KETIKA
YESUS KRISTUS TIDAK SANTUN...
Oleh: Giovanironi Jeremy
![]() |
Jesus Christ with Shopping Bags | Koleksi: Bansky | 2005 |
MENELAAH atau memahami sosok Yesus
Kristus bisa dikatakan bukan perkara mudah. Banyak pandangan berbeda mengenai
diri-Nya. Tentu apa yang dipandang secara historis, tidaklah sama dengan apa
yang dipandang secara teologis—meskipun dalam menilai keutuhan Yesus Kristus,
kedua unsur tersebut haruslah terpenuhi.
Secara
teologis, Yesus Kristus adalah figur paling sempurna dalam ajaran agama Kristen,
dan bagi para penganutnya—pun pada beberapa sisi tertentu, dapatlah dikatakan agama
Islam mengakui keistimewaan-Nya. Namun, secara historis, jikapun memang asumsi
historisitas Yesus Kristus bisa dipercaya, bahwa Ia sama sekali bukan figur
sempurna layaknya yang ada dalam moralitas Kristen itu sendiri.
Karena,
dalam suatu poin dalam Al-kitab, diperintahkan jika seorang saudara seiman
bersalah, maka yang melihatnya wajib menegur secara pribadi, bukannya mempermalukannya
di depan khalayak ramai. Tapi, dalam catatan historis, Yesus Kristus seringkali
mengkritisi para pemuka agama dihadapan publik—bahkan tak jarang juga
mempermalukannya. Namun dapatlah dipahami, bahwa tujuan secara teologis hal
tersebut ialah untuk membuka tabir sok
keberkuasaan para pemuka agama dan mentaubatkan mereka—dan kembali ke
Jalan-Nya. Meski, sekali lagi secara historis, apa yang dilakukan Yesus Kristus
bertentangan dengan apa yang Dia ajarkan.
Ketidaksantunan Yesus Kristus
Kemudian lebih menariknya lagi, dari
satu contoh di atas, bahwa banyak umat Kristen yang kerap berkata bahwa ‘seorang
pemimpin selayaknya meniru Yesus Kritus—yang tegas dan santun. Nah, perkara
masalah santun ini yang menjadi inti persoalan tulisan ini ditulis. Karena:
pertanyaannya kemudian—merujuk contoh di atas—apakah Yesus Kristus benar orang santun, atau bukan orang
santun?
Sampai
di sini perlu disepakati terlebih dulu, yakni sosok Yesus Kristus ialah sosok berbicara
sangat lembut pada orang tertindas. Baik secara teologis maupun historis hal
ini disepakati oleh para peneliti. Namun, Ia bukanlah orang yang santun. Karena
kalimat teguran yang biasa alamatkanNya kepada penguasa maupun pada orang
tertindas—sama kerasnya.
Perlu
diketahui bahwa Yesus Kristus memang terkenal dengan sarkasmenya, dan
ketidakraguan untuk menghina
perbuatan hina dan dosa yang
dilakukan penguasa, pemuka agama, dan orang-orang kaya. Di titik ini, dalam
pandangan teologi pembebasan, Yesus Kristus kerap dijadikan sebagai sosok
anti-penindasan. Yesus Kristus juga terkenal sebagai sosok yang tidak munafik,
dan to the point dalam mengkritik.
Meski begitu, Ia pun bisa selembut sutra bagi siapapun yang memang membutuhkan
kelembutan dan kasih sayang-Nya.
Yesus Kristus dan Pilkada Jakarta
Berkaitan dengan Pilkada Jakarta,
misalnya, jika kita analogikan Yesus Kristus adalah seorang Gubernur DKI—sudah
berapa banyak gereja ditutup karena terlalu bermewah-mewah? Sebagai pengikut
Yesus Kristus, untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu saya tidak menolak
atau ingkar akan pendapat orang kalau beberapa gereja memang terlalu jor-joran dalam beribadah. Hal ini tentu
sangat dibenci oleh Yesus Kristus yang mengutamakan ajarannya dengan
kesederhanaan. Bagi-Nya jumlah suatu persembahan bukanlah jadi masalah,
melainkan keikhlasan dalam memberikannya. Hemat saya, ini inti ajaran Yesus
Kristus dalam hal syiar agama.
Tentu
bila kita boleh berandai, dengan tindakan yang demikian Yesus Kristus akan
kehilangan suara kelompok Kristen garis keras dalam Pilkada Jakarta. Apa yang
saya sebut sebagai ‘kelompok Kristen garis keras’ ialah serupa dengan sebutan
‘kelompok Islam garis keras’ yang mendukung salah satu calon hanya berdasarkan kesamaan agama bukan kinerja politiknya. Merujuk
pengalaman pribadi saya, orang-orang Kristen radikal ini senang jika sebuah
teguran atau kritik dilakukan dengan santun, pelan, dan baik—suatu hal yang,
menurut saya, sama sekali tidak mencerminkan Yesus Kristus.
Perlu
diketahui juga Yesus Kristus pun pernah memaki dan mengusir para pedagang yang
menggelar barang dagangannya di depan Sinagoga. Ia mengklaim mereka sebagai penyamun, penjudi, dan dalam terjemahan
lain, pembuat dosa. Jika Yesus Kristus
Gubernur DKI, tidak terhitung berapa besar cercaan dan makian yang diterima-Nya
karena tindakannya itu, terutama jika ada pedagang yang menangis histeris dan
memohon agar barang dagangannya tidak dihancurkan. Hal tersebut akan jadi suatu
pandangan yang pedih bagi para aktivis kemanusiaan maupun orang awam. Mungkin
Yesus tidak akan peduli, “Jangan kamu kotori rumah Bapa-Ku,” mungkin begitu
kata-Nya.
Dengan
demikian, apakah yang dibaca kebanyakan orang Kristen salah, dan apa yang saya kemukan di atas itu benar? Tentu saja tidak.
Refleksi
seseorang tentang suatu tindakan atau peristiwa tidak bergantung pada apa yang
dia baca, melainkan apa yang kemudian dia tafsirkan dari bacaan tersebut. Sudut
pandang kebanyakan orang Kristen adalah teologis, maka mereka akan mengutamakan
segunung kebajikan, keajaiban, dan kelembutan yang dilakukan-Nya. Sedangkan sudut
pandang saya ialah historis, dan sebagaiama sudah dikemukan di atas, hemat
saya, Ia bukanlah orang yang santun.
Sampai
di sini kita perlu meminjam kata-kata sejarawan Edy Sudarjat dalam sebuah
seminar yang baru-baru ini saya ikuti, “Dalam agama, yang penting bukan apa
yang dibaca, tapi siapa yang membaca,” Bagi saya asumsi tersebut betul adanya.
Orang tidak mempersoalkan apa isi tulisan di depannya, tapi mempersoalkan siapa
yang menafsirkannya. Berkaitan Yesus Kristus dan Kesantunan, mungkin bagi orang
teologis, penafsiran historis adalah keliru, begitu juga sebaliknya. Namun
nyatanya jika tidak melihatnya dari dua kaca mata tersebut, kita hanya melihat separuh Yesus Kristus—sebagai “Anak
Tuhan” atau “manusia biasa”. Olehnya kita tidak bisa melihat seutuhnya—sebagai
tukang kayu yang berhasil mengubah dunia dan membuka jalan pada suatu era yang
baru. []
April 2017
*Giovanironi Jeremy—mahasiswa Sejarah
UNJ dan pengikut JIL (Jamaah Isa Liberal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar