Rabu, 31 Januari 2018

Kenang-kenangan Negeri Agraris

Kenang-kenangan Negeri Agraris
Oleh: Luqman Abdul Hakim
Deviantart.com 
Di awal tahun 2018 ini, masyarakat digerahkan dengan naiknya harga beras. Penyebab dari kenaikan harga beras pun beragam; mulai dari cuaca buruk hingga alasan klasik soal lambatnya proses distribusi dari petani ke pasar. Namun, Kementerian pertanian berulang kali memberi statement bahwa stok beras berada dalam keadaan surplus. Statement ini ditegur oleh Ombudsman yang menyatakan bahwa data yang dikumpulkan oleh Kementerian tidak akurat karena hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

Kenaikan harga beras coba ditanggulangi dengan upaya pemerintah mengimpor sekitar 500.000 ton beras. Tentu saja rencana ini banyak memancing kritik terutama oleh kelompok oposisi pemerintah. Mereka menganggap rencana impor beras adalah sebuah blunder dan bukti kegagalan pemerintah dalam mengentaskan masalah ketahanan pangan nasional. Meskipun kritik yang dilontarkan tidak disertai solusi konkret untuk mengentaskan masalah harga beras yang melonjak.

Polemik kenaikan harga beras lantas digoreng sebagai isu kompetisi politik elit. Setelah urusan pencalonan kepala daerah Pilkada dan isu mahar politik Calon Kepala Daerah mulai surut, kenaikan harga beras adalah wacana yang siap menenggelamkan masyarakat dalam perang opini antara pemerintah dengan kelompok oposisi.

Solusi impor untuk menekan harga beras yang naik adalah sesuatu hal yang terus berulang. Ketahanan pangan pada akhirnya hanya menjadi sebuah kebijakan manis setiap pemimpin negara kita dalam setiap kampanye. Tidak pernah ada sebuah konsep yang jelas dan matang tentang bagaimana meningkatkan produksi beras nasional. Sehingga ketika harga beras naik, menurunnya produktifitas panen beras--entah akibat cuaca atau hama--menjadi satu-satunya alasan yang paling masuk akal yang bisa disampaikan pemerintah.

Lagipula, pemerintah memang tak serius meningkatkan produktifitas di bidang pertanian. Pemerintah Indonesia hanya fokus pada pembangunan infrastruktur yang katanya akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Nyatanya pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh sebagian masyarakat dan malah memperparah tingkat kesenjangan sosial. Data-data menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dinikmati oleh sekitar 20% orang.

Pembangunan infrastruktur—serta pertumbuhan ekonomi—yang dampaknya hanya dibuktikan dengan deretan angka-angka, nyatanya telah banyak merebut tanah-tanah masyarakat yang digunakan untuk menanam kebutuhan pokok. Pembangunan bandara di Kulonprogo semisal, telah menggusur ribuan hektar lahan pertanian. Pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka yang juga menggusur ribuan hektar lahan pertanian. Praktis tiap tahun luas lahan pertanian selalu berkurang, khususnya di pulau Jawa. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan properti, lahan pabrik/industri atau lahan pembangunan transportasi. Kita bisa melihatnya di sekitar kita, sawah yang berubah jadi perumahan, jalan tol, pabrik bandara. Lalu mana mungkin jumlah lahan pertanian yang berkurang mampu menghasilkan produksi yang meningkat? Dan apa pula untungnya bagi masyarakat membaca statistik pertumbuhan ekonomi jika nyatanya harga kebutuhan pokok mereka mahal?

Sebagai negeri yang pernah mendaku diri sebagai “Negeri Agraris”, impor beras jelas hal yang tidak rasional. Dalam setiap janji pemerintah, urusan produksi beras dan peningkatan kesejahteraan petani adalah barang kampanye yang selalu seksi. Janji swasembada pangan bukan hal yang baru digaungkan pemerintahan Jokowi, tapi sudah sejak dulu hanya menjadi janji.  Pada akhirnya, Negeri Agraris hanya kenang-kenangan dari kejayaan masa lalu. Kita bisa lihat beberapa orang mungkin akan kembali mempopulerkan jargon "enak jamanku toh?" dengan diikuti oleh foto senyum  dari seorang Jenderal diktator yang dianggap berhasil melaksanakan swasembada beras.

Janji swasembada pangan, janji menjaga ketahanan pangan merupakan janji yang tidak sesuai dengan realisasinya di lapangan. Program ketahanan pangan hanya sebuah poin kebijakan yang kalah menarik daripada usaha pembangunan infrastruktur. Suruh saja masyarakat makan beton, makan angka-angka statistik, atau makan uang yang dihasilkan infrastruktur. Yang mau makan beras, tunggu impor. Masih percaya Indonesia negeri agraris? Kayanya cuma kenangan atau susah move on dipimpin sama jenderal? []

1 komentar:

  1. https://tajenonline.live/panduan-cara-ternak-ayam-bangkok-dari-anakan-sampai-dewasa-lengkap

    Panduan Cara Ternak Ayam Bangkok Dari Anakan Sampai Dewasa Lengkap yang salah satu jenis ayam petarung. Dibandingkan dengan ayam aduan lainnya. Ayam Bangkok mempunyai perbedaan mau tau kelanjutannya ?

    Silakan kunjungi Situs Artikel ayam kami http://tajenonline.live
    @tajenonline #tajenonline

    BalasHapus