Minggu, 11 Juni 2017

Cerita Kakek dan Lelucon Gus Dur Tentang Polisi

CERITA KAKEK DAN LELUCON GUS DUR TENTANG POLISI
Oleh: Tyo Prakoso
Fuck the Police oleh Malice | ILUSTRASI: EKOSYSTEM ORG | 2011
“POLISI yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng Almarhum bekas Kapolri, patung polisi, dan polisi tidur.”
Hari itu, lelucon Gus Dur lah yang terngiung di kepala kau ketika  duduk dan bercengkrama dengan sejawat di Pos keamanan  sekolah, seperti biasa cerita dan ngopi bersama, dan saat itulah dua alumni siswa tempat kau nggembala—yang kini sudah menjadi perwira polisi dan baru beberapa pekan usai merampungkan tahap karantina dan mulai didinaskan di Bekasi, datang. Meski kau tidak kenal sebelumnya. Sebab mereka lulus sebelum kau mulai nggembala
Anda perlu tahu, kau datang ke sekolah memang tidak berniat nggembala karena mendapat info bahwa kelas yang kau nggembala sedang melakukan simulasi ujian. Maka, seperti biasa, kau dibunuh waktu di Pos keamanan—kau pakai frase ‘dibunuh’ bukan ‘membunuh’ atau ‘menghabiskan’ karena kau sadar itu absurd, dan sangat mungkin sebaliknya bahwa waktu lah yang membunuh/menghabisi kau, untuk lebih lanjut mengenai hal ini, kau berjanji akan bahas di kesempatan yang lain, dengan catatan kau sedang tidak malas, tentu saja—untuk sekedar mendengar cerita dan kisah dari sejawat.  Kau memang lebih senang mendengar cerita, dan ketimbang bercerita. Mungkin itulah mengapa kau kecanduan kopi.
Maka, dengan berat hati, di kesempatan ini, kau akan bercerita tentang yang sudah  disebutkan di atas. Mendengar cerita dan pola dua perwira itu kau benar-benar telengas dan wagu. Wagu karena ingat lelucon Gus Dur—dan kau rasa tak perlu jelaskan apa maksudnya, sebab kau yakin kita sama-sama-tahu—telengas karena kau ingat kakeknya. Kau harap Anda baca baik-baik cerita ini mengapa kau telengas dan ingat Kakeknya.
Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari cerita dua perwira itu, tapi yang membuat kau telengas dan wagu adalah nada dari ceritanya, yang dikisahkan dengan dada membusung dan arogan. Anda tahu, tidak gampang menjadi seorang perwira, mungkin  butuh sekian ratus juta untuknya. Tapi yang membuat kau ingin menempeleng kepalanya dengan buku MADILOG Tan Malaka ialah tingkah lakunya yang semena-mena, hanya karena ia berseragam dan memiliki kuasa.
Itu tentu kesan subjektifnya ketika mendengar kisah dan pola laku kedua perwira itu. Anda kau sudah nggembala ketika dua perwira itu masih menjadi muridnya, dank au tahu kelak mereka menjadi perwira, kau akan tempeleng mereka dengan buku MADILOG sambil menghapal tulisan Naar de Republiek Tan Malaka.  Tentu  sangat mungkin kau keliru atas kesa subjektifnya. Anda bisa menilainya sendiri berdasarkan kalimatnya di bawah ini.
“Cewek SMA kalo digodain sama anak SMA juga sok jual mahal. Kalo digodain sama polisi, mukanya merah dah,” kata seorang dari dua perwira itu dengan ejekan ketika salah satu siswi lewat di depan pos keamanan.
Gua juga berani godain guru dah," sambut rekannya sambil menyebut salah satu nama guru yang tak elok disebutkan namanya itu dan sambil membusungkan dada.
Bagaimana? Apakah Anda juga ingin menempelengnya juga?
Harap sabar, Anda perlu merampungkan cerita yang sedang dibaca ini.
Kau memperhatikan muka dua perwira itu, dan rasanya kau ingin meludah ke mukanya. Lalu mereka bercerita pengalaman selama di karantina yang jauh dari pemandangan sosok perempuan (mungkin karena itulah mereka menjadi lelaki yang bagi kau burungnya patut dijilat jerapah, saking kurang ajar dan memandang remeh perempuan), keistimewaan kala kedapatan ditilang dan bisa lolos hanya memberi hormat, seragam dan pangkat, hingga mereka cerita nominal gaji yang mereka terima saat ini dan kemungkinan kenaikan gaji dua bulan ke depan, itu belum termasuk pemasukan bila ada projek operasi-operasian (baca: razia, tilang dan bikin SIM).
ILUSTRASI: HUMOR ALA GUS DUR
Itu informasi bermanfaat bagi kau, tentu saja—setidaknya bisa kau cerita di kesempatan ini. Yang membuat kau benar-benar telengas adalah—sebagaimana sudah disebutnya di atas—hal itu mengingatkan kau pada kakeknya—yang kerap kau dengar ceritanya dan itu salah satu alasan mengapa kau akhirnya bertemu sejarah, dan studi di jurusan sejarah.
Syahdan, sebagaimana kau dengar ceritanya, tahun 1966, Kakek dipenjara, dituduh komunis, dan dibebaskan beberapa tahun kemudian. Tapi tanah dan rumahnya diambil-paksa tentara. Beberapa tahun kemudian meninggal dunia. Kemudian istrinya, Nenek menikah lagi di usia yang masih muda, yang saat itu sudah memiliki dua anak yang masih kecil, buah cinta dengan Kakek yang tidak pernah dilihat kau—dengan Mbah yang kemudian dikenal kau dan akhirnya nenek melahirkan 3 anak lagi, salah satunya adalah ibu kau. Beberapa tahun yang lalu, Nenek meninggal dunia, dan diikuti Mbah beberapa bulan kemudian. Saat itulah kau mulat merajut cerita dari satu ingatan ke satu ingatan lainnya yang mulai lapuk digerus waktu.
Karena itulah, perihal riwayat Kakeknya, yang lamat-lamat dan didengar sepotong-potong, akan kau tulis di kesempatan yang lain. Kau sudah lama meniatkan ini menjadi sebuah novel. Anda perlu doakan agar kau tidak dilapah kemalasan…
Anda tahu, mungkin kau terlalu baper saja dengan cerita dan tingkah pola dua perwira itu—sehingga kau telengas dengan Kakek yang tidak pernah kau lihat dan kenal itu. Setelah menikah lagi Neneknya dan tinggal di Jakarta, dan amat jarang pulang kampung. Tanpa pernah pulang. Mungkin sejak peristiwa itu tidak ada kata ‘Pulang’ dalam kamus kehidupan Nenek. Kau tidak tahu.
Itulah mengapa kau senang dengan lelucon Gus Dur perihal polisi. Kau tahu itu lelucon, dan kau sudah tidak berlaku adil sejak dalam pikiran. Sebab, kau yakin, selain tiga perwira itu, amat sangat banyak perwira yang baik dan warbyasaa. Tapi Anda tahu kan, bagaimana kenangan kerap tiba-tiba datang bersama kegetiran. Untuk lebih jelasnya tanyakan saja pada teman Anda yang jomblo.
Maka, karena sedang berusaha berlaku adil sejak dalam pikiran, kau doakan dua perwira polisi baru itu—yang alumni siswa tempat kau nggembala, tapi kau tidak pernah mengajarnya karena kau baru beberapa bulan saja nggembala—masuk ke dalam golongan tiga polisi yang disebut Gus Dur (dan yang amat banyak itu, tentu saja). Polisi tidur, tabik! []

Jatikramat, Mei 2017


*Tyo Prakoso—Pembaca dan perajin (tulisan) di Kedai Literasi @gerakanaksara. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016). Buku keduanya mengudara pada kuartal ketiga tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar