CERITA KAKEK DAN LELUCON GUS DUR TENTANG POLISI
Oleh: Tyo Prakoso
“POLISI yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng
Almarhum bekas Kapolri, patung polisi, dan polisi tidur.”
Hari itu, lelucon Gus Dur lah
yang terngiung di kepala kau ketika duduk dan bercengkrama dengan sejawat di Pos keamanan sekolah, seperti biasa cerita dan ngopi
bersama, dan saat itulah dua alumni siswa tempat kau nggembala—yang kini sudah
menjadi perwira polisi dan baru beberapa pekan usai merampungkan tahap
karantina dan mulai didinaskan di Bekasi, datang. Meski kau tidak kenal
sebelumnya. Sebab mereka lulus sebelum kau mulai nggembala
Anda perlu tahu, kau datang ke
sekolah memang tidak berniat nggembala karena mendapat info bahwa kelas yang
kau nggembala sedang melakukan simulasi ujian. Maka, seperti biasa, kau dibunuh
waktu di Pos keamanan—kau pakai frase ‘dibunuh’ bukan ‘membunuh’ atau
‘menghabiskan’ karena kau sadar itu absurd, dan sangat mungkin sebaliknya bahwa
waktu lah yang membunuh/menghabisi kau, untuk lebih lanjut mengenai hal ini,
kau berjanji akan bahas di kesempatan yang lain, dengan catatan kau sedang
tidak malas, tentu saja—untuk sekedar mendengar cerita dan kisah dari
sejawat. Kau memang lebih senang
mendengar cerita, dan ketimbang bercerita. Mungkin itulah mengapa kau kecanduan
kopi.
Maka, dengan berat hati, di
kesempatan ini, kau akan bercerita tentang yang sudah disebutkan di atas. Mendengar cerita dan
pola dua perwira itu kau benar-benar telengas dan wagu. Wagu karena ingat
lelucon Gus Dur—dan kau rasa tak perlu jelaskan apa maksudnya, sebab kau yakin
kita sama-sama-tahu—telengas karena kau ingat kakeknya. Kau harap Anda baca baik-baik
cerita ini mengapa kau telengas dan ingat Kakeknya.
Sebetulnya tidak ada yang
istimewa dari cerita dua perwira itu, tapi yang membuat kau telengas dan wagu
adalah nada dari ceritanya, yang dikisahkan dengan dada membusung dan arogan. Anda
tahu, tidak gampang menjadi seorang perwira, mungkin butuh sekian ratus juta untuknya. Tapi yang membuat kau
ingin menempeleng kepalanya dengan buku MADILOG Tan Malaka ialah tingkah
lakunya yang semena-mena, hanya karena ia berseragam dan memiliki kuasa.
Itu tentu kesan subjektifnya
ketika mendengar kisah dan pola laku kedua perwira itu. Anda kau sudah
nggembala ketika dua perwira itu masih menjadi muridnya, dank au tahu kelak
mereka menjadi perwira, kau akan tempeleng mereka dengan buku MADILOG sambil
menghapal tulisan Naar de Republiek Tan
Malaka. Tentu sangat mungkin kau keliru atas kesa
subjektifnya. Anda bisa menilainya sendiri berdasarkan kalimatnya di bawah ini.
“Cewek SMA kalo digodain sama anak SMA juga sok jual mahal. Kalo
digodain sama polisi, mukanya merah dah,”
kata seorang dari dua perwira itu dengan ejekan ketika salah satu siswi lewat
di depan pos keamanan.
“Gua juga berani godain
guru dah," sambut rekannya
sambil menyebut salah satu nama guru yang tak elok disebutkan namanya itu dan
sambil membusungkan dada.
Bagaimana? Apakah Anda juga ingin
menempelengnya juga?
Harap sabar, Anda perlu
merampungkan cerita yang sedang dibaca ini.
Kau memperhatikan muka dua
perwira itu, dan rasanya kau ingin meludah ke mukanya. Lalu mereka bercerita
pengalaman selama di karantina yang jauh dari pemandangan sosok perempuan
(mungkin karena itulah mereka menjadi lelaki yang bagi kau burungnya patut
dijilat jerapah, saking kurang ajar dan memandang remeh perempuan),
keistimewaan kala kedapatan ditilang dan bisa lolos hanya memberi hormat,
seragam dan pangkat, hingga mereka cerita nominal gaji yang mereka terima saat
ini dan kemungkinan kenaikan gaji dua bulan ke depan, itu belum termasuk
pemasukan bila ada projek operasi-operasian (baca: razia, tilang dan bikin
SIM).
![]() |
ILUSTRASI: HUMOR ALA GUS DUR |
Itu informasi bermanfaat bagi
kau, tentu saja—setidaknya bisa kau cerita di kesempatan ini. Yang membuat kau benar-benar
telengas adalah—sebagaimana sudah disebutnya di atas—hal itu mengingatkan kau
pada kakeknya—yang kerap kau dengar ceritanya dan itu salah satu alasan mengapa
kau akhirnya bertemu sejarah, dan studi di jurusan sejarah.
Syahdan, sebagaimana kau dengar
ceritanya, tahun 1966, Kakek dipenjara, dituduh komunis, dan dibebaskan
beberapa tahun kemudian. Tapi tanah dan rumahnya diambil-paksa tentara.
Beberapa tahun kemudian meninggal dunia. Kemudian istrinya, Nenek menikah
lagi di usia yang masih muda, yang saat itu sudah memiliki dua anak yang masih
kecil, buah cinta dengan Kakek yang tidak pernah dilihat kau—dengan Mbah yang kemudian
dikenal kau dan akhirnya nenek melahirkan 3 anak lagi, salah satunya adalah ibu
kau. Beberapa tahun yang lalu, Nenek meninggal dunia, dan diikuti Mbah beberapa
bulan kemudian. Saat itulah kau mulat merajut cerita dari satu ingatan ke satu
ingatan lainnya yang mulai lapuk digerus waktu.
Karena itulah, perihal riwayat
Kakeknya, yang lamat-lamat dan didengar sepotong-potong, akan kau tulis di
kesempatan yang lain. Kau sudah lama meniatkan ini menjadi sebuah novel. Anda
perlu doakan agar kau tidak dilapah kemalasan…
Anda tahu, mungkin kau terlalu baper saja dengan cerita dan tingkah
pola dua perwira itu—sehingga kau telengas dengan Kakek yang tidak pernah kau
lihat dan kenal itu. Setelah menikah lagi Neneknya dan tinggal di Jakarta, dan
amat jarang pulang kampung. Tanpa pernah pulang. Mungkin sejak peristiwa itu
tidak ada kata ‘Pulang’ dalam kamus kehidupan Nenek. Kau tidak tahu.
Itulah mengapa kau senang
dengan lelucon Gus Dur perihal polisi. Kau tahu itu lelucon, dan kau sudah
tidak berlaku adil sejak dalam pikiran. Sebab, kau yakin, selain tiga perwira
itu, amat sangat banyak perwira yang baik dan warbyasaa. Tapi Anda tahu kan,
bagaimana kenangan kerap tiba-tiba datang bersama kegetiran. Untuk lebih
jelasnya tanyakan saja pada teman Anda yang jomblo.
Maka, karena sedang berusaha
berlaku adil sejak dalam pikiran, kau doakan dua perwira polisi baru itu—yang
alumni siswa tempat kau nggembala, tapi kau tidak pernah mengajarnya karena kau
baru beberapa bulan saja nggembala—masuk ke dalam golongan tiga polisi yang
disebut Gus Dur (dan yang amat banyak itu, tentu saja). Polisi tidur, tabik! []
Jatikramat,
Mei 2017
*Tyo Prakoso—Pembaca dan perajin (tulisan) di
Kedai Literasi @gerakanaksara. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016). Buku keduanya
mengudara pada kuartal ketiga tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar