BAGAIMANA
CARA YANG TEPAT MERAYAKAN PERPISAHAN?
Oleh: Luqman Abdul Hakim
![]() |
Les Passementeries Horribles | koleksi: Edward Gorey | 1976 |
SUARA gong
berbunyi nyaring. Bapak tua dengan topi hitam segi-enam yang memiliki tali
panjang yang menyangkut di lubang hidung nampak gagah ketika memukul gong itu
untuk membuka sebuah acara perpisahan—isinya cuma pidato bertele-tele untuk
menyampaikan satu hal; perpisahan. Aku duduk di antara ribuan orang lainnya,
dipaksa khidmat dalam kejemuan yang sangat. Untuk kau ketahui saja, aku tak
pernah menikmati sesuatu hal yang bertele-tele.
Barangkali
tak begitu denganmu. Wajah yang amat berseri, dengan riasan tipis dan gincu
yang membuat senyuman terlihat lebih manis. Mungkin memang sudah begitu
seharusnya. Acara ini merupakan hal yang menggembirakan bagimu, bagiku, bagi
kalian. Ah, tentu saja untukku tetap saja ini menjemukan.
Kau
tahu, aku masih mengingat kata-kata ini—yang tentu kau kutip dari linimasa akun
media sosial @Tumpukkan_Puisi:
“Perpisahan
tetaplah perpisahan. Ia meninggalkan segala suka, duka, lara—menjadi kenangan
yang tak bisa dibagikan.”
Jika
memang perpisahan dapat menyisakan kepahitan, lalu mengapa perpisahan harus
dirayakan?
Seorang
pertapa pernah berwasiat pada anaknya, dan wasiat itu ditulis oleh anaknya sebagai sebuah riwayat
dengan judul, Berpisah untuk bersatu, bersatu
untuk berpisah. Wasiat pertapa itu pada anaknya ketika bicara tentang
perpisahan setelah pertemuan kiranya seperti ini:
“Orang yang
berpisah setelah bertemu akan selalu dikutuk untuk terjebak dalam sebuah
kerinduan yang konyol dan imajinasi tak masuk akal bernama kenangan.”
Setelah
aku berulang kali membaca kalimat tersebut, aku tertawa, lalu bertanya pada
diri sendiri: Apakah mempelajari sejarah membuatku selalu tertarik bicara
tentang kenangan? Tentu bukan hanya aku saja yang harus menjawab pertanyaan
itu.
Orang
yang suka nyemil upil harus mampu menjawabnya terlebih dulu. Karena orang
tersebut mendaku diri memiliki aura jatmika karena dekat dengan Tuhan.
Sesungguhnya aku tak mengerti dengan ocehan Si tukang cemil upil sendiri itu.
Andai saja orang semacam ini tak banyak memberi aku sajian yang sedap—karena
kalian tahu dia hobi memasak, dan rasanya pun sedap, tapi dia lebih suka nyemil
upil sendiri ketimbang memakan hasil masakannya—pasti sudah kusumpal lubang
hidungnya dengan putung rokok yang masih menyala.
Orang
yang suka nyemil upil sendiri suka bicara sejarah dengan ngelantur, sehingga harus sial meratapi hidup dengan kesepian.
Tapi, dia berkilah: “Bukankah yang setia itu hanya kesepian?” Dan itulah saat
yang tepat untuk akhirnya kusumpalkan puntung rokok yang masih menyala di
lubang hidungnya.
*
Tidak
pernah ada orang yang bisa menghindar dari perpisahan. Barangkali, selain maut,
perpisahan termasuk sebagai kepastian dalam kehidupan.
Perpisahan
memiliki dua akibat; kesedihan ataupun kegembiraan. Bagi yang menganggap bahwa
perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan; maka perpisahan adalah kiamat
mikro-sugra—berpisah adalah sesuatu yang menakutkan, karena tak ada yang tahu
apa yang akan dihadapi setelah kita melewati pintu gerbang perpisahan.
“Setiap
proses menuju sesuatu yang belum diketahui serta meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan yang lama adalah sesuatu yang begitu menakutkan bagi
manusia,” begitu kata salah satu psikoanalisis dari Jerman.
Namun,
tidak semua orang menganggap perpisahan adalah hal yang buruk. Dalam beberapa
segi kehidupan, perpisahan adalah suatu tahap menuju sesuatu hal yang lebih
baik—barangkali semacam hijrah dalam keyakinan Islam. Seorang anak akan
dianggap lebih baik dan sudah dewasa jika ia telah hidup berpisah dari orangtuanya.
Dan kemampuan seseorang untuk dapat menerima perpisahan adalah salah satu
kegembiraan bagi dirinya, maupun orang-orang disekitarnya.
Begitulah
perpisahan pun dianggap punya dua sisi yang memiliki makna berbeda—yg baik
sebagai momen yang menyedihkan maupun menggembirakan. Bagi sebagian orang
perpisahan adalah sesuatu yang sakral sehingga patut dirayakan. Lantas
menurutmu, bagaimana cara yang tepat untuk merayakan perpisahan?
*
Aku masih
ingat ketika kau tiba-tiba menepuk pundakku, lalu berbisik, “Aku mencintaimu”.
Tentu
saja aku tersenyum, walau katamu, itu adalah senyum tersinis yang pernah kau
lihat, dan harga dirimu langsung terasa terinjak setelahnya. Kukecup bibirmu setelah
itu, dan saat kau terpagut dan terlarut dalam hasratmu, kulepas ciumanku dan
aku pergi. Melangkah semakin jauh membelakangimu. Tapi kau berteriak, dan
mengatakan bahwa ini adalah perpisahan. Kuminta kau bertanya—entah pada anak
pertapa yang menulis buku tentang nasihat-nasihat bapaknya atau pada orang yang
suka nyemil upilnya sendiri itu—adakah kebersamaan yang diciptakan tidak untuk
perpisahan? Itu pertanyaan dalam benakku ketika aku benar-benar memutuskan
untuk keluar dari ruang seminar itu.
“Ini
perpisahan sebenar-benarnya, sekonkret-konkretnya,” kataku tanpa menoleh lagi
ke ruang seminar itu dan, ke dirimu, tentu saja. []
Mei, 2017
*Luqman Abdul
Hakim—Kader Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Kota Jakarta
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^