GEMPA WAKTU DAN KISAH TOKOH KITA PADA
SEBUAH SIMPOSIUM
Oleh: Tyo Prakoso
/1/
“ALIH-ALIH meminta maaf, kami
akan membentengi dan menjaga NKRI dan Pancasila dari bahaya laten Komunis Gaya
Baru. Tidak ada kata maaf dari negara untuk PKI. Sudah terang-benderang dalam
sejarah bahwa PKI itu pemberontak, pembunuh, dan pengkhianat bangsa. Sekali lagi
saya tegasken, tidak ada tempat untuk komunisme di bumi Indonesia!”
Mendengar
kata-kata yang dilontarkan oleh seorang Purnawirawan Tentara sambil mendelik di
podium acara Simposium itu membuat
punggung kemeja Tokoh Kita basah oleh butir-butir keringat. Ia merasa lututnya
seperti lepas dari tempurung-engselnya, dan kursi tempat pantatnya menahan
beban tubuhnya ambruk karena tekanan kalimat yang diucapkan Purnawirawan
Tentara itu pada setiap kata komunis dan
PKI. Tokoh Kita seperti merasakan
gempa waktu—syahdan, betapa ketakutannya ketika berada di dalam rumah dan
bebatuan menghujam rumahnya seperti meteor dan berbarengan dengan teriakkan dan
makian: Bakar! Bakar! Rumah komunis!
Bakar! Ganyang komunis! Keringat makin membasahi punggungnya dan lututnya
semakin lunglai, meski penyejuk udara ruangan Simposium tersebut berfungsi
dengan baik.
Namun,
sekelebatan ia ingat kata-kata Ayahnya, Berani,
berani, dan sekali lagi, berani!—kata-kata itu membuatnya mafhum alasannya
bersedia dan bersemangat menghadiri Simposium tersebut. Ini harus kulalui,
pikirnya kemudian dalam hati kelebatan kata-kata Ayahnya. Ini saatnya anak
komunis bicara tentang masa lalu dan pengalamannya sebagai manusia, lanjutnya
lagi, dan ia meneguk air dalam botol mineral yang disediakan untuk peserta
Simposium.
*
“HEI TOLOL, KAU memelihara
anak-anak komunis?!” tanya lelaki berambut cepak dengan nada suara rasanya
ingin menempeleng batok kepala di hadapannya. Juga sorot matanya. Pada suatu
pagi yang nelangsa—lelaki paruh baya berwajah teduh itu berdiri getun di
hadapannya.
Demikianlah
awal kisah nelangsa ini bermula.
Jam 11 malam. Aku masih
terjaga, hanya berbaring di ranjang kamar, di samping kembaranku—Ir—dan kakak
laki-laki nomor tiga—Iw—yang telah lelap. Saat itu aku dan Ir berumur 6 tahun,
dan Iw berumur 10 tahun. Aku ingat, di luar kamar, aku mendengar suara lelaki
berbicara kepada Ayah. Suaranya sayup-sayup. Karena terdorong rasa ingin tahu,
aku bangkit dari ranjang dan melongok ke ruang tengah, ke tempat sumber
suara—rupanya Ayah sedang berbicara dengan dua orang tentara berseragam biru.
Aku lihat wajah Ayah gusar. Jidatnya yang lebar berkeringat. Tapi matanya tetap
tajam saat kata-kata keluar dari mulutnya.
Tentara itu
memberi penjelasan mengapa mereka datang; “Keadaan tidak aman, Bung. Konsolidasi
harus dilakukan. Segera, Bung!”
Ayah
menganggukkan kepala. Ada keraguan dari gerak-gerik Ayah. Ia memerintahkan
kedua tentara itu duduk-menunggu. Ayah berjalan menuju ruang kerjanya, yang
berada di samping kamarku. Ayah melihatku. Tapi langkahnya tetap tertuju ke
ruang kerjanya. Seperti tidak acuh kepadaku. Beberapa saat kemudian, Ayah
keluar dari ruang kerjanya dengan sebuah tas yang terlampir di pundak; tampak
sebuah buku dan beberapa map di dalam tas yang masih terbuka. Ayah menuju ke
kamarnya yang berada di depan kamarku. Ia menatapku. Aku menatapnya. Kami
bertatap-tatapan.
“Sudah
malam, kenapa belum tidur, Ham?” tanya Ayah, saat kami saling bertatapan.
Pertanyaan
itu seperti tidak mengharapkan jawaban. Dengan sebuah gerakan
isyarat-kepalanya—aku mengerti, ia menyuruhku masuk ke kamar dan lekas tidur.
Aku
melangkah kembali ke ranjang—Ayah masuk ke dalam kamarnya yang letaknya di
antara ruang kerja dan kamarku. Dari ranjang aku mendengar keributan antara
Ayah dan Ibu. Suaranya sengit. Karena pintuku terbuka setengah, aku mendengar
dengan jelas keributan itu. Ibu meminta Ayah untuk tidak pergi malam itu.
“Demi
keselamatanmu, dan anak-anak,” kata Ibu.
Mulanya aku
tidak mendengar bantahan Ayah. Mungkin Ayah terdiam sesaat. Mungkin
mempertimbangkan. Akhirnya aku mendengar suara Ayah.
“Ini tugas
partai,”
Kemudian
aku tahu, jika kata-kata Ini tugas
partai sudah keluar dari mulut Ayah, maka itu artinya tak bisa
digugat—apapun dan bagaimanapun keadaannya. Sebab, sedari kami mengenalnya
begitulah watak Ayah. Baginya, partai adalah segalanya—setidaknya itu yang
kuketahui bertahun-tahun kemudian.
Malam itu
rasa ingintahuku masih tak bisa dicegah. Aku kembali melongok di depan pintu
kamar. Aku melihat Ayah memeluk Ibu. Mungkin untuk meredakan kegusarannya. Ibu
meneteskan air mata. Entah mengapa. Kemudian Ayah mengecup keningnya. Mereka berjalan
beriringan keluar kamar.
“Kamu, anak
kecil. Sudah malam begini masih kelayapan,” kata Ibu melihatku masih
melongok di depan pintu kamar.
Ayah
tersenyum kepadaku. Aku melihat ada keraguan di senyum itu. Kemudian Ayah
menggendongku. Aku letakkan kepalaku di dada Ayah. Kami berjalan ke ruang
tengah. Sampai di ruang tengah, dua tentara itu berdiri. Mereka mengangguk. Tak
ada senyum di wajah mereka. Tentara itu berjalan keluar rumah, menyalakan mobil
Jeep yang terparkir persis di depan gerbang rumah. Deru mesin terdengar. Di
ruang tengah, setelah memberikan aku ke Ibu, Ayah kembali mengecup kening Ibu
dan mengusap-usap rambutku.
“Jangan
lupa mengunci pagar dan matikan lampu depan,” kata Ayah kepada Ibu.
Aku dan Ibu
mengantar Ayah hingga teras. Kami melihat Ayah masuk ke dalam Jeep, hingga deru
mesin Jeep itu hilang ditelan malam di persimpangan jalan. Aku ingat, malam itu
ayah tak pernah menoleh lagi ke belakang.
Kami lama
berdiri di depan pintu. Ada kesedihan yang mendalam pada wajah Ibu yang dapat
kulihat, itu juga yang membuatku menjadi sedih juga—yang bertahun-tahun
kemudian baru aku ketahui mengapa; sebab itu malam terakhir kami melihat Ayah.
Malam itu aku tidur bersama Ibu di kamarnya, dan membiarkan Ir dan Iw terlelap.
Aku merasa malam itu sungguh berbeda; selain suasana sedih dan muram Ibu—aku
juga merasakan, sepertinya malam itu begitu amat panjang untuk menuju pagi.
Sejak peristiwa malam itu Ibu
selalu tampak gusar. Beberapakali aku melihat Ibu melamun di kamar kerja Ayah.
Hingga di hari ketiga sejak peristiwa malam itu, sewaktu aku terbangun di pagi
hari, sewaktu Ir dan Iw masih lelap, Ibu menghilang—atau lebih tepatnya aku tak
menemukan Ibu di rumah. Aku mendapati rumah yang kosong. Semua lampu dimatikan.
Tirai jendela tertutup rapat. Aku berjalan ke ruang tengah. Aku menemukan
sebuah pesan di kertas yang ditaruh di atas meja dan ditindih buku tebal
bersampul merah—yang bertahun-tahun kemudian baru kuketahui judul buku itu
ialah Das Capital karya Karl
Marx, koleksi Ayah.
Isi pesan
itu ialah:
|| IBU PERGI ADA KEPERLUAN.
KALIAN TETAP DI RUMAH. JANGAN NYALAKAN LAMPU ATAU BUKA TIRAI JENDELA. NANTI
KAKEK DULLAH AKAN KE RUMAH UNTUK MENEMANI KALIAN.
—IBU YANG MENCINTAI KALIAN— ||
Jam 9 pagi,
saat Ir dan Iw sudah bangun, aku beritahu kepada mereka pesan ibu. Iw, yang
lebih tua daripada kami, membaca dengan wajah yang gugup. Ada belek yang
menahan air matanya yang tumpah. Kami saling berpelukan.
Saat kami
berpelukan itulah; Braaaaaaakkk…
braaaakk… braakk….
Sepertinya
sebuah benda dilempar ke arah
rumah kami. Mungkin sebuah batu kali yang ukurannya lumayan besar, karena
suaranya begitu memekak telinga—batu itu mungkin mengenai tembok dan pagar
rumah kami. Kami bertiga menangis. Kami tetap saling berpelukkan. Kira-kira jam
1 siang, saat Kakek Dullah datang melalui pintu samping, lebih dari 15 kali
lemparan ke arah rumah kami.
Melihat
kami ketakutan, menangis dan saling berpelukan, Kakek Dullah lekas memeluk kami
sambil mencium kepala kami satu-per-satu. Wajahnya mencoba menenangkan kami.
Tapi, aku lihat, wajahnya tidak bisa disebut tenang. Kakek Dullah memandikan
kami satu-per-satu. Lalu membuatkan makanan seadanya—jika ingatanku bisa kau
percaya, hanya semangkuk bubur jagung. Kami makan tak berselera. Ketakutan
sudah menguasai tubuh. Kami tidur saling berimpitan. Lampu tetap dimatikan dan
tirai masih tertutup rapat. Sepanjang itulah batu-batu seperti meteor dari
angkasa menghujam rumah kami. Bahkan dari luar terdengar teriakan orang-orang; Bakar! Bakar! Rumah komunis! Bakar! Ganyang
komunis!
Kami tak
bisa tidur malam itu. Kakek Dullah terus memeluk kami erat-erat. Hingga di
waktu subuh, suara deru mobil berhenti di depan rumah. Mengetuk pintu samping.
Kakek Dullah lekas bangun. Aku melongok dari depan pintu kamar. Ia memastikan
siapa yang mengetuk pintu melalui lubang kecil di pintu tersebut; wajahnya
memendarkan cahaya seperti melihat messiah turun di hari akhir—“Paman Bayi,”
bisik Kakek Dullah lebih kepada dirinya sendiri ketimbang kepada kami. Paman
Bayi adalah adik laki-laki ibu. Lekas pintu dibuka. Paman Bayi dan Kakek Dullah
berpelukan. Paman Bayi meneteskan air mata.
“Lekas,
Kek!” bisik Paman Bayi—bisikkan yang terlalu keras, mungkin karena
ketakutan—sambil memastikan keberadaan mobilnya di seberang rumah, mungkin
was-was dipergoki warga.
Paman Bayi
tetap di pintu—Kakek Dullah kembali ke kamar memanggil kami bertiga, setengah
berlari. Tak ada barang yang dibawa selain baju yang menempel pada tubuh, dan
kertas pesan ibu yang sedari kemarin kusimpan di kantong baju. Kami lekas
keluar dari rumah. Aku melihat banyak batu sebesar kepalaku yang berserakan di
depan rumah, beberapa pot tanaman hancur, tembok pagar kami dicoret-coret:
“PEMBUNUH!” dan “KOMUNIS PENGKHIANAT!” dan “GANYANG KOMUNIS!” dan masih banyak
lagi coretan yang tertera di tembok rumah kami.
Kami masuk
ke dalam mobil, meninggalkan itu semua…
Mobil melewati jalan-jalan
yang mencekam. Aku ingat di mana-mana tampak bekas aksi huru-hara massa, di
mana-mana coretan-coretan seperti di tembok rumahku tampak, di mana-mana ada
rumah yang hangus bekas dibakar. Ada gedung-gedung yang hancur kacanya. Kami
berlima semua terdiam. Hanya deru mobil melewati jalan-jalan yang sama-sekali
tak kukenal. Beberapa kali mobil melewati pos patroli yang dijaga oleh sejumlah
orang bersenjata, tapi tak berseragam tentara.
Hingga
kemudian kami sampai di sebuah rumah—yang kemudian kuketahui itu adalah rumah
Paman Bayi. Hampir beberapa bulan kami tinggal di rumah Paman Bayi, selama itu
pula aku tak mengetahui kabar dan keberadaan ayah dan ibu. Paman Bayi selalu
bilang kepada kami bila kami merengek-rengek keberadaan ayah dan
ibu; mereka baik-baik saja—kau tahu, dengan wajah yang bertolak belakang
dengan kata-katanya.
Pada hari
sabtu malam—di tanggal, bulan dan tahun yang tak lagi kuingat, hanya hari
‘minggu’ itulah yang kuingat karena tepat di seberang gang rumah Paman Bayi
terdapat sebuah gereja Katolik dan sedang ada kebaktian—aku senang mendengar
suara kidung dan doa-doa yang dilantunkan, Kakek Dullah memutuskan pulang ke
Belitung.
Pada suatu
pagi, Paman Bayi memberitahu kepada kami, bahwa ia harus pergi ke luar kota
karena ada kerjaan yang harus dirampungkan. Dan itu artinya kami—yang masih
(aku dan Ir) berumur 7 tahun dan (Iw) 13 tahun—hari itu juga, akan dititipkan
ke rumah sanak-keluarga yang lain, “sambil menunggu kedatangan ayah dan
ibumu,” kata Paman Bayi. Kami dititipkan di rumah Paman Mul, kakak Om Bayi dan
ibu, yang baru saja ditinggal meninggal dunia istrinya. Ia hidup sebatang kara
sebab anak-anaknya telah merantau ke kota.
/2/
Setelah beberapa waktu,
akhirnya Tokoh Kita diberi kesempatan untuk bicara di Simposium itu. Ia menuju
ke podium tempat para narasumber menyampaikan paparan atau kisahnya perihal
tema yang sudah ditentukan oleh panitia Simposium.
Tampak
punggung kemeja Tokoh Kita masih basah oleh keringat. Meski langkah kakinya
mantap, tetap ada nada keraguan di setiap gerak tubuhnya—terlebih ketika ia
benar-benar sampai di podium dan di hadapannya terdapat mic dan kemudian kalimat pertamanya terdengar parau.
Gempa
waktu belum benar-benar reda—kau perlu tahu, merujuk catatan fisikawan kurang
terkenal bernama Douglas McRightman, dalam manuskripnya yang tersimpan di
Perpustakaan Nasional London yang judulnya tak perlu kau ketahui di sini, bahwa
gempa waktu adalah kerusakan mendadak dalam kontinuum ruang-waktu yang
mengakibatkan segala sesuatu di dunia ini bertindak persis seperti yang
sebelumnya terjadi dalam jangka waktu tertentu, untuk kedua atau sekian
kalinya, tanpa keterlibatan kehendak bebas sama sekali. Dan gempa waktu adalah
penjelasan paling masuk akal mengenal déjà
vu.
Beberapa
detik ketika Tokoh Kita mendengar kalimat Purnawirawan Tentara itu, gempa waktu
terjadi—menggulung alam semesta ke beberapa waktu-lampau, maka segalanya di
dunia pun mengulang semuanya, sampai waktu-lampau itu terlewati dan kembali ke
titik di mana Tokoh Kita berada—di dalam ruang Simposium 1965 di hotel
berbintang lima.
Penanda
berakhirnya gempa waktu adalah déjà vu—atau
yang biasa kita sebut déjà vu. Sebuah
perasaan aneh yang membuat kita ingin berkata: Aing pernah mengalami ini
sebelumnya. Tentu ada pertanyaan, misalnya, “Saya mengalami déjà vu, mengalama orang di sebelah saya
tidak?” Douglas McRightman sudah memaparkan juga di bagian lain dalam
manuskripnya—kita harus doakan saja semoga manuskrip itu lekas dicetak menjadi buku
bestseller meski sudah lebih dari 1
abad tersimpan di rak perpustakaan itu, dan agar apa yang dipaparkan ini
semakin terang dan tidak lagi ada kebingungan untuk mendefinisikan apa itu déjà vu—bahwa gempa waktu memang
melibatkan semua orang pada saat bersamaan, tetapi déjà vu tidak. Déjà vu hanya
akan dialami apabila otak seseorang mendeteksi adanya sepersekian-milidetik
jeda antara kendali otomatis dan kehendak bebas. “Paling tidak hanya 3,2%
manusia saja dari keseluruhan populasi yang mengalami déjà vu pada saat bersamaan,” tulis McRightman di halaman 195. Mungkin
kalimat Berani, berani, dan sekali lagi,
berani! yang berkelebatan itu berada ‘di antara’ kendali otomatis dan
kehendak bebas Tokoh Kita.
Meski kita
tidak benar-benar tahu apakah gempa waktu masih juga belum reda menerpanya,
yang kita tahu ialah kalimat yang diucapkannya kemudian masih terdengar parau,
dan di ujungnya terdengar gentar.
“Tidak
gampang menjalani hidup di negeri ini sebagai anak seorang komunis…” kata Tokoh
Kita memulai, setelah mengucapkan salam dan penghormatan kepada tamu kehormatan
dan hadirin sekalian.
*
SINAR matari menyepuh pagar
besi bercat putih itu. Pagar itu menjadi pemisah yang kokoh antara hitam-legam
jalan aspal dengan hamparan rumput-gajah dan berbagai tanaman hias yang
tersusun sedemikian rupa pada beberapa pot tanah liat di halaman depan sebuah
rumah. Tinggi pagar itu kira-kira sedada
orang dewasa—dengan motif horizontal, mengelilingi dua buah bangunan yang
luasnya 350 m² lebih sedikit: satu bangunan utama dan satu pavilium di sebelah
kiri yang ukurannya 2 kali lebih kecil dari bangunan utama. Kedua bangunan itu
bergaya jengki; atap segitiga-sama-kaki yang besar sehingga penghuni di dalam
dapat merasakan sirkulasi udara yang baik dan mendapatkan kesan lapang bagi
penglihat dari luar, ditambah cat putih pada dinding bagian luar dan dalam
dengan garis kecil di beberapa bagian ats dinding berwarna hijau-tua dan
cokelat-pudar pada genting, membuat rumah itu begitu anggun ketimbang
rumah-rumah lain di sekitarnya; yang tidak terlalu padat karena di beberapa
bagian masih ada tanah lapang dan sebuah taman.
Ada dua pasang
kursi kayu berhadapan yang telah diplitur; di tengahnya sebuah meja kayu
berbentuk lingkaran yang tingginya sama dengan tinggi kursi, sebuah taplak kain
batik membungkus meja; asbak terbuat dari keramik berbentuk setengah lingkaran
berwarna hitam di atasnya. Ada hiasan kepala banteng di dinding beranda rumah,
persis terletak di atas pintu masuk yang tinggi.
Angin
sepoi-sepoi dan jalanan sepi. Memang tidak seperti biasanya. Langit berawan
berarak, terlihat dari ranting dan dahan pepohonan matoa di halaman rumah.
Beberapa daun kering berguguran. Padahal bukan musim penghujan.
Jam 9 pagi.
Deru suara mesin Jeep berhenti di depan rumah itu. Empat lelaki dewasa berambut
cepak dan berbadan tegap, turun dari Jeep dan berdiri di depan pagar. Mungkin
tentara, tapi tak berseragam. Tiga lelaki cepak berbaris agak ke belakang, satu
berdiri paling depan.
Satu lelaki
cepak itulah yang mengucapkan salam. Satu kali. Dua kali salam diucapkan.
Sahutan
terdengar dari dalam rumah. Siempunya rumah, lelaki paruhbaya yang berwajah
teduh, berjalan perlahan dengan sandal selop yang diseret. Setelah melirik tamu
yang mengucapkan salam tadi dari beranda, tampak langkah kakinya gemetar. Itu
terlihat dari pijakan kakinya yang goyah. Tubuhnya yang semampai, seperti
bangunan tahan-gempa yang diguncangkan. Wajahnya agak ragu.
Di depan
pagar, sambil membuka engselnya, ia tersenyum dan mengulurkan tangan,
bersalaman.
“Silakan
masuk, Pak.” kata Siempunya pada lelaki cepak yang berdiri paling depan.
Tak
terdengar jawab. Lelaki cepak itu cuma mengangguk, kemudian mereka melangkah
masuk ke dalam rumah—seperti ingin mencari sesuatu, Siempunya mengikuti di
belakangnya.
Langkah
kaki-kaki itu terburu. Sehingga menghasilkan hentakan suara gaduh sepatu lars beradu
dengan lantai. Langkah kaki Siempunya rumah tetap diseret.
Di depan
pintu, di antara dua pasang kursi yang berhadapan itu, mereka berhenti. Empat
lelaki cepak itu berhadapan dengan Si Empunya. Siempunya tetap tersenyum,
meskipun mukanya tidak bisa berbohong, ada ragu di wajah teduh itu.
![]() |
Koleksi: LIFE |
“Hei tolol,
kau memelihara anak-anak komunis?!”
Siempunya
rumah tak menjawab. Wajah teduhnya menjadi gugup.
Sorot mata
lelaki cepak itu tajam. Tingkah-lakunya semakin kasar. Dari balik jaket yang
dikenakannya ia mengeluarkan sebuah pistol; hitam berkilauan dan beberapa
peluru di dalamnya. Melihat pistol siap ditekan pelatuknya, siempunya tercekat.
Dua dari empat lelaki itu masuk ke dalam rumah. Siempunya ingin mengikuti dari
belakangnya, tapi dicegat langkahnya oleh dua lelaki cepak yang lainnya. Ia
berhadapan dengan dua lelaki itu.
“Kamu
komunis?!” tanya salah satu lelaki cepak itu kepada siempunya rumah.
“Kenapa
kamu pelihara anak-anak komunis?” tanya lagi lelaki cepak yang sama.
Tak
terdengar jawaban. Siempunya hanya menatap kepala banteng yang tergantung di
dinding pintu masuk rumahnya. Kepala siempunya rumah kena bogem-mentah. Ia
terhujung. Terjatuh. Tapi lekas bangkit lagi.
Langkah
tegap sepatu lars dua lelaki cepak yang masuk ke dalam rumah terdengar
menghentak. Dua lelaki cepak yang tadi mencegat langkah dan memberi
bogem-mentah kepada siempunya, memberi sebuah intruksi menggunakan kepala,
menyuruh siempunya masuk juga ke dalam rumahnya. Siempunya berjalan paling
depan, jalannya masih diseret, langkah kakinya goyah, diikuti di belakangnya
oleh dua lelaki cepak tadi. Mereka melewati ruang tamu; berderet rak buku dan
foto-foto yang tergantung di dinding, melewati lorong pendek yang di
kanan-kirinya berhadap-hadapan 4 buah kamar yang keempatnya pintu itu ditutup,
dengan sebuah gerakan didobrak pintu-pintu itu, tapi tak ada penghuninya,
mereka terus berjalan melewati ruang makan dan dapur, hingga sampailah di pintu
halaman belakang yang cukup lapang; halaman itu tersusun sedemikian rupa oleh
berbagai tanaman hias—seperti halaman depan rumah di antara pavilium dan
bangunan utama terhampar tanaman hias berbagai jenis—dan di bagian sisi
kanannya tempat temali-jemuran melintang di sebatang bambu yang tertancap di
tanah, di sisi kirinya ada tanah lapang dan berdiri pohon belimbing sayur.
Di sisi
itulah, dua lelaki cepak yang masuk lebih dulu tadi dan mengeluarkan pistol
yang siap ditekan pelatuknya itu, berdiri mematung. Mereka memandang dua bocah
yang riang-gembira sedang bermain kelereng membelakangi kedatangannya. Bocah
itu kembar, mengenakan pakaian yang persis; kaos berwarna putih bergambar tokoh
kartun dan celana pendek berwarna biru. Bocah kembar itu sedang jongkok
memegang kelerengnya masing-masing.
Mengetahui
kedatangan tamu yang tidak diundang, bocah kembar itu membalikkan badan.
Buru-buru lelaki cepak yang tadi memegang pistol, memasukkan pistolnya ke balik
jaketnya. Mereka tersenyum pada bocah kembar itu.
“Ayo main,
Om!” kata salah satu bocah kembar itu.
Lelaki
cepak tadi hanya tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin ia
teringat anaknya di rumah, atau mungkin hal yang lain. Dua lelaki cepak itu
berjalan kembali ke arah dalam rumah.
Di depan
pintu belakang, yang berdiri di sana siempunya rumah dan dua lelaki cepak
lainnya—yang sedari tadi menyaksikan adegan tersebut—lekaki cepak yang tadi
mengeluarkan pistol, berkata pada siempunya rumah; “Jaga baik-baik bocah kembar
itu…” kata-kata itu pelan sekali, diucapkan tepat di wajah siempunya rumah yang
kembali teduh.
“Seminggu
sekali harus lapor ke Kodim.” lanjut lelaki cepak tadi, kini suara itu keras
dan jelas.
Keempat
lelaki cepak itu berjalan meninggalkan rumah diikuti siempunya rumah di
belakangnya. Sampai di depan pagar bercat putih itu, siempunya rumah
mengucapkan salam dengan wajah berterima kasih.
Empat
lelaki cepak itu tak menjawab. Jeep menderu-deru. Hingga hilang dari
pendengaran.
Siempunya
lekas masuk ke dalam rumah dengan setengah berlari. Ia ke halaman belakang,
kemudian memeluk bocah kembar itu—dan menangis. Sementara bocah kembar itu
masih riang-gembira bermain kelereng.
Merasa
terganggu dengan pelukan siempunya, “Paman Mul jangan ganggu dong, kita masih
main nih!” kata salah seorang bocah kembar itu, karena permainan kelereng masih
berlanjut seru.
Siempunya
berwajah teduh itu masih berlinangan air matanya.
*
PAMAN MUL adalah lelaki paruhbaya dengan wajah
yang teduh. Sorot matanya seperti ibu; tegas tapi juga menenangkan. Ia gemar
merawat tanaman—sehingga halaman depan dan belakang rumahnya yang cukup lapang
berhias dan bersusun sedemikian rupa macam jenis tanaman.
Dulu
sewaktu muda Paman Mul bekerja sebagai pegawai pos. Kini ia hidup dengan uang
pensiunan di hari senjanya. Rumahnya cukup lapang, bercat putih dan bergaya
jengki. Bagian atapnya tinggi, sehingga sirkulasi udara begitu baik. Oleh
karena itu, di dalam rumah Paman Mul tidak ada kipas angin atau penyejuk
ruangan. Angin sepo-sepoi masuk dari kisi-kisi jendela dan atap yang berbentuk
segitiga-sama-kaki.
Selain
merawat tanaman, Paman Mul gemar membaca koran di beranda rumahnya yang
terdapat dua pasang kursi kayu dan meja berbentuk lingkaran, sambil menikmati
secangkir teh poci. Biasanya Paman Mul membaca koran di waktu pagi, setelah
mengantarkan kami ke sekolah.
Pada sore
hari, saat Paman Mul menyiram atau merawat tanaman di halaman belakang—ketika
kami bermain kelereng atau petak umpet, aku kerap bertanya pada Paman
Mul, kapan ayah dan ibu pulang, Paman? kataku.
Paman Mul
berhenti sejenak dari pekerjaannya. Lalu menatap kami. Tersenyum. Aku melihat
wajahnya yang teduh itu gugup. Ia melanjutkan pekerjaannya. Tangannya seperti
bergetar. Kami melanjutkan bermain kelereng atau petak-umpet.
Beberapa
kali aku menanyakan hal serupa lagi. Tapi jawaban Paman Mul sama; tatapan gugup
di wajah yang teduh. Kemudian aku tahu, itu artinya aku tak elok menanyakannya
lagi pada Paman Mul—hingga aku tahu atas pertanyaanku tadi, saat Ibu datang ke
rumah Paman Mul setelah sekian tahun lamanya pergi—Ibu, ceritanya yang kudengar
saat ia bercerita dan bersimpuh di hadapan Paman Mul di suatu sore—ditahan di
Kodim 66, penjara Salemba dan Bukit Duri Jakarta.
“Dimana
ayah?” tanyaku kepada Ibu saat ia baru saja usai bercerita kepada kami,
beberapa tahun kemudian setelah kami dewasa, dan Ibu semakin tua.
Ibu tidak
menjawab. Ia menjadi gugup, memeluk kami dan berlinang air matanya. Mungkin,
Ibu berpikir, pertanyaan itu keluar juga dari mulut anak-anaknya—dan juga
mungkin Ibu merasa tetap tak bisa menjawabnya. Kami berpelukan erat. Kau tahu,
kami pun berlinang bersama. Karena jawaban yang tak terucapkan itu. Selang
beberapa bulan dari kejadian itu Ibu meninggal dunia.
Sketsa Ayah dieksekusi |
Pada hamparan tanah kerikil
yang ditumbuhi tanaman labu siam dan ubi jalar, diapit pohon mangga dan jambu
biji di kanan-kirinya itulah, yang kuduga dari beberapa sumber dan keterangan
yang dapat dipercaya—tempat Ayah dieksekusi.
Beberapa
tahun terakhir—tepatnya sejak Ibu meninggal dunia pada tahun 1991 yang lalu, di
usia yang ke-67, hasrat untuk menemui pusara Ayah begitu besar. Sebesar
keingintahuanku dulu saat malam terakhir Ayah meninggalkan rumah—meskipun aku
tahu ini bukan perkara yang mudah. Menurut keterangan beberapa orang yang
selama ini membantuku mencari pusaran Ayah dan buku-buku sejarah yang kubaca
mengenai komunisme di Indonesia—seperginya mengendarai Jeep dengan dua tentara
itu dari rumah, Ayah menuju lapangan terbang Halim, dan berangkat menggunakan
pesawat Dakota T-443 dari Jakarta menunggu Yogyakarta pada dini hari 2 Oktober
1965. Sesampainya di Yogya, Ayah pergi ke rumah ketua serikat buruh yang berafiliasi
dengan partai, dan keesokkan harinya ia mengorganisir aksi massa untuk membela
Presiden. Lalu ke Semarang, ke Boyolali, ke Solo, ke Blitar, dan kembali lagi
ke Solo. Dalam rentang perjalanan dan perlarian itu—karena Ayah dicari dan
diburu tentara atas dugaan keterlibatan partai yang dipimpinya pada kup dan
terbunuhnya sejumlah jenderal—dilakukan selama 20 hari.
Di tanah
kerikil itulah—yang dulunya adalah sumur tua di pekarangan kompleks gedung
markas Batalion 444, yang sempat diuruk batu sebanyak dua kali. Sekarang
menyisakan sebuah gedung tua, yang digunakan mes pegawai Kodim Boyolali—Ayah
dieksekusi oleh salah satu komandan operasi penangkapan orang-orang komunis
pada tahun 1965-66. Katanya, sebelum Ayah ditembak mati, ia malah berpidato
dengan lantang dan garang—ini membuat eksekutor semakin beringas—lalu
mengucapkan: “Sejarah akan
membebaskanku! dan kaum proletar sedunia bersatulah!”
Konon Ayah
tidak mengucapkan nama ibu, aku, kak Ib (kakak perempuanku yang pertama, saat
kejadian peristiwa itu ia sedang studi di Moskow, bersama kakak perempuanku
yang kedua, Il), Il, Ir, dan Iw. Tidak. Ayah tidak mengucapkan nama-nama kami.
Tapi kami mengerti mengapa Ayah begitu—seperti kami mengerti saat
kata-kata Ini tugas partai¸keluar
dari mulutnya.
Kemudian di
hamparan tanah kerikil itulah, ketika kami—Ib, Il, Iw, Ih, dan Ir—berkumpul
(setelah puluhan tahun terpisah ke tujuh penjuru dunia; Ib dan Il di Perancis,
Iw di Kanada, Ir di Cimahi, dan aku di Bali), membaca bersama isi pesan Ibu
yang ditaruh di atas meja dan ditindih buku Das Capital koleksi Ayah
itu, yang masih kusimpan setelah 51 tahun berlalu;
|| IBU PERGI ADA KEPERLUAN.
KALIAN TETAP DI RUMAH. JANGAN NYALAKAN LAMPU ATAU BUKA TIRAI JENDELA. NANTI
KAKEK DULLAH AKAN KE RUMAH UNTUK MENEMANI KALIAN.
—IBU YANG MENCINTAI KALIAN— ||
Seusai
membaca kertas kusam itu, kami berpelukan dan tiba-tiba ada air mata yang jatuh
di pipiku. Seolah peristiwa itu baru saja terjadi kemarin sore. Pada sore itu
juga, kami beriktiar dan berjanji di tanah kerikil itu, untuk memindahkan
pusara Ayah ke tempat yang lebih layak. Pun jika memungkinkan, kami ingin
mempertemukan Ibu dan Bapak di makam yang berdampingan. Sebab, aku tahu, sampai
kematiannya Ibu selalu menginginkan bertemu dengan Ayah. Dan mungkin inilah
salah satu jalanku untuk menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Semoga. Karena
itulah cerita ini kutuliskan.
*
/3/
“Hadirin sekalian,
sebagaimana maksud dan tujuan Simposium diselenggarakan, tidaklah maksud saya
untuk membuka luka lama atau kembali menabuh genderang peperangan dua anak
bangsa dengan menceritakan kisah di atas pada forum terhormat dan penting ini.
Melainkan kisah tersebut—yang bisa hadirin baca secara rinci di buku yang saya
tulis dua tahun lalu untuk mengenang Ayah saya sebagai sahabat dan pemimpin
Partai Komunis Indonesia—dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai kebenaran,
dan rekonsiliasi atas peristiwa yang terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu. Di
mana Ayah saya menjadi satu dari sekian anasir dalam kemelut peristiwa
tersebut. Karenanya untuk menceritakan kisah tersebut saya bersedia hadir di
forum Simposium terhormat ini. Saya berharap rekonsiliasi terjadi—dan lebih
berharap agar kebenaran adalah pijakan untuk rekonsiliasi. Karena, saya
meyakini, tidak ada rekonsiliasi
tanpa kebenaran.”
Ia terdiam
sesaat. Tokoh Kita memberi tekanan pada kata rekonsiliasi dan kebenaran di
ujung kalimat yang diucapkannya itu. Ia memandang ke sepenjuru ruang Simposium
yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang lima itu. Tokoh Kita menghirup
napas panjang, dan kemudian kembali melanjutkan kata-katanya.
“Perlu
hadirin ketahui, saya tidak berpretensi menulis sejarah; atau meluruskan
sejarah. Tidak. Cerita tersebut hanyalah sebuah memoar seorang anak yang
teramat sangat merindukan bapaknya. Sebab, hadirin tahu, sejahat-jahatnya
seorang bapak, misalnya, ia haruslah diberi tempat peristirahatan yang layak—juga
peristirahatan dalam ingatan dan kenangan seorang anak. Meskipun ia seorang
komunis, dan sampai akhir hayat tegus menjadi komunis—dan tentu saja tidak ada
yang salah dengan menjadi komunis, kan?
Kecuali bila hadirin percaya komunis di negeri ini lebih biadab ketimbang
dajjal akhir zaman. Saya ingat, menurut seorang cendikiawan, komunisme sudah
digantung di tiang sejarah.”
Tampak
beberapa orang—juga Purnawirawan Tentara itu—mengangkat tangannya, tanda
interupsi dengan apa yang disampaikan Tokoh Kita.
“Dan sekali
lagi saya tegaskan,” lanjut Tokoh
Kita tanpa mengindahkan interupsi tersebut. “Kisah ini kuceritakan bukanlah
untuk menuntut pemintaan maaf negara atau siapapun terhadap orang-orang
komunis, dan terhadap Ayah saya yang ditembak mati tanpa proses
pengadilan—sehingga hukum belum membuktikan salah-benarnya. Apakah kata ‘maaf’
bisa menghidupkan kembali manusia yang sudah mati? Tentu saja tidak. Karena itu
kisah ini bermuara pada rekonsiliasi dan kebenaran.
“Jika kisah
ini gagal untuk menempuh maksud yang sudah saya kemukan tadi, maka anggap saja
kisah ini sebagai upaya mencintai dan berbakti seorang anak kepada kedua
orangtuanya. Itu saja. Karena saya tahu tabiat negara dan tentara memang
demikian. Sekian. Salam.”
Tokoh Kita
kembali ke tempat duduknya—tanpa mengindahkan interupsi yang membuncah. Ada
raut muka yang merah karena marah. Tapi wajah Tokoh Kita tampak sumringah.
Simposium tetap berlangsung, memang. Interupsi kembali membuncah—upaya mendebat
Tokoh Kita, tapi ia tetap diam seribu bahasa dan mendengarkan setiap sanggahan
dan makian terhadapnya. Namun sejumlah pihak, termasuk sejarawan dan aktivis
mengenai peristiwa 1965, menanggapinya. Sejumlah narasumber kembali memaparkan
argumen dan kisanya. Juga kegaduhan pun masih terjadi di Simposium itu. Juga
makian. Juga umpatan. Gempa waktu yang menerpa Tokoh Kita tampak sudah berlalu.
[]
Jatikramat,
Mei 2017
POST-Script: Cerita di atas hasil re-writing dari cerita sebelumnya yang berjudul “Anak-anak yang
Lolos dari Kematian” (2016).
*Tyo Prakoso—pembaca dan
perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum
dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di
kuartal ketiga tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar