masalah santun ini yang menjadi inti persoalan tulisan ini ditulis. Karena: pertanyaannya kemudian—merujuk contoh di atas—apakah Yesus Kristus benar orang santun, atau bukan orang santun?
Sampai di sini perlu disepakati terlebih dulu, yakni sosok Yesus Kristus ialah sosok berbicara sangat lembut pada orang tertindas. Baik secara teologis maupun historis hal ini disepakati oleh para peneliti. Namun, Ia bukanlah orang yang santun. Karena kalimat teguran yang biasa alamatkanNya kepada penguasa maupun pada orang tertindas—sama kerasnya.
Perlu diketahui bahwa Yesus Kristus memang terkenal dengan sarkasmenya, dan ketidakraguan untuk menghina perbuatan hina dan dosa yang dilakukan penguasa, pemuka agama, dan orang-orang kaya. Di titik ini, dalam pandangan teologi pembebasan, Yesus Kristus kerap dijadikan sebagai sosok anti-penindasan. Yesus Kristus juga terkenal sebagai sosok yang tidak munafik, dan to the point dalam mengkritik. Meski begitu, Ia pun bisa selembut sutra bagi siapapun yang memang membutuhkan kelembutan dan kasih sayang-Nya.

Yesus Kristus dan Pilkada Jakarta
Berkaitan dengan Pilkada Jakarta, misalnya, jika kita analogikan Yesus Kristus adalah seorang Gubernur DKI—sudah berapa banyak gereja ditutup karena terlalu bermewah-mewah? Sebagai pengikut Yesus Kristus, untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu saya tidak menolak atau ingkar akan pendapat orang kalau beberapa gereja memang terlalu jor-joran dalam beribadah. Hal ini tentu sangat dibenci oleh Yesus Kristus yang mengutamakan ajarannya dengan kesederhanaan. Bagi-Nya jumlah suatu persembahan bukanlah jadi masalah, melainkan keikhlasan dalam memberikannya. Hemat saya, ini inti ajaran Yesus Kristus dalam hal syiar agama.
Tentu bila kita boleh berandai, dengan tindakan yang demikian Yesus Kristus akan kehilangan suara kelompok Kristen garis keras dalam Pilkada Jakarta. Apa yang saya sebut sebagai ‘kelompok Kristen garis keras’ ialah serupa dengan sebutan ‘kelompok Islam garis keras’ yang mendukung salah satu calon hanya berdasarkan kesamaan agama bukan kinerja politiknya. Merujuk pengalaman pribadi saya, orang-orang Kristen radikal ini senang jika sebuah teguran atau kritik dilakukan dengan santun, pelan, dan baik—suatu hal yang, menurut saya, sama sekali tidak mencerminkan Yesus Kristus.
Perlu diketahui juga Yesus Kristus pun pernah memaki dan mengusir para pedagang yang menggelar barang dagangannya di depan Sinagoga. Ia mengklaim mereka sebagai penyamun, penjudi, dan dalam terjemahan lain, pembuat dosa. Jika Yesus Kristus  Gubernur DKI, tidak terhitung berapa besar cercaan dan makian yang diterima-Nya karena tindakannya itu, terutama jika ada pedagang yang menangis histeris dan memohon agar barang dagangannya tidak dihancurkan. Hal tersebut akan jadi suatu pandangan yang pedih bagi para aktivis kemanusiaan maupun orang awam. Mungkin Yesus tidak akan peduli, “Jangan kamu kotori rumah Bapa-Ku,” mungkin begitu kata-Nya.
Dengan demikian, apakah yang dibaca kebanyakan orang Kristen salah, dan apa yang saya kemukan di atas itu benar? Tentu saja tidak.
Refleksi seseorang tentang suatu tindakan atau peristiwa tidak bergantung pada apa yang dia baca, melainkan apa yang kemudian dia tafsirkan dari bacaan tersebut. Sudut pandang kebanyakan orang Kristen adalah teologis, maka mereka akan mengutamakan segunung kebajikan, keajaiban, dan kelembutan yang dilakukan-Nya. Sedangkan sudut pandang saya ialah historis, dan sebagaiama sudah dikemukan di atas, hemat saya, Ia bukanlah orang yang santun.
Sampai di sini kita perlu meminjam kata-kata sejarawan Edy Sudarjat dalam sebuah seminar yang baru-baru ini saya ikuti, “Dalam agama, yang penting bukan apa yang dibaca, tapi siapa yang membaca,” Bagi saya asumsi tersebut betul adanya. Orang tidak mempersoalkan apa isi tulisan di depannya, tapi mempersoalkan siapa yang menafsirkannya. Berkaitan Yesus Kristus dan Kesantunan, mungkin bagi orang teologis, penafsiran historis adalah keliru, begitu juga sebaliknya. Namun nyatanya jika tidak melihatnya dari dua kaca mata tersebut, kita hanya melihat separuh Yesus Kristus—sebagai “Anak Tuhan” atau “manusia biasa”. Olehnya kita tidak bisa melihat seutuhnya—sebagai tukang kayu yang berhasil mengubah dunia dan membuka jalan pada suatu era yang baru. []

April 2017


*Giovanironi Jeremy—mahasiswa Sejarah UNJ dan pengikut JIL (Jamaah Isa Liberal). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar