Sabtu, 06 Mei 2017

Gempa Waktu dan Kisah Tokoh Kita Pada Sebuah Simposium

GEMPA WAKTU DAN KISAH TOKOH KITA PADA SEBUAH SIMPOSIUM
Oleh: Tyo Prakoso
Memento | Koleksi: Berlin-Deja vu Kino | 2013 
/1/
“ALIH-ALIH meminta maaf, kami akan membentengi dan menjaga NKRI dan Pancasila dari bahaya laten Komunis Gaya Baru. Tidak ada kata maaf dari negara untuk PKI. Sudah terang-benderang dalam sejarah bahwa PKI itu pemberontak, pembunuh, dan pengkhianat bangsa. Sekali lagi saya tegasken, tidak ada tempat untuk komunisme di bumi Indonesia!”
Mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh seorang Purnawirawan Tentara sambil mendelik di podium  acara Simposium itu membuat punggung kemeja Tokoh Kita basah oleh butir-butir keringat. Ia merasa lututnya seperti lepas dari tempurung-engselnya, dan kursi tempat pantatnya menahan beban tubuhnya ambruk karena tekanan kalimat yang diucapkan Purnawirawan Tentara itu pada setiap kata komunis dan PKI. Tokoh Kita seperti merasakan gempa waktu—syahdan, betapa ketakutannya ketika berada di dalam rumah dan bebatuan menghujam rumahnya seperti meteor dan berbarengan dengan teriakkan dan makian: Bakar! Bakar! Rumah komunis! Bakar! Ganyang komunis! Keringat makin membasahi punggungnya dan lututnya semakin lunglai, meski penyejuk udara ruangan Simposium tersebut berfungsi dengan baik.
Namun, sekelebatan ia ingat kata-kata Ayahnya, Berani, berani, dan sekali lagi, berani!­—kata-kata itu membuatnya mafhum alasannya bersedia dan bersemangat menghadiri Simposium tersebut. Ini harus kulalui, pikirnya kemudian dalam hati kelebatan kata-kata Ayahnya. Ini saatnya anak komunis bicara tentang masa lalu dan pengalamannya sebagai manusia, lanjutnya lagi, dan ia meneguk air dalam botol mineral yang disediakan untuk peserta Simposium.
*


“HEI TOLOL, KAU memelihara anak-anak komunis?!” tanya lelaki berambut cepak dengan nada suara rasanya ingin menempeleng batok kepala di hadapannya. Juga sorot matanya. Pada suatu pagi yang nelangsa—lelaki paruh baya berwajah teduh itu berdiri getun di hadapannya.
Demikianlah awal kisah nelangsa ini bermula.

Jam 11 malam. Aku masih terjaga, hanya berbaring di ranjang kamar, di samping kembaranku—Ir—dan kakak laki-laki nomor tiga—Iw—yang telah lelap. Saat itu aku dan Ir berumur 6 tahun, dan Iw berumur 10 tahun. Aku ingat, di luar kamar, aku mendengar suara lelaki berbicara kepada Ayah. Suaranya sayup-sayup. Karena terdorong rasa ingin tahu, aku bangkit dari ranjang dan melongok ke ruang tengah, ke tempat sumber suara—rupanya Ayah sedang berbicara dengan dua orang tentara berseragam biru. Aku lihat wajah Ayah gusar. Jidatnya yang lebar berkeringat. Tapi matanya tetap tajam saat kata-kata keluar dari mulutnya.
Tentara itu memberi penjelasan mengapa mereka datang; “Keadaan tidak aman, Bung. Konsolidasi harus dilakukan. Segera, Bung!” 
Ayah menganggukkan kepala. Ada keraguan dari gerak-gerik Ayah. Ia memerintahkan kedua tentara itu duduk-menunggu. Ayah berjalan menuju ruang kerjanya, yang berada di samping kamarku. Ayah melihatku. Tapi langkahnya tetap tertuju ke ruang kerjanya. Seperti tidak acuh kepadaku. Beberapa saat kemudian, Ayah keluar dari ruang kerjanya dengan sebuah tas yang terlampir di pundak; tampak sebuah buku dan beberapa map di dalam tas yang masih terbuka. Ayah menuju ke kamarnya yang berada di depan kamarku. Ia menatapku. Aku menatapnya. Kami bertatap-tatapan.
“Sudah malam, kenapa belum tidur, Ham?” tanya Ayah, saat kami saling bertatapan.
Pertanyaan itu seperti tidak mengharapkan jawaban. Dengan sebuah gerakan isyarat-kepalanya—aku mengerti, ia menyuruhku masuk ke kamar dan lekas tidur.
Aku melangkah kembali ke ranjang—Ayah masuk ke dalam kamarnya yang letaknya di antara ruang kerja dan kamarku. Dari ranjang aku mendengar keributan antara Ayah dan Ibu. Suaranya sengit. Karena pintuku terbuka setengah, aku mendengar dengan jelas keributan itu. Ibu meminta Ayah untuk tidak pergi malam itu. 
“Demi keselamatanmu, dan anak-anak,” kata Ibu.
Mulanya aku tidak mendengar bantahan Ayah. Mungkin Ayah terdiam sesaat. Mungkin mempertimbangkan. Akhirnya aku mendengar suara Ayah. 
“Ini tugas partai,” 
Kemudian aku tahu, jika kata-kata Ini tugas partai sudah keluar dari mulut Ayah, maka itu artinya tak bisa digugat—apapun dan bagaimanapun keadaannya. Sebab, sedari kami mengenalnya begitulah watak Ayah. Baginya, partai adalah segalanya—setidaknya itu yang kuketahui bertahun-tahun kemudian.
Malam itu rasa ingintahuku masih tak bisa dicegah. Aku kembali melongok di depan pintu kamar. Aku melihat Ayah memeluk Ibu. Mungkin untuk meredakan kegusarannya. Ibu meneteskan air mata. Entah mengapa. Kemudian Ayah mengecup keningnya. Mereka berjalan beriringan keluar kamar.
“Kamu, anak kecil. Sudah malam begini masih kelayapan,” kata Ibu melihatku masih melongok di depan pintu kamar.
Ayah tersenyum kepadaku. Aku melihat ada keraguan di senyum itu. Kemudian Ayah menggendongku. Aku letakkan kepalaku di dada Ayah. Kami berjalan ke ruang tengah. Sampai di ruang tengah, dua tentara itu berdiri. Mereka mengangguk. Tak ada senyum di wajah mereka. Tentara itu berjalan keluar rumah, menyalakan mobil Jeep yang terparkir persis di depan gerbang rumah. Deru mesin terdengar. Di ruang tengah, setelah memberikan aku ke Ibu, Ayah kembali mengecup kening Ibu dan mengusap-usap rambutku.
“Jangan lupa mengunci pagar dan matikan lampu depan,” kata Ayah kepada Ibu.
Aku dan Ibu mengantar Ayah hingga teras. Kami melihat Ayah masuk ke dalam Jeep, hingga deru mesin Jeep itu hilang ditelan malam di persimpangan jalan. Aku ingat, malam itu ayah tak pernah menoleh lagi ke belakang.
Kami lama berdiri di depan pintu. Ada kesedihan yang mendalam pada wajah Ibu yang dapat kulihat, itu juga yang membuatku menjadi sedih juga—yang bertahun-tahun kemudian baru aku ketahui mengapa; sebab itu malam terakhir kami melihat Ayah. Malam itu aku tidur bersama Ibu di kamarnya, dan membiarkan Ir dan Iw terlelap. Aku merasa malam itu sungguh berbeda; selain suasana sedih dan muram Ibu—aku juga merasakan, sepertinya malam itu begitu amat panjang untuk menuju pagi.

 
Ayah, Ibu, dan keluarga
Sejak peristiwa malam itu Ibu selalu tampak gusar. Beberapakali aku melihat Ibu melamun di kamar kerja Ayah. Hingga di hari ketiga sejak peristiwa malam itu, sewaktu aku terbangun di pagi hari, sewaktu Ir dan Iw masih lelap, Ibu menghilang—atau lebih tepatnya aku tak menemukan Ibu di rumah. Aku mendapati rumah yang kosong. Semua lampu dimatikan. Tirai jendela tertutup rapat. Aku berjalan ke ruang tengah. Aku menemukan sebuah pesan di kertas yang ditaruh di atas meja dan ditindih buku tebal bersampul merah—yang bertahun-tahun kemudian baru kuketahui judul buku itu ialah Das Capital karya Karl Marx, koleksi Ayah.
Isi pesan itu ialah:
|| IBU PERGI ADA KEPERLUAN. KALIAN TETAP DI RUMAH. JANGAN NYALAKAN LAMPU ATAU BUKA TIRAI JENDELA. NANTI KAKEK DULLAH AKAN KE RUMAH UNTUK MENEMANI KALIAN.
—IBU YANG MENCINTAI KALIAN— ||
Jam 9 pagi, saat Ir dan Iw sudah bangun, aku beritahu kepada mereka pesan ibu. Iw, yang lebih tua daripada kami, membaca dengan wajah yang gugup. Ada belek yang menahan air matanya yang tumpah. Kami saling berpelukan.
Saat kami berpelukan itulah; Braaaaaaakkk… braaaakk… braakk…. 
Sepertinya sebuah benda dilempar ke  arah rumah kami. Mungkin sebuah batu kali yang ukurannya lumayan besar, karena suaranya begitu memekak telinga—batu itu mungkin mengenai tembok dan pagar rumah kami. Kami bertiga menangis. Kami tetap saling berpelukkan. Kira-kira jam 1 siang, saat Kakek Dullah datang melalui pintu samping, lebih dari 15 kali lemparan ke arah rumah kami.
Melihat kami ketakutan, menangis dan saling berpelukan, Kakek Dullah lekas memeluk kami sambil mencium kepala kami satu-per-satu. Wajahnya mencoba menenangkan kami. Tapi, aku lihat, wajahnya tidak bisa disebut tenang. Kakek Dullah memandikan kami satu-per-satu. Lalu membuatkan makanan seadanya—jika ingatanku bisa kau percaya, hanya semangkuk bubur jagung. Kami makan tak berselera. Ketakutan sudah menguasai tubuh. Kami tidur saling berimpitan. Lampu tetap dimatikan dan tirai masih tertutup rapat. Sepanjang itulah batu-batu seperti meteor dari angkasa menghujam rumah kami. Bahkan dari luar terdengar teriakan orang-orang; Bakar! Bakar! Rumah komunis! Bakar! Ganyang komunis! 
Kami tak bisa tidur malam itu. Kakek Dullah terus memeluk kami erat-erat. Hingga di waktu subuh, suara deru mobil berhenti di depan rumah. Mengetuk pintu samping. Kakek Dullah lekas bangun. Aku melongok dari depan pintu kamar. Ia memastikan siapa yang mengetuk pintu melalui lubang kecil di pintu tersebut; wajahnya memendarkan cahaya seperti melihat messiah turun di hari akhir—“Paman Bayi,” bisik Kakek Dullah lebih kepada dirinya sendiri ketimbang kepada kami. Paman Bayi adalah adik laki-laki ibu. Lekas pintu dibuka. Paman Bayi dan Kakek Dullah berpelukan. Paman Bayi meneteskan air mata. 
“Lekas, Kek!” bisik Paman Bayi—bisikkan yang terlalu keras, mungkin karena ketakutan—sambil memastikan keberadaan mobilnya di seberang rumah, mungkin was-was dipergoki warga.
Paman Bayi tetap di pintu—Kakek Dullah kembali ke kamar memanggil kami bertiga, setengah berlari. Tak ada barang yang dibawa selain baju yang menempel pada tubuh, dan kertas pesan ibu yang sedari kemarin kusimpan di kantong baju. Kami lekas keluar dari rumah. Aku melihat banyak batu sebesar kepalaku yang berserakan di depan rumah, beberapa pot tanaman hancur, tembok pagar kami dicoret-coret: “PEMBUNUH!” dan “KOMUNIS PENGKHIANAT!” dan “GANYANG KOMUNIS!” dan masih banyak lagi coretan yang tertera di tembok rumah kami.
Kami masuk ke dalam mobil, meninggalkan itu semua…


Mobil melewati jalan-jalan yang mencekam. Aku ingat di mana-mana tampak bekas aksi huru-hara massa, di mana-mana coretan-coretan seperti di tembok rumahku tampak, di mana-mana ada rumah yang hangus bekas dibakar. Ada gedung-gedung yang hancur kacanya. Kami berlima semua terdiam. Hanya deru mobil melewati jalan-jalan yang sama-sekali tak kukenal. Beberapa kali mobil melewati pos patroli yang dijaga oleh sejumlah orang bersenjata, tapi tak berseragam tentara.
Hingga kemudian kami sampai di sebuah rumah—yang kemudian kuketahui itu adalah rumah Paman Bayi. Hampir beberapa bulan kami tinggal di rumah Paman Bayi, selama itu pula aku tak mengetahui kabar dan keberadaan ayah dan ibu. Paman Bayi selalu bilang kepada kami bila kami merengek-rengek keberadaan ayah dan ibu; mereka baik-baik saja—kau tahu, dengan wajah yang bertolak belakang dengan kata-katanya.
Pada hari sabtu malam—di tanggal, bulan dan tahun yang tak lagi kuingat, hanya hari ‘minggu’ itulah yang kuingat karena tepat di seberang gang rumah Paman Bayi terdapat sebuah gereja Katolik dan sedang ada kebaktian—aku senang mendengar suara kidung dan doa-doa yang dilantunkan, Kakek Dullah memutuskan pulang ke Belitung.
Pada suatu pagi, Paman Bayi memberitahu kepada kami, bahwa ia harus pergi ke luar kota karena ada kerjaan yang harus dirampungkan. Dan itu artinya kami—yang masih (aku dan Ir) berumur 7 tahun dan (Iw) 13 tahun—hari itu juga, akan dititipkan ke rumah sanak-keluarga yang lain, “sambil menunggu kedatangan ayah dan ibumu,” kata Paman Bayi. Kami dititipkan di rumah Paman Mul, kakak Om Bayi dan ibu, yang baru saja ditinggal meninggal dunia istrinya. Ia hidup sebatang kara sebab anak-anaknya telah merantau ke kota.


/2/
Setelah beberapa waktu, akhirnya Tokoh Kita diberi kesempatan untuk bicara di Simposium itu. Ia menuju ke podium tempat para narasumber menyampaikan paparan atau kisahnya perihal tema yang sudah ditentukan oleh panitia Simposium.
Tampak punggung kemeja Tokoh Kita masih basah oleh keringat. Meski langkah kakinya mantap, tetap ada nada keraguan di setiap gerak tubuhnya—terlebih ketika ia benar-benar sampai di podium dan di hadapannya terdapat mic dan kemudian kalimat pertamanya terdengar parau.
Gempa waktu belum benar-benar reda—kau perlu tahu, merujuk catatan fisikawan kurang terkenal bernama Douglas McRightman, dalam manuskripnya yang tersimpan di Perpustakaan Nasional London yang judulnya tak perlu kau ketahui di sini, bahwa gempa waktu adalah kerusakan mendadak dalam kontinuum ruang-waktu yang mengakibatkan segala sesuatu di dunia ini bertindak persis seperti yang sebelumnya terjadi dalam jangka waktu tertentu, untuk kedua atau sekian kalinya, tanpa keterlibatan kehendak bebas sama sekali. Dan gempa waktu adalah penjelasan paling masuk akal mengenal déjà vu.
Beberapa detik ketika Tokoh Kita mendengar kalimat Purnawirawan Tentara itu, gempa waktu terjadi—menggulung alam semesta ke beberapa waktu-lampau, maka segalanya di dunia pun mengulang semuanya, sampai waktu-lampau itu terlewati dan kembali ke titik di mana Tokoh Kita berada—di dalam ruang Simposium 1965 di hotel berbintang lima.
Penanda berakhirnya gempa waktu adalah déjà vu—atau yang biasa kita sebut déjà vu. Sebuah perasaan aneh yang membuat kita ingin berkata: Aing pernah mengalami ini sebelumnya. Tentu ada pertanyaan, misalnya, “Saya mengalami déjà vu, mengalama orang di sebelah saya tidak?” Douglas McRightman sudah memaparkan juga di bagian lain dalam manuskripnya—kita harus doakan saja semoga manuskrip itu lekas dicetak menjadi buku bestseller meski sudah lebih dari 1 abad tersimpan di rak perpustakaan itu, dan agar apa yang dipaparkan ini semakin terang dan tidak lagi ada kebingungan untuk mendefinisikan apa itu déjà vu—bahwa gempa waktu memang melibatkan semua orang pada saat bersamaan, tetapi déjà vu tidak. Déjà vu hanya akan dialami apabila otak seseorang mendeteksi adanya sepersekian-milidetik jeda antara kendali otomatis dan kehendak bebas. “Paling tidak hanya 3,2% manusia saja dari keseluruhan populasi yang mengalami déjà vu pada saat bersamaan,” tulis McRightman di halaman 195. Mungkin kalimat Berani, berani, dan sekali lagi, berani! yang berkelebatan itu berada ‘di antara’ kendali otomatis dan kehendak bebas Tokoh Kita. 
Meski kita tidak benar-benar tahu apakah gempa waktu masih juga belum reda menerpanya, yang kita tahu ialah kalimat yang diucapkannya kemudian masih terdengar parau, dan di ujungnya terdengar gentar.
“Tidak gampang menjalani hidup di negeri ini sebagai anak seorang komunis…” kata Tokoh Kita memulai, setelah mengucapkan salam dan penghormatan kepada tamu kehormatan dan hadirin sekalian.
*

SINAR matari menyepuh pagar besi bercat putih itu. Pagar itu menjadi pemisah yang kokoh antara hitam-legam jalan aspal dengan hamparan rumput-gajah dan berbagai tanaman hias yang tersusun sedemikian rupa pada beberapa pot tanah liat di halaman depan sebuah rumah.  Tinggi pagar itu kira-kira sedada orang dewasa—dengan motif horizontal, mengelilingi dua buah bangunan yang luasnya 350 m² lebih sedikit: satu bangunan utama dan satu pavilium di sebelah kiri yang ukurannya 2 kali lebih kecil dari bangunan utama. Kedua bangunan itu bergaya jengki; atap segitiga-sama-kaki yang besar sehingga penghuni di dalam dapat merasakan sirkulasi udara yang baik dan mendapatkan kesan lapang bagi penglihat dari luar, ditambah cat putih pada dinding bagian luar dan dalam dengan garis kecil di beberapa bagian ats dinding berwarna hijau-tua dan cokelat-pudar pada genting, membuat rumah itu begitu anggun ketimbang rumah-rumah lain di sekitarnya; yang tidak terlalu padat karena di beberapa bagian masih ada tanah lapang dan sebuah taman.
Ada dua pasang kursi kayu berhadapan yang telah diplitur; di tengahnya sebuah meja kayu berbentuk lingkaran yang tingginya sama dengan tinggi kursi, sebuah taplak kain batik membungkus meja; asbak terbuat dari keramik berbentuk setengah lingkaran berwarna hitam di atasnya. Ada hiasan kepala banteng di dinding beranda rumah, persis terletak di atas pintu masuk yang tinggi.
Angin sepoi-sepoi dan jalanan sepi. Memang tidak seperti biasanya. Langit berawan berarak, terlihat dari ranting dan dahan pepohonan matoa di halaman rumah. Beberapa daun kering berguguran. Padahal bukan musim penghujan.
Jam 9 pagi. Deru suara mesin Jeep berhenti di depan rumah itu. Empat lelaki dewasa berambut cepak dan berbadan tegap, turun dari Jeep dan berdiri di depan pagar. Mungkin tentara, tapi tak berseragam. Tiga lelaki cepak berbaris agak ke belakang, satu berdiri paling depan.
Satu lelaki cepak itulah yang mengucapkan salam. Satu kali. Dua kali salam diucapkan.
Sahutan terdengar dari dalam rumah. Siempunya rumah, lelaki paruhbaya yang berwajah teduh, berjalan perlahan dengan sandal selop yang diseret. Setelah melirik tamu yang mengucapkan salam tadi dari beranda, tampak langkah kakinya gemetar. Itu terlihat dari pijakan kakinya yang goyah. Tubuhnya yang semampai, seperti bangunan tahan-gempa yang diguncangkan. Wajahnya agak ragu.
Di depan pagar, sambil membuka engselnya, ia tersenyum dan mengulurkan tangan, bersalaman.
“Silakan masuk, Pak.” kata Siempunya pada lelaki cepak yang berdiri paling depan.
Tak terdengar jawab. Lelaki cepak itu cuma mengangguk, kemudian mereka melangkah masuk ke dalam rumah—seperti ingin mencari sesuatu, Siempunya mengikuti di belakangnya.
Langkah kaki-kaki itu terburu. Sehingga menghasilkan hentakan suara gaduh sepatu lars beradu dengan lantai. Langkah kaki Siempunya rumah tetap diseret.
Di depan pintu, di antara dua pasang kursi yang berhadapan itu, mereka berhenti. Empat lelaki cepak itu berhadapan dengan Si Empunya. Siempunya tetap tersenyum, meskipun mukanya tidak bisa berbohong, ada ragu di wajah teduh itu.
Koleksi: LIFE
“Hei tolol, kau memelihara anak-anak komunis?!”
Siempunya rumah tak menjawab. Wajah teduhnya menjadi gugup.
Sorot mata lelaki cepak itu tajam. Tingkah-lakunya semakin kasar. Dari balik jaket yang dikenakannya ia mengeluarkan sebuah pistol; hitam berkilauan dan beberapa peluru di dalamnya. Melihat pistol siap ditekan pelatuknya, siempunya tercekat. Dua dari empat lelaki itu masuk ke dalam rumah. Siempunya ingin mengikuti dari belakangnya, tapi dicegat langkahnya oleh dua lelaki cepak yang lainnya. Ia berhadapan dengan dua lelaki itu.
“Kamu komunis?!” tanya salah satu lelaki cepak itu kepada siempunya rumah.
“Kenapa kamu pelihara anak-anak komunis?” tanya lagi lelaki cepak yang sama.
Tak terdengar jawaban. Siempunya hanya menatap kepala banteng yang tergantung di dinding pintu masuk rumahnya. Kepala siempunya rumah kena bogem-mentah. Ia terhujung. Terjatuh. Tapi lekas bangkit lagi.
Langkah tegap sepatu lars dua lelaki cepak yang masuk ke dalam rumah terdengar menghentak. Dua lelaki cepak yang tadi mencegat langkah dan memberi bogem-mentah kepada siempunya, memberi sebuah intruksi menggunakan kepala, menyuruh siempunya masuk juga ke dalam rumahnya. Siempunya berjalan paling depan, jalannya masih diseret, langkah kakinya goyah, diikuti di belakangnya oleh dua lelaki cepak tadi. Mereka melewati ruang tamu; berderet rak buku dan foto-foto yang tergantung di dinding, melewati lorong pendek yang di kanan-kirinya berhadap-hadapan 4 buah kamar yang keempatnya pintu itu ditutup, dengan sebuah gerakan didobrak pintu-pintu itu, tapi tak ada penghuninya, mereka terus berjalan melewati ruang makan dan dapur, hingga sampailah di pintu halaman belakang yang cukup lapang; halaman itu tersusun sedemikian rupa oleh berbagai tanaman hias—seperti halaman depan rumah di antara pavilium dan bangunan utama terhampar tanaman hias berbagai jenis—dan di bagian sisi kanannya tempat temali-jemuran melintang di sebatang bambu yang tertancap di tanah, di sisi kirinya ada tanah lapang dan berdiri pohon belimbing sayur.
Di sisi itulah, dua lelaki cepak yang masuk lebih dulu tadi dan mengeluarkan pistol yang siap ditekan pelatuknya itu, berdiri mematung. Mereka memandang dua bocah yang riang-gembira sedang bermain kelereng membelakangi kedatangannya. Bocah itu kembar, mengenakan pakaian yang persis; kaos berwarna putih bergambar tokoh kartun dan celana pendek berwarna biru. Bocah kembar itu sedang jongkok memegang kelerengnya masing-masing.
Mengetahui kedatangan tamu yang tidak diundang, bocah kembar itu membalikkan badan. Buru-buru lelaki cepak yang tadi memegang pistol, memasukkan pistolnya ke balik jaketnya. Mereka tersenyum pada bocah kembar itu.
“Ayo main, Om!” kata salah satu bocah kembar itu.
Lelaki cepak tadi hanya tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin ia teringat anaknya di rumah, atau mungkin hal yang lain. Dua lelaki cepak itu berjalan kembali ke arah dalam rumah.
Di depan pintu belakang, yang berdiri di sana siempunya rumah dan dua lelaki cepak lainnya—yang sedari tadi menyaksikan adegan tersebut—lekaki cepak yang tadi mengeluarkan pistol, berkata pada siempunya rumah; “Jaga baik-baik bocah kembar itu…” kata-kata itu pelan sekali, diucapkan tepat di wajah siempunya rumah yang kembali teduh.
“Seminggu sekali harus lapor ke Kodim.” lanjut lelaki cepak tadi, kini suara itu keras dan jelas.
Keempat lelaki cepak itu berjalan meninggalkan rumah diikuti siempunya rumah di belakangnya. Sampai di depan pagar bercat putih itu, siempunya rumah mengucapkan salam dengan wajah berterima kasih.
Empat lelaki cepak itu tak menjawab. Jeep menderu-deru. Hingga hilang dari pendengaran.
Siempunya lekas masuk ke dalam rumah dengan setengah berlari. Ia ke halaman belakang, kemudian memeluk bocah kembar itu—dan menangis. Sementara bocah kembar itu masih riang-gembira bermain kelereng.
Merasa terganggu dengan pelukan siempunya, “Paman Mul jangan ganggu dong, kita masih main nih!” kata salah seorang bocah kembar itu, karena permainan kelereng masih berlanjut seru.
Siempunya berwajah teduh itu masih berlinangan air matanya.  
* 
Ayah difoto
PAMAN MUL  adalah lelaki paruhbaya dengan wajah yang teduh. Sorot matanya seperti ibu; tegas tapi juga menenangkan. Ia gemar merawat tanaman—sehingga halaman depan dan belakang rumahnya yang cukup lapang berhias dan bersusun sedemikian rupa macam jenis tanaman.
Dulu sewaktu muda Paman Mul bekerja sebagai pegawai pos. Kini ia hidup dengan uang pensiunan di hari senjanya. Rumahnya cukup lapang, bercat putih dan bergaya jengki. Bagian atapnya tinggi, sehingga sirkulasi udara begitu baik. Oleh karena itu, di dalam rumah Paman Mul tidak ada kipas angin atau penyejuk ruangan. Angin sepo-sepoi masuk dari kisi-kisi jendela dan atap yang berbentuk segitiga-sama-kaki.
Selain merawat tanaman, Paman Mul gemar membaca koran di beranda rumahnya yang terdapat dua pasang kursi kayu dan meja berbentuk lingkaran, sambil menikmati secangkir teh poci. Biasanya Paman Mul membaca koran di waktu pagi, setelah mengantarkan kami ke sekolah.
Pada sore hari, saat Paman Mul menyiram atau merawat tanaman di halaman belakang—ketika kami bermain kelereng atau petak umpet, aku kerap bertanya pada Paman Mul, kapan ayah dan ibu pulang, Paman? kataku.
Paman Mul berhenti sejenak dari pekerjaannya. Lalu menatap kami. Tersenyum. Aku melihat wajahnya yang teduh itu gugup. Ia melanjutkan pekerjaannya. Tangannya seperti bergetar. Kami melanjutkan bermain kelereng atau petak-umpet.
Beberapa kali aku menanyakan hal serupa lagi. Tapi jawaban Paman Mul sama; tatapan gugup di wajah yang teduh. Kemudian aku tahu, itu artinya aku tak elok menanyakannya lagi pada Paman Mul—hingga aku tahu atas pertanyaanku tadi, saat Ibu datang ke rumah Paman Mul setelah sekian tahun lamanya pergi—Ibu, ceritanya yang kudengar saat ia bercerita dan bersimpuh di hadapan Paman Mul di suatu sore—ditahan di Kodim 66, penjara Salemba dan Bukit Duri Jakarta.  
“Dimana ayah?” tanyaku kepada Ibu saat ia baru saja usai bercerita kepada kami, beberapa tahun kemudian setelah kami dewasa, dan Ibu semakin tua.
Ibu tidak menjawab. Ia menjadi gugup, memeluk kami dan berlinang air matanya. Mungkin, Ibu berpikir, pertanyaan itu keluar juga dari mulut anak-anaknya—dan juga mungkin Ibu merasa tetap tak bisa menjawabnya. Kami berpelukan erat. Kau tahu, kami pun berlinang bersama. Karena jawaban yang tak terucapkan itu. Selang beberapa bulan dari kejadian itu Ibu meninggal dunia.
Sketsa Ayah dieksekusi

Pada hamparan tanah kerikil yang ditumbuhi tanaman labu siam dan ubi jalar, diapit pohon mangga dan jambu biji di kanan-kirinya itulah, yang kuduga dari beberapa sumber dan keterangan yang dapat dipercaya—tempat Ayah dieksekusi.
Beberapa tahun terakhir—tepatnya sejak Ibu meninggal dunia pada tahun 1991 yang lalu, di usia yang ke-67, hasrat untuk menemui pusara Ayah begitu besar. Sebesar keingintahuanku dulu saat malam terakhir Ayah meninggalkan rumah—meskipun aku tahu ini bukan perkara yang mudah. Menurut keterangan beberapa orang yang selama ini membantuku mencari pusaran Ayah dan buku-buku sejarah yang kubaca mengenai komunisme di Indonesia—seperginya mengendarai Jeep dengan dua tentara itu dari rumah, Ayah menuju lapangan terbang Halim, dan berangkat menggunakan pesawat Dakota T-443 dari Jakarta menunggu Yogyakarta pada dini hari 2 Oktober 1965. Sesampainya di Yogya, Ayah pergi ke rumah ketua serikat buruh yang berafiliasi dengan partai, dan keesokkan harinya ia mengorganisir aksi massa untuk membela Presiden. Lalu ke Semarang, ke Boyolali, ke Solo, ke Blitar, dan kembali lagi ke Solo. Dalam rentang perjalanan dan perlarian itu—karena Ayah dicari dan diburu tentara atas dugaan keterlibatan partai yang dipimpinya pada kup dan terbunuhnya sejumlah jenderal—dilakukan selama 20 hari.
Di tanah kerikil itulah—yang dulunya adalah sumur tua di pekarangan kompleks gedung markas Batalion 444, yang sempat diuruk batu sebanyak dua kali. Sekarang menyisakan sebuah gedung tua, yang digunakan mes pegawai Kodim Boyolali—Ayah dieksekusi oleh salah satu komandan operasi penangkapan orang-orang komunis pada tahun 1965-66. Katanya, sebelum Ayah ditembak mati, ia malah berpidato dengan lantang dan garang—ini membuat eksekutor semakin beringas—lalu mengucapkan: “Sejarah akan membebaskanku! dan kaum proletar sedunia bersatulah!
Konon Ayah tidak mengucapkan nama ibu, aku, kak Ib (kakak perempuanku yang pertama, saat kejadian peristiwa itu ia sedang studi di Moskow, bersama kakak perempuanku yang kedua, Il), Il, Ir, dan Iw. Tidak. Ayah tidak mengucapkan nama-nama kami. Tapi kami mengerti mengapa Ayah begitu—seperti kami mengerti saat kata-kata Ini tugas partai¸keluar dari mulutnya.
Kemudian di hamparan tanah kerikil itulah, ketika kami—Ib, Il, Iw, Ih, dan Ir—berkumpul (setelah puluhan tahun terpisah ke tujuh penjuru dunia; Ib dan Il di Perancis, Iw di Kanada, Ir di Cimahi, dan aku di Bali), membaca bersama isi pesan Ibu yang ditaruh di atas meja dan ditindih buku Das Capital koleksi Ayah itu, yang masih kusimpan setelah 51 tahun berlalu;
|| IBU PERGI ADA KEPERLUAN. KALIAN TETAP DI RUMAH. JANGAN NYALAKAN LAMPU ATAU BUKA TIRAI JENDELA. NANTI KAKEK DULLAH AKAN KE RUMAH UNTUK MENEMANI KALIAN.
—IBU YANG MENCINTAI KALIAN— ||
Seusai membaca kertas kusam itu, kami berpelukan dan tiba-tiba ada air mata yang jatuh di pipiku. Seolah peristiwa itu baru saja terjadi kemarin sore. Pada sore itu juga, kami beriktiar dan berjanji di tanah kerikil itu, untuk memindahkan pusara Ayah ke tempat yang lebih layak. Pun jika memungkinkan, kami ingin mempertemukan Ibu dan Bapak di makam yang berdampingan. Sebab, aku tahu, sampai kematiannya Ibu selalu menginginkan bertemu dengan Ayah. Dan mungkin inilah salah satu jalanku untuk menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Semoga. Karena itulah cerita ini kutuliskan.
*


/3/
“Hadirin sekalian, sebagaimana maksud dan tujuan Simposium diselenggarakan, tidaklah maksud saya untuk membuka luka lama atau kembali menabuh genderang peperangan dua anak bangsa dengan menceritakan kisah di atas pada forum terhormat dan penting ini. Melainkan kisah tersebut—yang bisa hadirin baca secara rinci di buku yang saya tulis dua tahun lalu untuk mengenang Ayah saya sebagai sahabat dan pemimpin Partai Komunis Indonesia—dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai kebenaran, dan rekonsiliasi atas peristiwa yang terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu. Di mana Ayah saya menjadi satu dari sekian anasir dalam kemelut peristiwa tersebut. Karenanya untuk menceritakan kisah tersebut saya bersedia hadir di forum Simposium terhormat ini. Saya berharap rekonsiliasi terjadi—dan lebih berharap agar kebenaran adalah pijakan untuk rekonsiliasi. Karena, saya meyakini, tidak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran.”   
Ia terdiam sesaat. Tokoh Kita memberi tekanan pada kata rekonsiliasi dan kebenaran di ujung kalimat yang diucapkannya itu. Ia memandang ke sepenjuru ruang Simposium yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang lima itu. Tokoh Kita menghirup napas panjang, dan kemudian kembali melanjutkan kata-katanya.
“Perlu hadirin ketahui, saya tidak berpretensi menulis sejarah; atau meluruskan sejarah. Tidak. Cerita tersebut hanyalah sebuah memoar seorang anak yang teramat sangat merindukan bapaknya. Sebab, hadirin tahu, sejahat-jahatnya seorang bapak, misalnya, ia haruslah diberi tempat peristirahatan yang layak—juga peristirahatan dalam ingatan dan kenangan seorang anak. Meskipun ia seorang komunis, dan sampai akhir hayat tegus menjadi komunis—dan tentu saja tidak ada yang salah dengan menjadi komunis, kan? Kecuali bila hadirin percaya komunis di negeri ini lebih biadab ketimbang dajjal akhir zaman. Saya ingat, menurut seorang cendikiawan, komunisme sudah digantung di tiang sejarah.”
Tampak beberapa orang—juga Purnawirawan Tentara itu—mengangkat tangannya, tanda interupsi dengan apa yang disampaikan Tokoh Kita.
“Dan sekali lagi  saya tegaskan,” lanjut Tokoh Kita tanpa mengindahkan interupsi tersebut. “Kisah ini kuceritakan bukanlah untuk menuntut pemintaan maaf negara atau siapapun terhadap orang-orang komunis, dan terhadap Ayah saya yang ditembak mati tanpa proses pengadilan—sehingga hukum belum membuktikan salah-benarnya. Apakah kata ‘maaf’ bisa menghidupkan kembali manusia yang sudah mati? Tentu saja tidak. Karena itu kisah ini bermuara pada rekonsiliasi dan kebenaran.
“Jika kisah ini gagal untuk menempuh maksud yang sudah saya kemukan tadi, maka anggap saja kisah ini sebagai upaya mencintai dan berbakti seorang anak kepada kedua orangtuanya. Itu saja. Karena saya tahu tabiat negara dan tentara memang demikian. Sekian. Salam.”

Tokoh Kita kembali ke tempat duduknya—tanpa mengindahkan interupsi yang membuncah. Ada raut muka yang merah karena marah. Tapi wajah Tokoh Kita tampak sumringah. Simposium tetap berlangsung, memang. Interupsi kembali membuncah—upaya mendebat Tokoh Kita, tapi ia tetap diam seribu bahasa dan mendengarkan setiap sanggahan dan makian terhadapnya. Namun sejumlah pihak, termasuk sejarawan dan aktivis mengenai peristiwa 1965, menanggapinya. Sejumlah narasumber kembali memaparkan argumen dan kisanya. Juga kegaduhan pun masih terjadi di Simposium itu. Juga makian. Juga umpatan. Gempa waktu yang menerpa Tokoh Kita tampak sudah berlalu. []

Jatikramat, Mei 2017

POST-Script: Cerita di atas hasil re-writing dari cerita sebelumnya yang berjudul “Anak-anak yang Lolos dari Kematian” (2016).


*Tyo Prakoso—pembaca dan perajin tulisan. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016) dan buku keduanya akan mengudara di kuartal ketiga tahun ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar